Diberdayakan oleh Blogger.

BERBAGI PENGALAMAN MENGELOLA PROGARM CSR


posted by rahmatullah on

5 comments


Bagian I "Telpon Dari Hati'if" 
Sore kemarin tanggal 2 September 2010, tepatnya pukul  15.55 WIB,  hand phone saya berdering dan tampak dari layar nomor yang tidak saya kenal, saat saya angkat terdengar suara orang tua dalam logat banjar dengan nada parau menyapa “Pakabar Pak Rahmat, dimana pian sekarang?”. Tanpa harus bertanya siapa, dalam waktu singkat memori saya mundur setahun kebelakang dan ingatan saya menyapa satu tempat nun jauh disana, yaitu Desa Hatiif, Kecamatan Kusan Hulu, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Seatan. Saya ingat sekali jika suara itu adalah milik Pak Aban, salah satu sesepuh desa yang sudah saya anggap sebagai orang tua angkat saya di Kalimantan.  Akhirnya saya jawab “Hamdulillah baik Pak, saya sekarang di Jakarta”. Pak Aban Menyambung kembali “Sedang apa pian disana? Kapan ke Kalimantan lagi?”, saya teringat jika kontak terakhir saya dengan Pak Aban kurang lebih 3 (tiga) bulan lalu, dan yang membuat saya malu, selalui beliau yang menelpon saya, bukan saya yang menelpon beliau. Setiap pertanyaan yang beliau sampaikan selalalu sama: apakabar, dimana sekarang, sedang apa, kapan ke Kalimantan lagi, dan diakhir beliau selalu bilang warga kampung rindu bapak sambil beliau menggumamkan doa untuk saya sebelum menutup telpon.
Tapi ada yang lain dengan telepon pak aban hari ini, selain ada tambahan kalimat “Mohon maaf lahir batin”, Pak aban menyampaikan jika ada orang yang ingin bicara menyambung telpon.  Terdengarlah suara seorang pemuda dalam aksen keras yang saya hafal, “Pakabar Pak Rahmat, kapan kita bisa jumpa? Tahun lalu kita buka bersama di masigit” (sebutan masjid dalam bahasa banjar). “Kami berdoa supaya Pak Rahmat bisa kembali ke Hatiif”.  Saya amat ingat jika suara itu adalah suara Pak Ulay yang saya lupa nama aslinya (dalam masyarakat banjar nama panggilan seorang ayah adalah sematan nama anak tertuanya, misalnya Pak Ulay, berarti ayah dari anak yang bernama Ulay). Yang saya ingat dan akan terus berbekas sampai dengan saat ini, karena Pak Ulay adalah orang yang pernah mengancam membunuh saya beserta 2 karyawan perusahaan lain di depan perangkat Desa Hatiif karena satu kesalahpahaman, yang dalam perkembangan berikutnya Pak Ulay berubah dan malah menjadi orang yang selalu melindungi saya kemanapun saat bekerja di Kalimantan.
Saya Bersama Pak Ulay (Preman Kampung) dan Pak Anit

Sebelum menutup telepon Pak Ulay menyampaikan hal yang membuat saya mengharu biru “Pak, kami kehilangan bapak, bapak berbeda dengan yang lain, semua warga Hatiif dan Mangkalapi sudah kenal dekat dengan bapak dan mereka selalu menanyakan bapak, sudah tidak ada lagi nonton film di sekolah, guru-guru mengajar sudah kurang semangatnya, sudah tak ada lagi candaan di warung kopi, memang sudah ada pengganti Bapak, tapi tidak pernah berkunjung ke desa” . Sambil pikiran saya jauh menerawang,  saya menjawab “Doakan saya Pak Ulay supaya berjodoh bisa mengunjungi hatiif lagi, titip rindu saja untuk semua, kita saling mendoakan…mudah-mudahan perusahaan bisa membuat masyarakat sejahtera, sebagaimana obrolan dan mimpi kita di warung kopi dulu”.

Terkadang saya merenungi beberapa peristiwa yang saya alami, sebagaimana telpon sore tadi…,  telpon dari Hatiif tidak hanya Pak  Aban, Pak Ulay, juga tidak jarang SMS datang dari Pak Heri, salah seorang guru di SD Hatiif patner informal saya ketika menjalankan aktifitas tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) yang selalu menanyakan hal serupa dengan pertanyaan Pak Aban. Mungkin ini yang disebut ‘kedekatan hati’ tanpa dibatasi ruang dan waktu, karena apa yang saya lakukan dan mereka lakukan begitu berbekas dalam memori yang dalam, sebab hubungan yang kami ikat didasarkan atas niat baik.

Setahun lalu saya masih bekerja mengelola program CSR pada salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit milik PMA Srilanka yang berlokasi di Pedalaman Kalimantan Selatan, tepatnya di Kabupaten Tanah Bumbu, Kecamatan Kusan Hulu, yang wilayah operasinya meliputi dua buah desa yaitu Desa Hatiif dan Desa Mangkalapi. Banyak pelajaran yang saya dapatkan walau bekerja hanya setahun yang pada akhirnya turut mewarnai pola pikir dan pemahaman saya, mulai dari salah kaprah praktik CSR pada beberapa perusahaan yang turut merusak social capital masyarakat lokal, masalah kemiskinan, problem pengelolaan sumber daya, masalah korupsi aparat pemerintah, masalah pendidikan, indahnya kearifan lokal, dan banyak hal lainnya. Namun tulisan ini tidak cukup untuk mengurai semuanya, hanya sedikit mengenai Hatiif yang coba saya bahas.

Bulan pertama bekerja, yang saya lakukan adalah full assessment, tidak ada aktivitas lain, karena need assessment merupakan pangkal dari semua rangkaian aktivitas CSR yang harus benar dalam melakukannya. Ibarat dokter melakukan diagnosa sebuah penyakit, jika diagnosanya salah maka jangan berharap sembuh, tapi niat menyembuhkan malah menimbulkan penyakit-penyakit baru yang jauh lebih parah. Begitupun dalam logika assessment, jika assessment salah jangan berharap bisa menemukan ‘kebutuhan’ masyarakat, melainkan hanya mendapatkan  data mengenai ‘keinginan’ masyarakat, yang akibatnya akan memunculkan program CSR yang ngawur, ujung-ujungnya menimbulkan pemahaman CSR terhadap masyarakat yang salah kaprah, dependensi masyarakat tinggi terhadap perusahaan, seberapa besarpun dana yang dikeluarkan hanyalah sia-sia. Terlebih kekeliruan awal yang terjadi dimulai ketika pengelola program CSR ternyata bukan orang-orang yang memahami dasar keilmuan sosial seperti kesejahteraan sosial, sosiologi, atau antropologi yang mengedepankan pendekatan humanitas, tapi mereka yang memiliki pendekatan kuantitatif dan matematis.
Staff Humas mengunjungi Rumah Warga

Sangat keliru jika ada orang yang melakukan assessment hanya tiga hari atau seminggu dan ‘mengimami’ data sekunder (profil desa), karena data sekunder sebagian besar rekaan aparat desa, terlebih dengan kualitas SDM di pedalaman Kalimantan, yang untuk menulis pun aparat desa kerepotan.  Data sekunder memang penting sebagai data awal, namun yang lebih penting adalah melakukan indepth interview tanpa harus terlihat sedang indepth interview. Walaupun saya staff perusahaan yang sesuai SOP harus mengenakan seragam dan mengenakan kendaraan operasional, tidak jarang sering saya tanggalakan semuanya supaya terhindar dari kekakuan dan adanya jarak dengan masyarakat. Saya lebih sering mengenakan kaos, celana biasa dan sepatu boot agar bisa berbaur, menjadi bagian masyarakat, melakukan aktivitas bersama mereka, agar data yang mereka berikan akurat hingga sedalam-dalamnya.

Sering kali saya nongkrong di warung kopi ngobrol berbagai hal dengan bapak-bapak, justru di warung kopi itulah proses triangulasi (ricek data) dilakukan, karena dari obrolan warung kopi fakta akan mengemuka mengenai kondisi dapur mereka, pendidikan anak, pekerjaan, dan yang terpenting adalah trust mereka terhadap saya tumbuh, karena menganggap saya bukan orang perusahaan yang mendekati ketika ada maunya saja. Selesai dari warung kopi saya berjalan ke sawah tadah hujan milik warga sambil melihat cara mereka bercocok tanam, sambil saya ajak ngobrol mengenai berapa kali panen, daur tadah hujan, pembakaran lahan, dan sebagainya yang dari sanalah ditemukan ‘kebutuhan’ para petani, bukan dari berlembar kertas profil desa atau sekedar meminjam mulut kepala desa.

Tidak jarang juga ketika ada warga yang meninggal atau sakit saya turut hadir dan membantu, justru darisanalah data akurat riwayat kesehatan masyarakat didapatkan termasuk bagaimana pola hidup masyarakat saya dapatkan aslinya. Dan banyak hal lagi, karena pada dasarnya jika kita mengelola CSR harus tanpa batas “border less”, jika ada sekat antara staff CSR dengan warga, maka hanya akan menimbulkan CSR yang semu dan belum  tentu di dukung warga karena bagi perusahaan menganggap penting, namun belum tentu bagi warga.

Kembali ke cerita mengenai Desa Hatiif, dari aktivitas assessment saya dapatkan banyak fakta dari warga yang pada akhirnya menjadi warna dalam program CSR yang saya lakukan dan ternyata walaupun saya sudah tidak bekerja dan meninggalkan Kalimantan,kedekatan emsosional tersebut masih kuat hingga kini. Dari warung kopi di hati’if saya dapatkan informasi jika Kepala Desa yang usianya lebih dari 70 tahun sudah menikah lebih dari 9 kali, dan itu dilakuakn ketika perusahaan melakukan pembayaran ganti rugi tanah, dan parahnya jatah ganti rugi yang seharusnya diterima warga sering tidak sampai, karena digunakan untuk modal menikah lagi, namun posisi kepala desa di Kalimantan amat sakral, walaupun banyak melakukan kezaliman, sangat sungkan bagi warga untuk menggantikannya. Dari warung kopi juga saya dapat informasi jika pemahaman masyarakat tentang CSR adalah pembagian panel surya, perabotan masjid seperti karpet, speaker, sembako, buka puasa bersama, sebagaimana yang dilakukan perusahaan tambang batu bara, yang sepengetahuan warga anggarannya mencapai 18 milyar setahun. Betapa tidak kerut jidat saya karena asumsi warga tentang CSR adalah bagi-bagi ‘materi’ sebagaiman dilakukan perusahaan tambang tadi.
Foto Bersama siswa-siswi SD Hatiif setelah pemutaran film Laskar Pelangi

Dari Pak Heri salah satu guru SD Hatiif saya dapatkan informasi bahwa guru-guru sebagian besar menamatkan SMA dari paket C, dan ada yang saat ini mengajar masih belum lulus paket C-nya, dan yang PNS hanya kepala sekolahnya, itupun kepala sekolah hanya sebulan sekali datang membawakan gaji guru. Dari Pak Heri juga menyampaikan keluh susah mengajak siswa sekolah, terkadang harus dijemput diladang,banyak kelas 6 belum bisa membaca, tidak jarang keributan terjadi antara guru dan orang tua karena guru ingin anak belajar di sekolah dan orang tua ingin anaknya bekerja di ladang. Terlebih ketika berkali-kali saya ke SD tersebut menemukan fakta betapa rendahnya motivasi siswa belajar.

Pak Aban adalah sumber second opinion saya, karena beliau informal leader di Desa Hatiif, tidak mungkin saya mempercayai ‘mulut’ Kepala Desa yang beristri lebih dari sembilan untuk mendapatkan data akurat. Ternyata Pak Aban adalah seorang buta huruf yang mewakafkan tanahnya untuk dijadikan SD di Hati’if, Pak aban yang bertutur jika warga sering kali ditipu kades, ditipu perusahaan tambang dan kelapa sawit lain untuk melepas lahan namun pada akhirnya warga tidak mendapatkan keuntungan apa-apa, malah untuk berladang saja sulit, Karena lahan sudah habis terjual. Pak aban yang menunjukkan kepada saya bekas sekolah dan rumah yang sudah warga tinggalkan di bawah bukit karena hampir 3 bulan sekali dihempas banjir. Pak aban yang bercerita jika sudah empat tahun 17 agustus di Desa Hati’if tidak ada panjat pinang karena tdak ada dana, Pak aban yang bertutur jika sering kali shalat jumat makmumnya selalu kurang dari 40, karena warga laki-laki sebagian besar bekerja mendulang emas di desa lain.

Selain informasi dari Pak Heri dan Pak Aban hasil observasi saya dilapangan, menemukan fakta yang sungguh memprihatinkan dan menyakitkan yaitu akses jalan menuju Desa Hatiif dari desa terdekat, hanya berjarak 5 km, hanya bisa dilewati dengan dengan kendaraan double gardan sejenis strada triton atau ford, yang membutuhkan waktu satu jam, selain jenis kendaraan double gardan, harus bersiap kendaraan berpusar di kubangan. Karena jalan yang ada sudah berubah jadi pemandian kerbau. Sering saya menggunakan sepeda motor jenis mega pro yang sudah dimodifikasi dengan mengganti ban dan spakbor, harus jungkir balik dan menahan rasa sakit badan tak terperi akibat terjatuh berkali-kali. Dari kondisi itulah terproyeksi jangan berharap perekonomian masyarakat bisa tumbuh, kondisi jalan pun sebegitu parahnya. Pak aban menyampaikan informasi bahwa sudah lebih dari 8 tahun jalan tidak diperbaiki.

Fakta-fakta yang saya dapatkan melalui hubungan ‘tanpa batas’ dengan warga karena saya berprinsip bahwa bekerja harus dengan nurani terlebih mengelola CSR, harus berjalan tanpa pretensi, dan mencoba menyampaikan pesan tersebut kepada manajemen perusahaan juga dengan kebeningan hati agar program yang diajukan bisa dipahami dan dijalankan dengan baik.

Setelah sebulan data kualitatif (indepth interview) data kuanitatif (profil desa) saya kawinkan, pada akhirnya munculah beberapa program prioritas. Dalam program pendidikan saya coba bekerjasama dengan guru dan warga mengadakan acara pemutaran film denias dan laskar pelangi, output-nya sederhana yaitu menaumbuhkan motivasi belajar pada anak. Dana yang dibutuhkan tidak banyak,hanya butuh dua liter solar untuk genset milik sekolah dan makanan tambahan sebagai cemilan ketika pemutaran film, karena infokus, speaker dan laptop perusahaan punya inventaris. Ternyata dampaknya ‘hebat’, yang menonton pemuataran film rupanya sekampung dan maksud dari pemutaran film akhirnya ‘sampai’ pada waktu itu, siswa menjadi semangat belajar sebagaimana “Denias”  dan tidak peru ribut lagi antara guru dan orang tua untuk memperebutkan siswa.

Menjelang 17 agustus sengaja perusahaan memberikan sumbangan alakadarnya tidak lebih dari Rp 1 juta agar warga bisa kembali merasakan atmosfir panjat pinang, setelah 4 tahun terputus, yang ternyata ketika walaupun panjat pinang saya tidak sempat hadir, Pak Ulay tidak habisnya mengucakan terima kasih karena Desa Hatiif bisa kembali meriah. Jika berkesempatan, setiap hari jumat saya megusahakan shalat jumat di Desa Hati’if dan menjadi khatib, karena nurani saya mengatakan bahwa semangat spiritual warga harus ditumbuhkan, dan lumayan dampaknya, jamaah jum’at sudah lebih dari 40 orang laki-laki.
Meeting Village

Hal yang terakhir yang saya lakukans sebelum memutuskan resignation dari perusahaan adalah memperbaiki jalan desa, secara kebetulan eksavator, grader, doser dan bomax memang sedang melakukan pembersihan lahan (land development) di dekat jalan desa, dan agar anggarannya tidak terlalu besar mengapa tidaksekalian memperbaiki jalan desa. Maka selama dua pekan dibantu oleh staff lain menggempur perbaikan jalan walaupun baru mampu meratakan dan menambal, pada akhirnya bisa mewujudkan mimpi warga yang sudah terkubur selama 8 tahun. Sangat terharu ketika saya mengunjungi Desa Hatiif pasca perbaikan jalan, setiap bertemu warga mereka selalu mengucapkan rasa terima kasih padahal saya merasa tidak melakukan hal besar apapun, dan betapa girangnya ketika menyaksikan kendaraan pengangkut hasil bumi warga bisa keluar masuk desa. Terakhir saya berhipotesa, apa maknanya anggaran perusahaan tambang yang mencapai 18 miliar, namun tidak ada ‘rasa’ bagi warga dan malah merusak social capital warga lokal karena memperebutkan ‘materi’ dari perusahaan, dibanding dengan proses awal need assessment yang benar, toh kenyataannya untuk keberhasilan program dan menumbuhkan partisipasi masyarakat hanya butuh anggaran tidak kurang dari Rp 100 juta.

Menjelang Idul fitri tahun lalu saya memutuskan resignation dari perusahaan dan meninggalkan Desa Hatiif karena ada berbagai alasan dan ingin melanjutkan studi. Iya, telepon Pak Aban menumbuhkan romanitsme dan betapa berharganya makna silaturahim, memang benar niat baik dengan hati tanpa pretensi apapun akan menumbuhkan kedekatan batin tanpa batas ruang dan waktu. Saya hanya mendoakan agar janji program plasma perusahaan bisa terwujud dan masyarakat betul-betul bisa menikmati kesejahteraan.









Di Desa Hatiif terdapat beberapa Jembatan terbuat dari Kayu Ulin, yang kualitasnya jauh mengalahkan kayu jati

5 comments

  1. ilham mustofa
  2. Anonim

Leave a Reply

Sketsa