Jika kita coba cermati pemberitaan media baik elektronik, cetak, atau berita internet, segmentasi lokal maupun nasional, setidaknya terdapat empat berita besar yang terus terjaga kehangatannya, dikarenakan fenomenanya seperti belum akan habis, mulai dari Pansus Century, Pembobolan ATM, tindak kriminal elektronik dan plagiarisme dalam ranah akademik.
Andai kita dalami masing-masing kasus, sepertinya apa yang sedang terjadi menggambarkan perwajahan bangsa ini. Kasus Bank Century mewakili kejahatan ranah elit baik itu politikus maupun kalangan bisnis. Pembobolan ATM yang diinisiasi oleh warga asing dan yang menjadi korban masyarakat Indonesia, seakan menginformasikan akan banyaknya orang kaya dibalik fenomena kemiskinan yang menggejala saat ini. Tindak kriminal elektronik seperti mewakili kegagapan atau mungkin begitu pandainya sebagian masyarakat akan dunia maya, dimana facebook seakan menjadi hantu dasamuka, menjadi ‘orang tua baru’ yang lebih bersahabat diajak curhat bagi remaja yang kehilangan kasih sayang orang tua. Dan yang paling menghawatirkan adalah Plagiarisme seperti menjadi idiologi (isme) atau budaya akademik di Indonesia, sehingga menjadi tamparan begitu mirisnya kebiasaan contek yang mendera guru-guru besar yang selama ini kita gugu dan tiru tauladannya.
Tulisan ini tidak akan mengupas tiga kasus diawal, karena ketiganya lebih pada ranah profan, tapi bagi saya yang paling menyentuh batin adalah mengenai plagiarisme yang erat kaitannya dengan ranah sakral yaitu ilmu, akademika yang mewakili moralitas kebenaran dan kejujuran.
Kita berani katakan bahwa Bulan Februari 2010 merupakan bulan plagiarisme, dimana sunatullah berjalan, tabir plagiarisme yang selama ini rapi tertutupi, sedang Tuhan tamparkan ke wajah kita. Dimulai dari kasus plagiarisme karya tulis ilmiah yang dilakukan 1.820 guru di Pekanbaru dalam rangka sertifikasi. Kemudian Plagiarismee yang dilakuan salah seorang Guru Besar Universitas Katholik Parahyangan (Unpar) Bandung terkait dengan artikel yang berjudul RI as A New Middle Power yang dimuat di harian The Jakarta Post pada 12 November 2009, yang ternyata memiliki kemiripan dalam hal pemaparan gagasan, kata-kata, dan kalimat dengan artikel yang ditulis Carl Ungerer, penulis Australia, dengan tulisan berjudul The Middle Power, Concept in Australia Foreign Policy yang telah lebih dulu dimuat di Australian Journal of Politics and History Volume 53, pada 2007. Adapun yang terhangat mengenai plagiarisme adalah pemberitaan milis dan Koran lokal banten mengenai dugaan plagiarisme yang dilakukan oleh Guru Besar Universitas Tirtayasa, dalam opini berseri yang dimuat pada harian lokal Fajar Banten pada tanggal 29-30 Januari 2009, dengan judul Untirta Menuju Kelas Dunia, yang disinyalir merupakan plagiasi pada dua tulisan yaitu; tulisan La Ode M Aslan, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang sudah dimuat pada rubrik opini Koran Kendari Post dengan judul Impian Mendorong Unhalu 2025 Sebagai World Class University, serta pada Tulisan dalam blog http://www.djatinangor.com/search/label/Kampus, yang merupakan media milik pers mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) UNPAD yang berjudul World Class University Episode Masa Depan Unpad, hasil reportase wartawan pers mahasiswa ratih dan rezki.
Siapapun kita pasti sangat terpukul dengan fenomena dan dugaan plagiarisme ini, walaupun sangsi sudah diberikan seperti penurunan pangkat pada 1.820 guru di pekanbaru , dan secara berbesar hati mengakui perbuatan dan mengundurkan dirinya Guru Besar Unpar, dan saat ini khalayak banten khususnya kaum intelektual mungkin sedang menunggu sikap dari Universitas Tirtayasa selaku institusi terKait adanya bukti plagiasi pada salah seorang dosennya.
Terlepas dari tiga kasus diatas, yang menjadi pertanyaan adalah apa makna plagiarisme sebenarnya, karena saat ini banyak terjadi perdebatan mengenai hakikat plagiarisme, karena ada sebagian kalangan yang menolak disebut dirinya melakukan plagiarisme.
Sebagaimana dikutip dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Plagiarisme, Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Plagiarisme adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. Felicia Utorodewo, dalam Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah, menggolongkan hal-hal yang termasuk dalam tindakan plagiarisme yaitu; mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri, mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri, mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri, mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri, menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal-usulnya, meringkas dan memparafrasekan (mengutip tak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya, dan meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya.
Sebetulnya mudah dan tidak perlu berdebat dalam menetukan sebuah tulisan bisa dikatakan plagiarisme atau bukan, tinggal melihat indikator diatas. Bagaimanpun mengutip adalah perbuatan yang halal, tapi berbeda jika yang dikutip adalah sebagian besar tulisan, dengan hanya mengubah prolog, kalimat penyambung dan epilog dari sebuah tulisan. Jikapun opini dalam Koran tidak menggunakan footnote, tetap ada kaidah dalam mempertahankan kutipan, yatu dengan menuliskan sumber disetiap awal atau akhir kutipan.
Masalah plagiarisme adalah masalah kebesaran jiwa, pertarungan kebenaran, kejujuran dan popularitas. Sebuah kasusistik dan bisa kita generalisir adalah pengakuan dosen Unpar yang melakukan plagiarisme, bahwa menulis di The Jakarta Post tidak ada proses ricek dan biasanya langsung dimuat sehingga banyak tulisannya yang diterbitkan, hal tersebut juga mungkin terjadi pada Koran lokal, terlebih jika yang menulis adalah profesor, mungkin tidak ada proses ketat dalam melakukan seleksi tulisan.
Tapi memang sifat dasar manusia ketika satu kali plagiasi berhasil akan melakukan plagiasi berikunya, yang pada akhirnya berubah menjadi kebiasaan, apalagi dengan iming-iming populer dan produktif, setelah berulang-ulang dimuat dan merasa tidak ada sistem kontrol, plagiasi telah menjelma menjadi kebablasan, terlebih merasa tidak akan ada yang tahu, padahal disengaja atau tidak seiring waktu, aib plagiasi akan terungkap.
Resiko plagiasi amatlah besar karena berkaitan dengan martabat orang yang melakukan plagiasi, namun respek kita sampaikan pada Guru Besar termuda Unpar yang secara gentlemen mengakui perbuatannya. Mungkin dalam hati terdalam Guru Besar tersebut, dia tidak ingin generasi dibawahnya, kalangan akademis lain, dan mahasiswa menjustifikasi plagiarisme yang diperbuatnya, dan menjadikan perbuatan itu halal. Bagaimanapun guru besar adalah sImbol kesakralan keilmuan, yang sikap, laku, kata dan langkahnya adalah kemuliaan dan patut ditiru. Jika guru besarnya melakukan plagiarisme, bagaimana dengan guru kecil, guru kampung, mahasiswa, dan siswa. Lalu mau kita simpan dimana kesakralan sebuah ‘ilmu’, dan untuk apa ada institusi akademik.