Ketika membaca judul diatas, mungkin membuat kita bingung, apa ‘maksudnya’ bisa disebut sukses puasa dikaitkan dengan matematika pengurangan 3-2=1, karena jawaban logisnya 3 (tiga) dikurang 2 (dua) ya memang 1 (satu). Sama bingungnya ketika saya dan rekan satu kelas mendapatkan pernyataan tersebut dari Prof. Robert Lawang saat menutup kuliah Kapital Sosial sabtu lalu 4 September 2010. Beliau mengungkapkan “Anda puasa? Jika anda benar-benar puasa seharusnya anda mengamalkan 3-2=1, coba renungkan. Jika anda memahami, maknanya akan luar biasa, sebagaimana Nurcholis Madjid selalu mengingatkan mengenai asketisme”.
Mencerna pertanyaan Pak Lawang membuat saya dan rekan-rekan yang hadir dalam perkuliahan termenung, dan dalam batin saya bertanya-tanya beliau yang katolik, begitu dalam memaknai substansi puasa, dibanding saya yang muslim yang dalam konteks ibadah, puasa sudah dianggap sebagai hal biasa. Diantara rekan sekelas memang sudah pernah mendengar istilah itu, namun mungkin lupa jawabannya. Akhirnya saya mencoba menghentikan jeda dengan menjawab, “Ibarat makan saat puasa pak, yang biasanya kita makan tiga kali, berkurang menjadi dua kali, intinya selama puasa berkurang menjadi satu kali makan”. Lalu Pak Lawang menanggapi “Analoginya tepat, coba perdalam maknanya lagi”.
Singkat cerita akhirnya Pak Lawang menjelaskan analogi 3-2=1, bahwa hakikatnya jika kita puasa dengan benar, sama dengan kita berinvestasi, identik dengan pola makan kita pada hari-hari biasa, kita makan tiga hari dalam sekali, sangat sulit untuk menabung, karena pengeluaran untuk konsumsi saja lumayan. Jika kita puasa dengan benar, coba kita kupas aspek dari sisi makan saja yang mulanya 3 kali sehari, menjadi 2 kali dalam sehari, berarti ada satu kali makan yang berkurang. Jika kita uangkan, misalnya dalam hari-hari biasa sekali makan Rp.10.000, dikalikan 3 menjadi Rp.30.000, dikalikan 30 hari, maka pengeluaran dalam sebulan Rp.900.000. Coba jika kita pakai analogi tadi, kemudian kaitkan dengan Sunah Rasul mengenai puasa adalah masa kita berkontemplasi, hidup dalam kederhanaan dan tidak bermewah-mewah, maka bisa kita hitung kebermanfaatannya. Andai sekali makan menjadi lebih sederhana menunya dengan harga Rp.7000, dikalikan dua Rp.14.000, ditambah, buka puasa dengan menu Sunah Rasul yaitu air putih dan kurma atau kita identikan dengan budaya kita kolak dan kurma, tidak lebih Rp.6.000, totalkan menjadi Rp.20.000, dikalikan 30 hari, menjadi Rp. 600.000. Intinya seharusnya dalam satu bulan puasa, kita bisa menghemat pengeluaran hingga Rp.300.000.
Bayangkan jika seluruh Muslim di Indonesia bahkan dunia secara kolektif, mengamalkan rumusan 3-2=1 dari aspek makan saja, maka berapa investasi yang mungkin nilainya bisa mencapai miliaran rupiah, dan sisa uang tersebut bisa dialihkan untuk kebutuhan yang lain, dan jauh lebih indah jika sisa jatah makan kita dikumpulkan di lembaga zakat, maka akan bisa membantu menyambung hidup sekian ribu orang yang tidak mampu, bisa menyekolahkan ribuan anak yang putus sekolah. Bukankah pada dasarnya hal tersebut adalah sesuatu yang sederhana.
Tapi tidak dengan kita, puasa yang seharusnya menjadi upaya mendekatkan dengan Tuhan dan membangun kesalihan sosial karena hakikatnya adalah ‘perenungan dan persaudaraan’, malah sangat jauh terlempar menjadi ‘perayaan’. Bulan puasa telah menjadi bulan konsumerisme, pembengkakan anggaran kebutuhan keluarga, dan menjadi bulan pemborosan dalam segala aspek. Pak Lawang mengisahkan bahwa, kita yang puasa malah peternak Australia yang girang karena permintaan ekspor sapi ke Indonesia meningkat, begitu pula petani Vietnam yang bahagia karena ekspor beras ke Indonesia membengkak, karena Bulog berupaya menjaga stabilisasi stok beras saat ramadhan. Intinya yang selama ini terjadi adalah 3-2=4 bahkan 5, dikarenakan konsumsi saat bulan ramadhan yang seharusnya berkurang malah bertambah tidak terkendali, silahkan cek pada pengeluaran anda di bulan ramadhan, cek tagihan listrik, dsb.
Disudut lain, tempat pembelanjaan diakhir bulan ramadhan, ibarat laron yang mengeilingi lampu, menjadi sentral nafsu manusia, bukan malah menjadikan masjid, atau tempat sepi menjadi sarana klimaks kontemplasi yang menentramkan jiwa. Hal yang paling menghawatirkan adalah ramadhan dan idul fitri menjadi momentum bermewah-mewah, mereka yang mampu secara ekonomi berebelanja barang-barang ‘wah’, mereka yang miskin ‘memaksakan’ diri bahkan berhutang, berbelanja diluar kemampuannya. Sudah menjadi hal biasa jika kita dengar kriminalitas meningkat berkali lipat saat ramadhan tiba, bahkan hari ini di Surabaya, ada pemuda yang bunuh diri melompat ke sungai karena di-PHK dan tidak ada uang untuk merayakan lebaran.
Kembali analogi Pak Lawang, andai dari satu aspek konsumsi kita kurangi dan kita jadikan investasi, maka berapa banyak uang yang bisa kita simpan dan alihkan fungsinya pada kebutuhan lain, atau setidaknya uang tersebut kita sumbangkan pada orang yang tidak mampu sebagai wujud kesolehan sosial, maka berapa banyak orang-orang yang terbantu dalam menyambung hidupnya. Begitupula jika analogi 3-2=1 kita sematkan pada aspek perilaku seperti mengurangi amarah, menjaga tutur kata, menjaga nafsu, mengurangi syahwat korupsi, maka akan menjadi investasi yang luar biasa, setidaknya kekacuan di dunia berkurang karena ikhtiar kita mengurangi sikap buruk, dan secara hakikat menjadi tabungan kemuliaan kita di akherat kelak.
Menurut Abdul Rozaki, dalam tulisan Asketisme Transformatif Kiai Halil Bangkalan, asketisme adalah upaya menjadikan perilaku hidup sebagai peribadatan agar selalu dekat dengan Sang Pencipta. Namun tidak berhenti hanya pada kenikmatan ritual peribadatan semata. Nilai agama itu kemudian membimbing seseorang untuk mendorong perubahan sosial. Dalam konteks ini, nilai agama dalam pribadi menggerakan diri untuk terjun bersama rakyat, membangun pengetahuan dan membangun perbaikan ekonomi yang nantinya menjadi amunisi pula untuk pengembangan agama dan kekuatan politik.
Semoga kita menjadi orang yang mengamalkan 3-2=1 lalu menjadi pribadi yang asketis, jikapun belum setidaknya sedikit ada tuntunan jika kelak bertemu ramadhan di tahun depan ada hal yang harus kita benahi. Sedikit seruan kebahagiaan yang tersurat dalam Al-Quraan dalam surat Al Fajr ayat 27-30 “Hai Jiwa yang tenang, Kembalilah pada Tuhan-Mu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam surga-surga-Ku”. Tidak berhenti berharap agar kita termasuk kedalam ‘jiwa yang tenang’, mereka yang mendapatkan seruan Tuhan, karena mampu memaknai perintahNya dengan sebaik-baiknya. Terimakasih Pak Lawang atas pencerahannya.
Selamat Idul Fitri 1431 H, Semoga kita menjadi “Pemenang” atas diri kita. Mohon maaf lahir batin.
Cieee....langsung ditulis qola Prof Robert..
hehe belajar berbagi energi mba:)...kebaikan dari pak robert harus disampaikan juga, mudah-mudahan sahabat kita yang lain bisa lebih optimal melakukannya.