Mungkin diantara kita pernah mendengar sebuah idiom “Jangan sekedar mengkritik, tapi bertanggungjawablah atas kritik yang kita sampaikan”. Idiom yang sederhana, tapi kalau kita coba memaknainya lebih dalam, dan berupaya keras mengamalkannya, maka akan dahsyat dampaknya. Saat ini terjadi penyempitan makna dari kata kritik, jika orang dahulu baru berani memberikan kritik, ketika merasa sudah mengamalkan apa yang akan dikritikan, atau memberikan kritik sambil juga menjabarkan solusi dan menjembatani proses perbaikannya. Sedangkan saat ini, kritik lebih identik dengan istilah “munafik”. Mereka yang menyampaikan kritik ibarat peluru yang dihamburkan senapan, tidak tentu arah bahkan terkesan “membunuh” orang lain. Kritik biasanya identik dengan karma dan penyakit lupa. Sering kita terlibat dalam sebuah forum baik itu rapat di tingkat RT, kampus, kelurahan, DPRD/ DPR dan mungkin dalam rapat terkait proyek pekerjaan bahkan juga terkait hubungan dengan NGO. Tidak jarang kita dihujani kritik yang hebat, dianggap pekerjaan yang dilakukan tidak becus, dihujat dan dimaki-maki, malah tidak jarang direkomendasikan untuk diberhentikan dalam sebuah jabatan oleh forum. Tapi yang menjadi anomali adalah mereka yang pernah mengkritik, tidak jarang ketika suatu saat diberikan amanah yang sama, lupa akan kritik yang pernah diberikannya kepada orang lain, dan malah gagal dalam proses kepemimpinannya.
Mengkritik merupakan proses bercermin, ketika tidak sambil memandang wajah sendiri tidak jarang kritik malah menjadi karma, ibarat menjilat ludah sendiri dan lupa dengan apa yang pernah dikatakan. Ada hal menarik mengenai kritik terkait dengan sebuah pengalaman sederhana. Menjadi seorang asisten CSR (Corporate Social Responsibility) pada sebuah perusahaan membutuhkan kedekatan dengan masyarakat lokal guna terbangunnya respek masyarakat terhadap perusahaan. Walaupun terdapat kantor namun dalam keseharian saya lebih banyak bekerja keliling desa di sekitar operasional perusahaan, untuk menanyakan kondisi, mendengarkan keluhan dan menggali informasi mengenai tanggapan masyarakat terhadap perusahaan. Suatu kali saya terlibat obrolan dengan Sekretaris sebuah desa, tepatnya Desa Mangkalapi, membahas mengenai program-program keagamaan desa, dan pada akhirnya pembicaraan terfokus membahas mengenai kritikan saya kepada Sekdes mengenai pelaksanaan khotbah shalat jumat di mana khatib yang naik mimbar biasanya begitu terfokus membaca buku khotbah yang kadang tema yang dibacakan itu-itu saja, tidak nyambung dengan kondisi desa atau situasi kontemporer, terlebih istilah yang digunakan dalam buku khotbah tidak banyak dimengerti oleh masyarakat desa, seperti istilah: substansi, komitmen, sugesti, siginfikan, implementasi, milenium. Yang pada akhirnya jamaah jumat sebagian besar tertidur bukan mendengarkan khotbah.
Dibalik kritikan tersebut ternyata tidak main-main, dalam jadwal khotbah jumat pekan berikutnya nama saya dicantumkan sebagai khotib oleh Sekdes tanpa sepengatahuan saya, dan otomatis sorban putih sebagai tanda khotib harus tersampir di bahu saya. Saya pun kalang kabut karena seingat saya menjadi khotib terakhir adalah lima tahun lalu saat SMA, akhirnya saya mengingat-ingat kembali rukun dan syarat khotbah serta menggali materi terkini berkaitan dengan kondisi desa. Hamdulillah disaat saya khotbah, tidak harus membaca buku karena apa yang saya sampaikan sudah saya hafalkan diluar kepala, dan ternyata berhasil membuat jamaah jumat tidak satu orang pun tertidur.
Rupa-rupanya hari jumat menjadi hari yang menegangkan buat saya karena sampai dengan saat ini, jika saya shalat jumat di Desa Mangkalapi terjadwal atau tidak terjadwal sebagai khotib, sorban putih selalu terbang dan mendarat di bahu saya menandakan saya harus menjadi khatib, dan mustahil sorban tersebut saya pindahkan ke bahu orang lain karena sama saja tidak menghargai kepercayaan yang diberikan masyarakat desa, walaupun di desa tersebut terdapat tokoh-tokoh tua dan pemuda. Pernah dalam satu bulan, empat minggu berturut-turut saya menjadi khatib, yang menjadi masalah adalah kapasitas materi yang harus saya sampaikan semakin lama semakin habis, sampai saya kebingungan apalagi yang harus saya sampaikan dalam khotbah jumat, karena tinggal di hutan akses materi untuk khotbah juga sangat terbatas. Terkadang daripada terbentuk ketergantungan dari warga terhadap saya selain karena kondisi saya yang tidak siap untuk khotbah, dikarenakan “isi kepala” yang sudah kosong , pada akhirnya saya sering mengungsi shalat jumat di desa lainnya (kabur:p).
Itulah makna dari sebuah kritik, ternyata saya yang mengkritik maka saya pulalalah yang harus bertanggungjawab menjadi pelaku perbaikan dan kalau bisa sekalian menjadi teladan dalam pelaksanaan khotbah di kampung. Terbayang kalau saya mengkritik mengenai shalat jumat dan ketika saya diminta jadi khotib tidak bisa betapa malunya, lantas apa kekuatan sebuah kritik ketika kita dihadapkan pada situasi menjadi aktornya ternyata tidak bisa berbuat apa-apa. Makanya bercerminlah sebelum kita mengkritik apapun, jangan sampai ketika kita diberikan kesempatan menjadi aktor malah lari dari tanggungjawab.
Archive for 01/11/09 - 01/12/09
posted by rahmatullah on Humaniora
posted by rahmatullah on Humaniora
Saya tidak pernah menyangka jika nama Mangkalapi akan menjadi mozaik yang turut mewarnai kehidupan saya. Karena memang sudah menjadi suratan takdir dengan wasilah pekerjaan, mengakibatkan saya bertempat tinggal di Desa Mangkalapi. Ya, saat ini saya menjadi pekerja sosial pada PMA perkebunan kelapa sawit yang site-nya berada di Desa Mangkalapi, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Pada awalnya saya menganggap tidak ada yang istimewa dengan Desa Mangkalapi, karena saya asumsikan bahwa semua Desa pada umumnya sama tidak ada keunikan, sebagaiman desa-desa lain yang pernah saya sambangi atau saya teliti.
Namun seiring waktu, entah mengapa pada pekan pertama bekerja seolah-olah hati kecil saya mengatakan bahwa ada sesuatu di Desa Mangkalapi, entah ada keterkaitan batin apa, yang pasti ketika melakukan assessment atau kajian dasar terkait kondisi sosial desa dan social mapping, keinginan saya menanyakan historical desa kepada kepala Desa dan tokoh-tokoh tetua desa sangat menggebu, dibandingkan mengeksplorasi data lain. Pada akhirnya feeling saya yang kuat mulai terbuka ketika saya mewawancarai Kai sawal (kai; sebutan untuk kakek atau yang dituakan dalam bahasa banjar) yang saat ini umurnya tidak diketahui, tapi sepertinya sudah lebih dari 70 tahun. Beliau menanyakan asal daerah saya “ikam asli manakah?” artinya “kamu aslinya darimana”, saya jawab “Ulun dari Banten”, beliau sambung lagi “urang sundakah ikam?”, dari “suku sundakah kamu?”. Setelah itu saya jawab “Iya Kai, suku saya sunda”. Nah ketika Kai tahu kalau saya bersal dari sunda berubahlah air muka kai tersebut, yang awalnya agak acuh menjadi sangat menghormati saya, yang terbilang masih sangat muda:p. Justru sikap kai tersebut membuat saya menjadi canggung. Lalu saya tanya lagi “ada apa gerang kai?” lalu mengalirlah cerita dari Kai mengenai sejarah zaman pemberontakan di Desa Mangkalapi, dan beliau adalah satu-satunya saksi sejarah yang masih hidup.
Hampir semua orang ketika belajar sejarah saat SMP atau SMA pernah mendengar pemberontakan Ibnu Hajar yang berlokasi di Kalimantan Selatan, tak dinyana ternyata tempat persembunyian gerombolan tersebut berlokasi di Desa Mangkalapi, para desertir pejuang 45 yang kecewa ketika dilakukan rasionalisasi keanggotan dan kepangkatan TNI kemudian menjadi “pemberontak” (versi cerita warga lokal) dan menjadikan Desa tersebut sebagai tempat persembunyian sekaligus basis logistik. Disisi lain kondisi Desa Mangkalapi yang tadinya ramai dan damai menjdi mencekam, mayoritas penduduk Desa dikarenakan dilanda ketakutan dan ancaman dari gerombolan Ibnu Hajar, karena harta kekayaannya dirampas, pada akhirnya mengungsi ke desa-desa lain dan sebagian lainnya membentuk Desa baru.
Melihat kondisi di Kalsel tidak kondusif, membuat pemerintah pusat tidak tinggal diam, mengirimkan pasukan penumpas pemberontak yang ternyata kodam yang diutus ke Kalsel dan masuk hinga ke pedalaman Mangkalapi adalah berasal dari Divisi Siliwangi Bandung. Mereka bergerilya masuk kehutan-hutan memberantas gerombolan Ibnu Hajar, dan Kai sawal ternyata salah satu orang kampung yang diperbantukan ABRI dalam logistic militer mengangut bayonet, peluru dan lain-lain.
Memang sangat harum nama Siliwangi dan orang-orang sunda di Desa Mangkalapi dan sekitarnya karena keheroikan mereka menumpas pemberontakan Ibnu Hajar sampai sayapun yang bukan pejuang apa-apa begitu dihormati karena berasal dari sunda. Ternyata inilah jawaban atas ‘kereteg hate’ saya ada apa sebetulnya di Desa Mangkalapi, ibaratnya ada daya magnet di diri saya untuk mengetahui sejarah desa lebih dalam.
Terjawab sudah pertanyaan saya mengapa kok di Desa Mangkalapi, pedalaman nun jauh di Kalsel terdapat orang-orang yang berbahasa sunda, setelah dikaji ternyata ada dua golongan orang sunda di sana. Pertama, adalah keturunan dari para pejuang siliwangi yang tidak pulang ke Bandung melainkan menikah dengan orang suku banjar, dan generasi yang ada sekarang adalah generasi ketiga dan keempat atau cucu dan cicit. Kedua, orang sunda yang merupakan transmigran dari ciamis, sukabumi, cianjur, dan sumedang yang juga saat ini sebagian sudah menjadi generasi kedua dan ketiga, yaitu anak dan cucu. Hal yang unik adalah bahasa sunda mereka masih khas sudan priangan yang halus dan terus mereka lestarikan dalam bahasa keseharian, namun mereka tidak tahu asal mereka dari mana percisnya seperti nama kecamatan atau desa, karena ketika ditanya “Ibu Sukabumina di palih mana?”, beliau ahanya menjawab “ah pokonamah sukabumi, eta di jawa barat tea”, dimata mereka sukabumi adalah nama tempat yang mereka anggap sempit seperti kampung yang ada di Jawa Barat, padahal begitu luas Kabupaten atau Kota Sukabumi. Namun sayang transmigran sunda sebagian besar tidak berhasil dikarenakan menurut mereka tidak diberikan sumber penghasilan tetap seperti dari kebun karet atau sawit. Namun demikian saat ini sebagian besar transmigran sunda menjadi pekerja harian lepas di perkebunan tempat saya bekerja.
Secara fisik memang sudah tidak tampak lagi bekas-bekas herosime siliwangi di Mangkalapi, tapi semua warga Desa Mangkalapi tahu, begitu besar jasa Kodam siliwangi dalam menumpas pasukan desertir Ibnu Hajar dan membuat wilayah mereka aman. Anak, cucu, dan cicit mereka yang kini tersisa di Desa tersebut dan satu yang saya kenal sukses adalah Pak Kaspul, seorang pengusaha angkutan Batubara yang beristrikan orang banjar dan sangat bangga dengan almarhum ayahnya “orang Sumedang” yang sudah meninggal dan dikebumikan di Desa Mangkalapi.
Luar biasa perjalanan jauh ke pedalaman Desa Mangkalapi, Kecamatan Kusan Hulu, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, ternyata merupakan ‘petualangan batin’ bertemu dengan ‘ruh siliwangi’ dan bertemu dengan saderek sadulur orang sunda. Hehe walau demikian sampai sekarang belum dapat jodoh orang sunda made in Desa Mangkalapi.
*mohon maaf tidak ada pemihakan akan sejarah Ibnu Hajar karena ada versi “pahlawan” dan ada versi “pemberontak”, saya hanya menuturkan cerita masyarakat setempat.
posted by rahmatullah on Kesejahteraan Sosial
Saya bukanlah seorang perokok, tapi tertarik mengamati dunia pe-roko-an, karena memang dari dulu menjadi korban lingkungan yang sebagian besar perokok, mulai dari SMA, kampus sampai dengan sekarang di lingkungan kerja. Entah kenapa jika dihitung presentasi kawan yang merokok dalam komunitas yang pernah saya ikuti sebagain besar merokok dan sisanya terpaksa menjadi pesakitan karena menampung buangan asap para perokok. Tidak jarang teman yang merokok menyindir mereka yang tidak merokok “Daripada lu jadi perokok pasif, nyedot asep orang lewat idung, mendingan lu ngerokok sekalian”. Saya tidak terjebak dengan sindiran itu, gak ada alasan rasional untuk merokok, sekali gak ngerokok ya gak ngerokok, soalnya saya pikir, lebih baik anggaran merokok digantikan menjadi zakat untuk fakir miskin, pasti akan sangat ‘memberdayakan’, namun yang menjadi paradoks mayoritas penduduk Indonesia adalah miskin tapi kok merokok bisa, menganggur tapi merokok jalan terus, puasa makan bisa tapi puasa merokok gak bisa.
Satu kali saya sempat membuat merah wajah kawan, diawali obrolan keluh kesah kawan tersebut mengenai gaji yang kecil, sedangkan anak sudah tiga, istri tidak bekerja, disisi lain kebutuhan bulanan terus bertambah, beliau bercerita sambil merokok yang gak ada putusnya. Lalu saya jawab “Bapak gak takut sakit? kalau Bapak sakit terbayangkah biaya rumah sakit berapa?”, beliau seperti bingung mendengar respon saya yang gak nyambung “Lho kok malah nanya sakit, saya memang gak mau sakit, apa kaitannya dengan kondisi saya!”. Saya sambung lagi “Bukan begitu Pak, coba bayangkan kalau tiba-tiba Bapak sakit dan harus dirawat gara-gara sesak nafas misalnya, sedangkan resiko terkena penyakit akibat rokok bukan jenis sakit ringan, gimana istri dan anak bapak nanti. Nah saya Tanya sehari Bapak merokok berapa bungkus?”. Beliau menjawab “Ya biasanya dua bungkus” saya tanggapi lagi “Bapak merokok merek xxxx, harga sebungkusnya sekitar Rp.10.000, coba bapak kali sebulan, total Bapak bisa habiskan uang dalam satu bulan untuk rokok saja sekitar Rp. 600.000, dan andai uang sejumlah itu Bapak masukan ke anggaran makan keluarga, setiap hari anak Bapak bisa minum susu, makan daging, atau mungkin jika ditabung, hitung berapa jumlahnya setelah satu tahun”. Tiba-tiba Bapak itu terdiam, lalu mematikan rokoknya kemudain menjawab “Iya ya… kenapa kok saya gak mikir kesana”. Tapi herannya sampai sekarang asap rokok masih mengepul dari mulutnya, walaupun beliau gak berani merokok di depan saya. Saya pikir wajib hukumnya bagi orang yang kesulitan ekonomi berhenti merokok biar gak sakit asma sesungguhnya, juga gak terjepit asma kantong kempis.
Namun diantara berbagai macam alasan merokok, ada satu tipe perokok yang saya anggap wajar, yaitu jenis perokok sosial. Rokok sosial biasanya digunakan oleh pekerja sosial atau pekerja survey dalam rangka melakukan pendekatan, penelitian atau assesmen terhadap masyarakat, karena bisanya setelah berbagi rokok kepada narasumber atau ketika narasumber yang kebetulan laki-laki merokok dan kita temani, biasanya wawancara menjadi lebih mengalir, data bisa di dapat dan terbentuk kedekatan dengan narasumber. Hebatnya perokok sosial adalah mereka yang bukan candu, ketika wawancara selesai merokoknyapun selesai dan baru akan meroko lagi ketika menemukan narasumber perokok atau yang sedang merokok. Tapi Hamdulillah setahun saya menjadi pekerja sosial, semua bisa berjalan dengan baik, bisa dipercaya masyarakat dan mendapatkan data akurat tanpa harus merokok.
Sebetulnya pembahasan awal diatas sudah jauh dari judul, tapi gak apalah rokok begitu membekas dalam benak saya karena wasilah meninggalnya Bapak saya dikarenakan beliau perokok berat, maklum karena seorang nelayan butuh kehangatan badan ketika berada di tengah lautan. Kembali ke judul diatas, saya sebetulnya ingin bercerita mengenai keunikan rokok di lokasi saya bekerja di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Dilokasi saya bekerja tidak ada yang menjual rokok batangan atau eceran, gak hanya warung besar begitu juga di warung kecil, rokok yang ada dijual perbungkus, dan memang pada dasarnya gak ada juga warga yang membeli rokok perbatang. Hal tersebut pernah saya tanyakan ke kawan yang asli orang sampit, dia bilang “Mana ada di kalimantan ini orang jual rokok batangan, yang ada perbungkus, bapak ni becanda”. Dasar beliau menyampaikan hal tersebut karena gak percaya kalau dijawa rokok dijual eceran, berapa batang pun kita beli pasti ada yang jual. Apalagi sering kita lihat spanduk yang menginformasikan rook xxxx Rp 1000 dapat tiga batang. Bisa jadi kondisi ini terjadi karena rendahnya nilai uang di pulau Kalimantan atau mungkin tingginya daya beli masyarakat.
Ada satu keunikan juga, dimana banyak rokok-rokok bermerek “aneh” di Kalimantan, tidak hanya rokok pada umumnya yang kita kenal beredar, justru yang lebih banyak mendominasi pasar adalah rokok mereknya unik, yang mungkin jarang orang-orang mengenalnya. Ada yang bermerek gudang jati, nes, win, golden gate, up mild, filo, bokormas, 345, gulden, dll. Selidik punya selidik ternyata hampir semua rokok ini tidak memiliki cukai atau biaya pajak, harga jual perbungkusnyapun murah, berkisarantara Rp 3000 - Rp 6.000. Ternyata asumsi saya keliru, kenapa gak ada yang jual rokok eceran, bukan karena daya beli yang tinggi atau rendahnya nilai uang di Kalimantan, justru karena banyaknya rokok merek “aneh” itulah yang merusak harga rokok resmi, makanya warga lebih memilih rokok yang harganya Rp 3000 sebungkus daripada Rp 1.000 yang jumlahnya tiga batang.
Namun demikian jika dikaitkan dengan kesehatan ukurannya bukan kuantitatif atau kualitatif lagi. Seorang kawan satu group perusahaan yang kebetulan sedang melakukan pendampingan tim peneliti IPB ketika meninjau perusahaan, sempat tergiur mersakan rokok yang bermerek aneh, maka belilah si kawan tersebut tiga bungkus rokok dengan merek sama dengan rasa yang berbeda, ketika dicoba dan dihirupnya beberapa kali sedotan, kawan tersebut langsung memejamkan mata lalu bilang “Haduh, pusing benar kepala ni, ni rokok apa racun bikin pening kepala”. Mungkin karena rokok “aneh” ini tidak ada penelitian berapa kadar nokotin, tar dan sebagainya, sehingga konsumen dicocok dengan rokok yang tidak jelas apa kandungan di dalamnya. Sebetulnya gak ada istilah keracunan dengan rokok, mau jenis apapun rokok ya rokok tetap racun, apalagi rokok yang aneh mereknya semakin parah lagi racunnya. Selamat “merokok”…
posted by rahmatullah on CSR, Humaniora
Menjadi asisten CSR (Corporate Social Responsibility) pada sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit, mengantarkan saya kepada tugas untuk bisa dekat dengan masyarakat lokal, diterima kehadirannnya, bisa menjadi pendengar segala keluhan dan berupaya keras mewujudkan harapan masyarakat terkait hubungannya dengan perusahaan, dan tidak jarang saya harus menjadi bumper bersama Humas untuk menyelesaikan sengketa, baik itu berkaitan dengan agraria maupun hal lainnya.
Ketika kita berada pada sebuah komunitas baru, tuntutannya harus siap dengan segala perbedaan yang ada, melihat perbedaan bukanlah sebuah kekurangan, melainkan berupaya memaknainya sebagai keanekaragaman yang justru memperindah. Secara kebetulan lokasi saya bekerja bekerja berada di Kabupaten Tanah Bumbu, sebuah kabupaten baru berada paling Selatan Pulau Kalimantan, dimana mayoritas masyarakatnya beragama Islam, bersuku banjar , dan menggunakan bahasa banjar sebagai bahasa keseharian.
Sangat Menarik ketika ketika sedikit saja kita membahas Bahasa Banjar, bahasa yang logatnya tidak sulit dipelajari karena induknya berasal dari bahasa melayu, selain juga terdapat banyak serapan Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda. Namun hal yang paling unik adalah banyaknya partikel atau akhiran yang digunakan dalam setiap akhir kata atau kalimat. Karena banyaknya penggunaan partikel atau akhiran kata itulah yang menjadikan Bahasa Banjar begitu khas.
Berkaitan dengan Bahasa Banjar mengantarkan saya pada pengalaman menarik, hal tersebut terjadi ketika pekan pertama bekerja saya bekerja, sudah menjadi Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dilakukan oleh seorang asisten CSR ketika berada pada wilayah atau komunitas baru, yaitu melakukan familiarisasi atau silaturahmi, mengadakan kunjungan (assessment) ke desa-desa sekitar wilayah operasional perusahaan untuk memperkenalkan diri sekaligus juga mengenalkan profil perusahaan lebih dekat kepada masyarakat, supaya terjalin kepercayaan dan hubungan yang harmonis sebagai modal dasar izin lokal beroperasinya perusahaan.
Pada saat awal silaturahmi inilah kekurangan pengetahuan ke-lokalan menjadikan saya tidak pede dan mikir apa yang sebetulnya salah pada cara bicara saya. Sebetulnya masalahnya sederhana, berkaitan dengan bahasa banjar yang banyak menggunakan kata fungsi atau partikel –lah atau –kah sebagaimana dijelaskan diatas. Awalnya saya berpikir kenapa sih orang banjar kalau diajak ngomong sepertinya gak ikhlas, mau gak mau dalam menjawab, karena setiap mereka bertanya atau menjawab selalu dengan kata-kata yang berakhiran –lah, atau –kah. Dalam bahasa Indonesia atau bahasa keseharian kita, penggunakan akhiran –lah sepertinya menunjukkan ketidaktulusan atau jawaban semaunya seperti “ ya iyalah”, “gak usahlah”, “apa artinyalah”. Sedangkan akhiran –kah, dalam keseharian kita bermakna pertanyaan sekaligus menunjukkan keraguan seperti “karena apakah?”, “iyakah?” atau “harus begitukah?”, bertanya tapi seolah-olah kurang tulus.
Jangan salah dengan bahasa banjar, persepsi awal saya dengan cara orang banjar yang saya nilai kalau bicara sepertinya gak ikhlas atau gak sungguh-sungguh merupakan kesalahan total. Penggunaan akhiran dalam bahasa banjar merupakan pemanis kata, atau penguat untuk menunjukkan sebegitu antusiasnya mereka dalam menanggapi obrolan. Bagi masyarakat banjar berbicara tanpa akhiran –lah, - kah, atau akhiran lainnya, ibarat makan tanpa garam, “gak berasa”, karena itulah kekhasan mereka. Jangan heran jika akhiran yang sering digunakan tidak hanya –lah atau –kah. Tapi masih banyak lagi, ada –jar, -pang, -am, -ja, -ha,- gin, -aja, dan –ay.
Lumayan satu pekan gak pede dan stress juga menganggap orang banjar sepertinya gak suka, gak ikhlas, atau terpaksa dalam menanggapi pembicaraan karena banyaknya akhiran yang digunakan. Justru kebalikannya semakin banyak akhiran yang mereka gunakan, mereka semakin menunjukkan begitu antusiasnya menanggapi pembicaraan kita. Halah..