Diberdayakan oleh Blogger.

BERBAGI KISAH MISKIN KELAS MENENGAH


posted by rahmatullah on

2 comments


Bagi yang mempelajari tentang kemiskinan atau pengembangan masyarakat mungkin bertanya-tanya, apa maksud dari judul diatas, karena tidak ada dalam kamus kemiskinan apa yang disebut miskin kelas menengah. Saya menuliskan karena bingung dan ingin membagi kebingungan tersebut, siapa tau dengan menuliskan maka ada yang meluruskan dan memahmai maksud tulisan ini.
Kali ini saya ingin menulis bebas saja, sedang tidak ingin terikat teori apapun (red, boleh kan sekali-kali). Tulisan ini adalah obrolan bebas saya dan seorang teman dengan dosen pada saat kuliah dulu, tepatnya  tiga tahun lalu, mudah-mudahan jadi romantisme bermakna. Sudah menjadi kebiasaan saat waktu senggang kuliah kami berdiskusi dengan dosen di kursi kayu depan jurusan, membicarakan apa saja, tapi kebetulan satu waktu obrolan membahas tentang kemiskinan, saya bersemangat waktu itu karena baru tuntas membaca satu buku dan ingin menyampaikan isi buku tersebut, panjang saya bercakap tentang kemiskinan struktural, kultural dan kemiskinan umumnya di Indonesia. Dosen tersebut menanggapi positif apa yang saya kemukakan, namun beliau mengemukakan hal baru diluar konteks teori mengenai kemiskinan di Indonesia, yang hal tersebut masih terngiang di telinga saya.
Beliau memulai sebuah cerita, beberapa hari saya kedatangan tetangga sambil terisak meminjam beras beberapa gelas sekedar untuk makan hari itu, saya pun tidak percaya didatangi tetangga yang saya anggap mampu hanya untuk meminjam beras, karena setahu saya, tetangga tersebut bekerja di perusahaan besar, dan dari type rumahnya dan gambaran luar kehidupannya juga tergolong menengah atas. Pendek cerita rupanya tetangga tersebut sudah hampir 6 bulan di PHK, dan lama-lama simpanan pesangon dan tabungan lainnya habis.
Beliau bercerita mengenai latar keluarga tersebut, pada mulanya keluarga tersebut memang hidup lebih dari cukup, karena sang suami kerja di perusahaan besar, istrinya sebagai ibu rumah tangga, memiliki anak 3, dua orang kuliah di perguruan tinggi swasta ternama dan satu lagi masih SMA. Tidak pernah terbersit akan terkena PHK, sebuah kewajaran jika seorang memiliki pola hidup wah dan menyekolahkan anak di sekolah ternama. Pada akhirnya sang suami yang menginjak usia sekitar 45 tersebut di PHK dengan pesangon yang jauh dari wajar. Baru 6 bulan karena harus membiayai anak kuliah dan kehidupan sehari-hari, habis sudah simpanan yang ada. Ibaratnya sang tetangga jatuh miskin tiba-tiba, yang harus kita bayangkan adalah orang yang kaya dan tidak pernah miskin tiba-tiba jatuh miskin, bagaimana mentalnya. Mental yang tidak hanya ditanggung sang suami, melainkan istri dan anak-anaknya yang sudah kadung hidup berkecukupan.
Sang tetangga memang mengalami goncangan batin yang hebat, karena dengan usia 45 betapa sulitnya mencari pekerjaan baru, terlebih bidang keilmuannya adalah tentang teknhnologi dirgantara yang sekolahnyapun di tempuh di luar negeri. Dan benar, 6 bulan mencari kerja, memanfaatkan jaringan sama sekali tidak berbuah, terlebih alternatif pekerjaan lain berat dilakoni, karena keterampilan berdagang tidak punya, bekerja kasar apalagi. Disisi lain kebutuhan biaya kuliah sang anak tidak mungkin di stop, dan rumah sebagai harta satu-satunya tidak mungkin dijual.
Hal yang menarik Disen tersebut sampaikan adalah, terkait mental. Kalau kita yang biasa sulit, kemudian hidup sulit suatu saat hidup berkecukupan dan jatuh miskin pasti mental sudah terbiasa, mau kerja kasar atau minta-minta juga mungkin terbayang. Bagaimana mental mereka yang dari awalnya kaya, serba ada sekolah di luar negeri, menempuh pendidikan yang spesifik dan tidak umum, ketika suatu saat jatuh miskin, tetangganyapun tidak percaya jika dia jatuh miskin, dan dia tidak pernah merasakan kerja kasar dan dalam benaknya menjadi peminta-minta.
Yang lebih berat lagi adalah labeling dan hukum sosial. Dosen tersebut berkisah, jika tetangga tersebut hanya berani bercerita dan meminta tolong ke saya, karena menganggap saya tokoh di perumahan dan menuturkan bahwa dia pernah meminta tolong ke tetangga lainnya, malah dianggap bercanda, karena masa orang kaya minta tolong.
Lebih dalam Dosen yang saya hormati menuturkan bahwa apakah pemerintah menjamin orang-orang seperti ini, yang jelas-jelas sudah menajdi miskin. Orang-orang seperti ini tidak dijamin oleh Jamkesmas jika sakit, tidak mendapatkan BLT, tidak mendapatkan bantuan sosial lainnya karena data sensus dan kependudukan menyebutkan kategori kelas keluarga mampu, sedangkan data kependudukan tidak up date dan tidak pernah benar 100%. Sang tetanggapun pernah datang ke kelurahan untuk didaftarkan dalam keluarga miskin, mengganti status dalam KTP, berharap mendapatkan bantuan sosial. Malah pihak kelurahan menertawakan karena tidak percaya, sebab dimata mereka jika Bapak tersebut adalah orang kaya dan keturunan keluarga kaya.
Satu hal yang lebih penting adalah bahwa pergesaeran etika manusia, moral sudah sangat jauh, dalam sebuah perumahan atau kompleks tingkat kekeluargaan antar tetangga sebagian besar rendah, individualisme kuat dan meminta tolong tidak semudah mereka yang tinggal di kampung, begitupula yang Bapak ini rasakan ketika begitu sulitnya meminta tolong tetangga yang malah mendapat cemoohan.
Mudah-mudahan pembaca memajami maksud tulisan ini, sengaja saya memaknai sendiri ilustrasi diatas sebagai  Miskin Kelas Menengah, kita sadar bahwa fenomena ini tidak satu melainkan sangat banyak miskin kelas menengah dan diantara kitapun mungkin tidak mau memaknai mereka ‘miskin’ dan enggan membantu, padahal mereka ebenar-benar msikin dan butuh bantuan. Terbayang ketika PT DI harus mem-PHK 12.000 karyawan menjadi hanya 4.000. Mereka yang di PHK bukan main-main, terkategori berpendidikan bahkan diantaranya S2 dan S3 di luar negeri dengan spesifikasi keilmuan yang tidak semua perusahaan ada spesialisasi tersebut. Tidak hanya PT DI, banyak perusahaan lain pun melakukan PHK tanpa alasan, tanpa pesangon yang jelas, dan tentunya sangat banyak Miskin Kelas Menengah di sekitar kita yang terkadang kitapun tertipu ilusi karena melihat dan terlanjur member label mereka kaya. Jika dikaji mendalam jumlah orang terganggu kesehatan mentalnya, bukan dari kalangan miskin, melainkan dari kalangan menengah yang secara mental jauh dari siap.
Pernah dalam sebuah kuliah yang kebetulan pengajar adalah dosen tamu dari BAPENAS yang membidangi kemiskinan dan MDG’s, saya tanyakan mengenai fenomena miskin kelas menengah ini, dan ternyata miskin kelas memengah tidak terkategori di Indonesia, dan jawabannya sederhana, catatkan saja di kelurahan supaya mendapatkan bantuan. Padahal realitas lain, orang kelas menengah atas jatuh miskin ribuan jumlahnya, pihak kelurahan juga tidak semudah itu mau mempercayai dan mencatat jika mereka jatuh miskin.
Tulisan ini hanya mengantarkan jika lingkungan terdekat kita sudah berubah, bisa jadi diantara tetangga kita ada mereka yang kita anggap mampu malah membutuhkan uluran tangan, dan mereka sungkan untuk keadaannya kita tahu dan meminta bantuan, pahami mental orang yang pernah kaya punya rasa sungkan untuk minta tolong dan ditolong.  
Sedikit cerita pada saat kuliahpun saya bertemu dengan sahabat yang nasib orang tuanya jatuh miskin karena PHK padahal semester awal saya mengenal teman ini ‘kaya’ karena indikatorya menggunakan pakaian yang selalu terbaru dan gadget yang up to date. Rupanya mengnjak akhir kuliah tampilan teman ini berubah, dan dia menawarkan saya produk MLM, jujur saya kaget, kok orang kaya jualan obat, apa ada yang salah. Teman ini bertutur jika ayahnya di PHK dan dia harus mencari biaya kuliah sendiri. Beruntung teman ini punya mental tangguh, kuat dalam mengalami perubahan hidup, namun tidak semua sekuat dia, karena lebih banyak yang malah broken home, lari ke narkoba, karena tidak siap jika orang tuanya miskin.
Mudah-mudahan gumam ini ada manfaatnya, walaupun tidak mengaitkan teori apapun, hanya mengangkat apa yang ada di sekitar kita, mudah-mudahan kita lebih peka denga lingkungan kita, dan moga pemerintah jauh lebih bertanggungjawab, bukankah semua warga negara terlebih mereka yang tidak beruntung ditanggung negara?, atau menjamin mereka yang miskin hanyalah pemanis dalam konstitusi kita.

2 comments

Leave a Reply

Sketsa