Diberdayakan oleh Blogger.

Jika X Maka Y


posted by rahmatullah on

No comments

Sudah lama Pramudia Ananta Toer menitipkan pesan pada kita tentang sebuah konklusi sederhana namun dalam maknanya, konklusi yang hanya terdiri 4 kata dan itupun pendek-pendek, yaitu: Jika X maka Y, bukan Jika X maka X atau jika Y maka Y. Konklusi yang bukan merupakan rumusan matematika, hanya sebuah sisi yang menunjukkan kekontrasan yang nyata. Jika X maka Y mengartikan sebuah pertentangan, atau sesuatu yang mengandung makna sebaliknya. Berbeda dengan Jika X maka X, atau jika Y maka Y, yang maknanya adalah menguatkan atau membenarkan pernyataan atau kesimpulan sebelumnya.

Pram menggunakan istilah Jika X maka Y mengidentikan itu dengan karakter masyarakat Indonesia, yang karakter tersebut mengemuka karena direpresentasikan oleh sikap para pemimpin formal maupun informal, mulai dari pemimpin pada level lokal sekelas lurah dan bupati, regional, hingga pemimpin nasional. Tidak lepas juga berlaku bagi mereka yang memimpin pada sektor swasta.

Istilah lain dari Jika X maka Y adalah sebuah sikap “munafik” dimana apa yang diungkapkan berbeda dengan kenyataan, sikap di depan tidak mencerminkan apa yang sebetulnya terjadi di belakang, apa yang dilakukan merupakan upaya mengelabui, apa yang dilakukan adalah atas dasar kepentingan atau pamrih, apa yang dilakukan sudah ada dasarnya yaitu untuk mendapatkan sesuatu di kemudian waktu. Sikap munafik ini dilakukan bisanya dalam upaya menarik perhatian, simpati atau dukungan dari orang lain dengan jalan membangun sebuah kesan atau pencitraan. Terlebih sikap Jika X maka Y ini sangat terlihat kentara pada saat berdekatan atau menjelang pesta demokrasi. Tiba-tiba semua orang bermutasi menjadi malaikat, membungkus dan mempoles dirinya sedemikian rupa sehingga orang lupa masa lalu orang tersebut, siapa ia sebenarnya, layak atau tidak orang tersebut mencapai suatu kedudukan tertentu menyebarkan kebaikan yang tentunya bersifat semu, setiap orang mengaku dirinya adalah kasatria, mengklaim telah melakukan hal ini dan itu, sampai pada satu titik takabur jika tidak ada saya maka tidak akan ada ini atau itu. Bahkan demi sebuah kepentingan, sesuatu yang sakral menyangkut dunia ritualpun dijadikan sebuah komoditas kemunafikan, misalnya seseorang menggunakan symbol pakaian keagamaan, mempublikasikan ibdah yang sebetulnya jarang ia lakukan, tiba-tiba rajin berumrah, membuat acara zikir bersama, pedahal kita tahu siapa orang tersebut sebenarnya, tujuanya hanya satu yaitu membentuk atau memperbaiki opini yang menunjukkan bahwa orang tersebut rajin beribadah atau beriman, supaya bisa mematahkan asumsi orang sebelumnya.

Kita sepatutnya sadar bahwa demi kepentingan politik apapun bisa diputar balikan, terlebih kita tahu bersama bahwa saat ini banyaknya konsultan politik dan lembaga survey, yang sudah canggih mampu mencitrakan sesorang, partai atau sebuah lembaga yang tidak dikenal, atau memiliki track record kurang baik dengan pencitraan semua bisa berubah menjadi baik dan terkenal, yang terpenting ada modal. Begitupun sebaliknya banyak trik dan kasus politik yang bisa memutar balikan keadaan dimana seorang yang baik dan memiliki catatan sejarah sempurna, dengan kekuatan uang dan pesanan pencitraan dalam waktu singkat dapat berubah menjadi seolah-olah penjahat, koruptor dan sebagainya.

Tanpa kita sadar bahwa pola pikir yang terbentuk dalam benak kita saat ini dan masyarakat Indonesia pada umumnya adalah keberhasilan dari sebuah grand desain rekayasa, yang berhasil dibentuk melalui Koran, majalah, radio, internet dan yang paling besar andilnya adalah kotak hitam televisi. Tengok saja pada sebuah kenyatan saat ini misalnya seorang cawapres yang memiliki kekayaan lebih dari 1 triliun dan belum pernah terlibat dalam ekonomi kerakyatan, secara tiba-tiba menekankan pentingnya ekonomi kerakyatan. Bagaimana bisa terwujud jika kehidupan dan kekayaannya tidak menunjukkan nilai empati terhadap masyarakat. Ada juga seorang Capres yang dulunya pernah menjabat sebagai presiden dan berpengalaman buruk melakukan privatisasi BUMN, tiba-tiba teriak-teriak mengkampanyekan anti neoliberalis dan mewanti-wanti pemerintah agar tidak melakukan penjualan BUMN. Ada juga Capres yang dikatakan santun dan dikenal menjunjung budaya ketimuran, saat ini dengan bangga menyebutkan dirinya ksatria, padahal janganlah sebutan tentang kebaikan itu berasal dari mulut sendiri melainkan dari orang lain yang menilai ia ksatria atau bukan. Bahkan ada capres yang mengklaim keberhasilan program pemerintah ini dan itu adalah sebagai jasa dan andilnya sendiri, padahal mengutip JS Mill bahwa sebuah keberhasilan bukan karena individu melainkan akumulasi orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Kita harus peka dan cerdas bahwa saat ini kita kehilangan sosok-sosok yang memang tulus, ikhlas dan tidak memiliki pretensi apapun dalam berbuat dan bertindak, semua pasti ada buntutnya. Sebagaimana hari ini kita dihadapkan pada sebuah parodi dimana debat capres atau kampanye capres isinya hanyalah klaim dan klaim, bantah berbantah, kritik mengkritik, bukan sebuah tawaran program, rencana, solusi kebangsaaan yang memang kongkrit. Apa jadinya ketika pesta demokrasi pemilihan presiden saat ini menjadi cermininan negatif bagi pesta demokrasi lokal, ketika pemilihan gubernur, pemilihan bupati, pemilihan kepala desa, pemilihan ketua Rt diwarnai oleh politik citra dan memutar balikan realita, maka yang akan menjadi pemimpin adalah peceundang-pecundang, orang-orang yang sukses dalam melakukan manipulatif saja. Sebegitu dahsyatnya praktik kemunafikan di negeri ini, ketika yang benar dengan mudah menjadi salah dan disalahkan, yang jelas-jelas salah dengan mudah di benar-benarkan.

Mari kita belajar mengamati bagaimana pola laku manusia saat ini supaya kita sadar akan kesan dan misi apa yang sebetulnya ingin ditimbulkan seseorang sehingga mereka berhasil memasukan kita kedalam jebakan pencitraan, yang menyesatkan yang dampaknya jangka panjang. Kita renungkan sebgaimana hal tersebut tanpa sadar terjadi dalam diri kita saat ini, dimana kita akui bahwa kita tidak pernah melakukan sesuatu perbuatan apapun yang kita maksudkan benar-banar untuk perbuatan itu sendiri. Dalam melakukan sesuatu hati kita penuh pamrih tersembunyi, pikiran kita sarat strategi penipuan, tidak hanya kepada orang lain, tapi juga kepada diri kita sendiri. Sebagaimana yang kita lihat saat ini atau mungkin yang bisa kita lihat dilayar kaca bahwa Kalau kita shalat atau ibadah lainnya, itu hanya ngakali Tuhan. Shalat kita hanya alat untuk mencari kemungkinan tambahan agar tercapai kepentingan tertentu yang kita simpan diam-diam dan mungkin anda tidak boleh tahu. Misalnya shalat kita bertujuan agar cita-cita kita tercapai di bidang kekuasaan, kenaikan pangkat, atau pembengkakan deposito bank kita. Tapi apa aslinya pamrih kita anda tak akan tahu , sebab anda terlalu meremehkan atau under estimate terhadap tingkat kejahatan dan keserakahan hidup orang lain.

Kalau seseorang pergi umrah, kita harus cerdas dan waspada, karena Tuhan dan rumahnya bukan focus dari kepergian orang tersebut. Kita sebaiknya jangan terlalu lugu. Hidup ini sangatlah luas dan canggih, jumlah kemungkinan tak terhingga, dan semesta nafsu kehidupan serta karier saya jauh melebihi luasnya cakrawala kemungkinan, mungkin dengan umrahlah seseorang mencoba mematahkan asumsi dari khalayak ramai kalau orang tersebut layak disebut beriman. Kalau seseorang berbuat baik kepada mayarakat, misalnya melakukan pengobatan masal, memacu pemberantasan narkoba, memberi bantuan dan santunan ke sana kemari jangan dipikir tujuan utama orang tersebut adalah deretan kebaikan-kebaikan itu. Ada yang lebih focus di kandungan hati orang tersebut, misalnya sebagai pemanasan untuk pilkada atau maju jadi lurah.

Kalau seseorang memberikan slogan “kampung beriman” atau member sebuah nama daerah “Iman Taqwa” , maka kita jangan terjebak oleh kata “iman” sebab yang di maksud sebenarnya tak ada hubungan mendasar dengan “iman”. Terbukti saat ini di suatu provinsi yang menggunakan motto Iman dan Taqwa ternyata secara birokratis dikelola oleh sebuah trah keluarga, dimana anggota DPD,DPR,DPRD, pejabat dari provinasi tersebut merupakan satu keluarga, dan sebegitu hebatnya perbuatan buruk tertutupi oleh kedok nama-nama religius atau terbalikan oleh kesan karena sepanjang jalannya terpampang poster-poster asmaul husna misalnya. Janganlah kita terjebak akan sesuatu, karena harus kita sadar semakin kontras seseorang mengaku baik, beriman, maka kesenjangan kebalikannyapun semakin besar.

Intinya jangan mudah percaya kepada seseorang dan apapun yang seseorang tersebut lakukan. Belajarlah meningkatkan dan merangkapkan kewaspadaan intelektual maupun spiritual bahwa yakin dibalik sesuatu ada sesuatu, dibalik kebaikan ada keburukan, dan sudah menjadi sebuah hukum filasafat, dimana sampai kapanpun keburukan yang jalan untuk mencapai tujuannya dengan kebaikan akan tetap menjadi buruk, dan kebaikan apapun yang jalannya dicapai dengan keburukan maka tetap akan menjadi buruk.

Kita adalah burung yang piawai menyembunyikan kepala dalam pasir . Wajah seseorang yang sampai pada pandangan kita adalah wajah yang sudah sedemikian rupa dipoles, diberikan gincu sehinga tampak cantik. Setiap seseorang ucapkan ucapkan kata “demokrasi”, sebenarnya bukanlah demokrasi itu sendiri yang di maksudkan . Kita perlu membuat simulasi; mungkin seseorang sedang mencari keuntungan pada momentum dan jenis kasus tertentu dengan menunggangi demokrasi. Begitupula ketika seseorang mengungkapkan “ekonomi kerakyatan”, bisa jadi orang tersebut memiliki momentum untuk menarik perhatian masyarakat agar disebut pahlawan wong cilik, padahal kehidupannya sama sekali tidak menunjukkan kepekaan terhadap penderitaan rakyat, dikarenakan jumlah kekayaannya sebanding dengan 500 oarang miskin ibu kota. Banyak hal baik ditunggangi oleh kepentingan politik lantas tidak menjadi baik, karena semua dengan mudah bisa dijadikan sebagai topeng.

Kalau seseorang menginformasikan sesuatu, maka asahlah kepekan psikologi, ketajaman ilmu komunikasi, bukalah lembar buku spionase; memang seseorang sedang memaparkan informasi tetapi orang tersebut batasi pada sisi-sisi yang menguntungkan pribadinya. Di dalam ideologi dan strategi komunikasi informasi, terkandung keharusan disinformasi taktis sesuai dengan posisi seseorang dalam peta-peta kepentingan. Kalau kita tertipu, terjebak atau tersesat oleh informasi yang disinformatif dari seseorang, itu semata-mata karena kita masih berpikir manual, sementara mereka yang berkepentingan sudah ke mikro digital. Begitu juga kalau seseorang mengungkapkan kata “rakyat”, “tuhan”, “religi”, pemberantasan korupsi”, “transparansi”, “reformasi” atau ratusan kata,idiom, dan jargon lainnya, maka jangan dengan mudah dan mentah-mentah anda percaya dengan orang yang mengklaim dan menyampaikan, tapi asah kepekaan, apa yag menjadi latar belakang seseorang meneriakan slogan tersebut. Jangan mudah bagi kita terjebak idiom-idiom indah yang sebetulnya menysatkan.

Kita harus sadar, mana sarana dan mana goal, mana tujuan mana cara harus patuh pada kepentingan pribadi. Menjadi pejabat dan mengabdi rakyat; yang mana sarana yang mana tujuan?menjadi pejabat supaya bisa mengabdi rakyat ataukah mengabdi rakyat supaya jadi pejabat? Menjadi pejabat itu cara atau tujuan? Kedua-duanya bukan pilihan mantap bagi kita, kurang valid. Terserah mau jadi pejabat atau jalannya dengan mengabdi rakyat, yang penting kepentingan pribadi seseorang tercapai, keuntungan materiil jangka panjang terpenuhi.

Maka kita kembali pada konklusi “jika X maka Y”, untuk keselamatan bangsa ini kita harus memiliki karakter dan menumbuhkan nurani, jangan mudah percaya pada slogan, pencitraan dan pemburukan, jangan sampe tesis Muchtar Lubis yang menyebutkan bahwa manusia Indonesia adalah manusia yang “Muanafik” semakin tersuburkan dengan gencarnya pesta demokrasi yang memunculkan pemimpin-pemim[in dan wakil-wakil yang karbitan dan asal jadi.

Leave a Reply

Sketsa