Diberdayakan oleh Blogger.

NEGARA KAYA TAPI MISKIN


posted by rahmatullah on

No comments


Sampai sekarang kita takkan pernah lupa lagu Kolam Susu-nya Koes Plus yang potongan syairnya “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Bahkan masih ingat dalam benak kita sejak kanak-kanak hingga saat sekarang, orang tua, guru dan para pejabat pernah mendoktrin bahwa negara kita adalah negara kaya, segala potensi alam ada di negeri  zamrud katulistiwa.
Koes plus tidak salah, mungkin karena pada masanya lagu tersebut di buat, negara ini sedang makmur dalam ‘bias’, kemiskinan berhasil di babat sampai dengan 40 persen, swa sembada pangan terjadi hampir di semua wilayah Indonesia, jika mengikuti tahapan pertumbuhan ekonominya WW. Rostow negara kita nyaris tinggal landas, hingga yang membanggakan pada masa itu, Indonesia dijuluki sebagai macan Asia yang pertumbuhan serta kestabilan ekonominya meninggalkan Malaysia dan Thailand bahkan menjadi guru bagi Vietnam dan juga Myanmar.
Akan tetapi mengapa beberapa pekan ini sepertinya berdiaspora isu nasional yang berkaitan dengan  kemiskinan, paradoks dengan kekayaan alam yang katanya melimpah ruah. Mulai dari munculnya isu Freeport mengenai konflik perusahaan dengan komunitas lokal berkaitan dengan disparitas pembagian hasil antara pusat dan daerah, isu marasmus, dampak kenaikan BBM yang tiada akhir, permasalahan impor beras dari Vietnam, isu pengelolaan blok Cepu yang dimenangkan Exxon mobile, isu rencana kenaikan TDL, dan isu-isu lain yang menggambarkan seolah-olah kita kelaparan di lumbung padi, kesulitan minyak di tambang minyak, dan miskin di tambang logam mulia.
Paradigma Keliru
Syafii Maarif mengatakan bahwa kita sedang hidup di negeri yang tergadai, dan saat ini memang negeri ini telah tergadaikan hampir semua kekayaan alamnya, karena pengolahan dan pengelolaannya hanya bisa di lakukan oleh pihak swasta/ asing dengan mengedepankan konsep profit sharing yang total merugikan masyarakat Indonesia, terlebih masyarakat lokal. Andai kita coba renungkan, mengapa masalah-masalah sosial tersebut bisa timbul dan semakin hari semakin menggejala? Jawabannya adalah karena sejak awal kita terdoktrin oleh paradigma keliru yang menyatakan “bangsa kita adalah bangsa kaya”, sehingga dampak yang ditimbulkan dari doktrin tersebut adalah pembangunan yang tidak di landaskan pada pengembangan brain power. Hal tersebut bisa diterjemahkan pada lemahnya optimalisasi bidang pendidikan, penguasaan teknologi industri dan penguasaan teknologi informasi. Hampir di semua bidang tersebut putra-putri Indonesia gagap, padahal sektor-sektor ini akan terus berkembang sampai kapanpun karena menjadi kebutuhan yang berkelanjutan.
Andai kita coba berpikir lebih dalam lagi, mengapa Singapura, Jepang, dan Taiwan bisa menjadi negara kaya meski miskin sumber daya alam, karena mereka berpikir maju dengan menguasai sistem informasi, teknologi dan manajemen sekaligus, yang dari sana mereka bisa menghimpun kekayan yang berasal dari negara-negara kaya sumber daya alamnya namun miskin penguasaan teknologinya, seperti Indonesia.
Sadar Akan Ketertinggalan
Meminjam pernyataan Stan Shih, CEO Acer Group dalam bukunya Mee Too Is Not My Style, menyatakan bahwa kemampuan sebuah negara untuk bersaing tidak muncul begitu saja. Di masa lalu sebuah negara bisa menjadi kaya hanya dengan mengandalkan sumber daya alam, dewasa ini negara-negara kaya harus menciptakan kekayaan melaui akumulasi teknologi tinggi, manajemen, dan sistem integrasi sekaligus. Yang disebut ”jangka panjang” dalam perspektif sejarah akan menjadi semakin pendek. Di masa lalu, jatuh bangunnya suatu negara di hitung berdasarkan satu siklus ratusan tahun. Sekarang setiap satu atau dua dekade akan menghasilkan sebuah pergantian. Karena itu pengembangan brain power yang efektif di sebuah negara akan menentukan kemakmuran sebuah negara tersebut di masa yang akan datang. Pernyatan tersebut merupakan jawaban mengapa negara seperti Jepang, Singapura, Korea Selatan, hingga Malaysia, kini  bisa begitu jauh meninggalkan Indonesia. Hal ini dikarenakan paradigma yang dibangun negara-negara tersebut adalah peningkatan mutu human resources, dan semaksimal mungkin memutus ketergantungan terhadap sumber daya alam.
Melihat masalah sosial yang terus berkembang saat ini, seharusnya membuat  pemerintah peka dan menjadikan peningkatan mutu sumber daya manusia sebagai fokus utama pembangunan jangka panjang. Karena kita yakin kedepan deposit kekayaan alam akan semakin habis dan sama sekali tidak dapat diandalkan lagi, maka harapan berjalannya kehidupan selanjutanya bukan sepenuhnya pada sumber daya alam, melainkan pada manusia yang cerdas. Jika saja kita ingin sedikit beranjak untuk lebih maju, sebetulnya mudah saja. Andai putera-puteri Indonesia mampu mengolah hasil sumber kekayaan alamnya sendiri tanpa melibatkan pihak asing, maka perputaran keuntungannya tidak akan lari kemana-mana melainkan masuk ke Indonesia. Karena selama ini keuntungan hasil kekayaan alam Indonesia, 75-80% transit di negara perusahaan pengolah SDA tersebut berasal, sedangkan sisanya 15-20% di perebutkan oleh pemerintah pusat dan daerah, belum lagi di daerah pun diperebutkan kembali antara Pemda setempat dengan masyarakat lokal di mana perusahaan melakukan penambangan. Oleh karena itu wajar, jika masalah Freeport, Exxon mobile oil, Newmon dan lainnya muncul, karena permasalahan dasarnya adalah masyarakat Indonesia sampai sekarang belum mampu mengolah hasil kekayaan alamnya sendiri, selain itu sikap mental ”malas” karena terbiasa hidup makmur tanpa banyak bekerja harus terus di benahi, konflik-konflik bermunculan disebabkan ketidaksiapan masyarakat dalam menerima perubahan, ketika ada sedikit saja pergeseran kondisi, timbul ketakutan luar bisa, karena menganggapnya sebagai ancaman.
Menggantungkan Harap Pada Pemerintah
Harapan terbesar untuk merubah keadaan sebetulnya di berikan kepada pemerintah, selagi masyarakat masih memberikan kepercayaan. Pertama, mulai dari permasalahan sederhana namun mendasar adalah merubah ”paradigma masyarakat” jika memang negara ini tidak lagi kaya dengan deposit sumberdaya alamnya. Kedua, yang harus di segerakan adalah akselerasi peningkatan mutu SDM dengan peningkatan kualitas institusi-institusi pendidikan yang ada dengan mengembangkan iklim research, dalam hal ini adalah tuntutan terhadap pemerintah dalam meningkatkan anggaran pendidikan, sehingga lambat laun masyarakat Indonesia pun memiliki kapasitas dalam bidang teknologi baik sitem informasi, manajemen, maupun industri. Dengan demikian mulai dari pengelolaan SDA hingga penciptaan software dan hardware tidak melulu menggantungkan pada pihak asing. Ketiga, saatnya kita membangun kolektivitas dalam merubah ”mentalitas” masyarakat Indonesia, seperti karakteristik yang di jelaskan Muchtar Lubis yang ternyata semakin tertemukan saja realitasnya: korup, malas, konsumtif, asal bapak senang, feodal, dan hipokrit.
Sebetulnya tidak mudah dan butuh proses panjang dalam melakukan perubahan paradigma masyarakat. Namun demikian sesegera mungkin harus dilakukan karena dari cara pandang akan berpengaruh pada mentalitas masyarakat. Andai permasalahan ini terus-menerus dibiarkan, maka dampaknya bisa merambat pada dua, tiga bahkan sepuluh generasi yang akan datang, ketika semua yang ada di negeri ini benar-benar tergadai. Naudzubillah

Leave a Reply

Sketsa