Pada mulanya saya tidak sepakat dengan apa yang dikemukakan Prof. Robert Lawang, ketika dalam satu perkuliahan Kapital Sosial, beliau kemukakan bahwa kearifan lokal itu mulai musnah di mana-mana, tidak hanya di kota, bahkan menjalar hingga ke desa. Dalam segala kepolosan, saya coba membantah jika kearifan lokal itu ada dan menjadi domain masyarakat Indonesia khususnya orang desa, karena kearifan itulah ‘kekayaan terbesar’ yang dimiliki. Dalam kelembutan dan kerendahatian seorang Guru Besar, Prof Lawang menuturkan bahwa, saya merasakan sekali kehilangan itu, sebagaimana pengalaman penelitian atau ketika meberikan bantuan ke pedalaman-pedalaman di Indonesia.
Prof Lawang bercerita, ketika beliau memberikan bantuan pembangkit listrik Mikrohidro kepada warga di beberapa desa Nusa Tenggara Timur, tidak semua warga merelakan tanahnya yang hanya sekitar satu sampai dua meter persegi untuk dilewati alur air ke pembangkit. Rapat berulang-ulang hanya membahas ketidakmauan warga meminjamkan tanahnya untuk dilalui jalur air. Tidak semua anggota masyarakat mau terlibat dalam forum warga untuk dimintai partisipasinya hanya sekedar tenaga untuk mencangkul di lokasi pembangkit. Prof. Lawang bilang bahwa saya nyaris membatalkan pemberian bantuan pembangkit mikro hidro, jika tidak diminta bersabar oleh salah satu pimpinan daerah yang juga sahabat saya. Sampe akhirnya Pembangkit bisa beroperasi dan desa tersebut terang benderang, tidak nampak rasa malu dari mereka yang tidak mau menyerahkan lahan, padahal mereka pula yang merasakan terangnya listrik d rumah mereka.
Mungkin penolakan saya terhadap apa yang dikemukakan Prof. Lawang hanya karena dogma di benak saya jika orang desa itu arif, bijak, guyub, saling menolong, tanpa pamrih. Rupanya memang semua itu sudah bergeser jauh. Saya teringat pengalaman pribadi ketika mengelola program Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggungjawab sosial perusahaan pada satu perusahaan kelapa sawit di Kabupaten Batulicin, Kalimantan Selatan. Saya bekerja mengelola CSR dengan membangun kedekatan tanpa batas, tanpa simbol atau borderless, agar penilaian dan program yang saya jalankan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Asumsi saya kalau berjarak maka yang ada hanyalah formalitas, bukan menjawab kebutuhan tapi keinginan masyarakat yang sifatnya artifisial.
Beberapa kali program atas nama perusahaan saya sampaikan, dan Kepala Desa sering berucap terimakash atas pembangunan desa yang tidak lain karena kontribusi perusahaan. Suatu saat jembatan yang menghubungkan desa denga perusahaan yang terbuat dari Kayu Ulin (kayu terkuat, mengalahkan kekuatan kayu jati) retak dan nyaris patah. Saya coba minta Kepala Desa untuk menghitung kebutuhan kayu dan biaya tukang karena akan dibantu perusahaan. Saya bahagia karena ketika mengunjungi lokasi jembatan sudah mulai proses perbaikan oleh masyarakat setempat, dihati saya membuncah perasaan kagum, begitu harmoni dan guyubnya perusahaan dan masyarakat lokal. Sampai satu sore datang secarik kertas yang isinya estimasi biaya perbaikan jembatan yang ternyata semua harga di mark up sepuluh kali lipat, dan jika tidak dibayar sore itu juga, jembatan tidak akan dilanjutkan diperbaiki dan akses ke perusahaan akan ditutup.
Masih ditempat yang sama, ketika saya begitu intens membantu perbaikan sekolah dan mutu SDM guru Sekolah Dasar (SD),karena sebagaian besar Guru di pedalaman Kalimantan Selatan Hanyalah lulusan paket C. Tidak jarang sayapun bantu mengajar, memutarkan film motivasi seperti Denias atau Laskar Pelangi, dll setiap hari sabtu. Suatu saat sekolah mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah untuk pembangunan beberapa lokal kelas dan bantuan mebeler. Datang seorang Guru ke Mess tempat saya tinggal memohonkan bantuan disediakan truk untuk membawa bantuan mebeler dan material dari Kota Kabupaten. Dengan senang hati saya siap bantu dan besok pagi saya siapkan dua unit truk dan supirnya. Dua hari berikutnya datang seorang tokoh masyarakat menemui saya, dan mengungkapkan kegusaran, mengapa bapak bantu sekolah itu, karena dalam penganggarannya ada biaya untuk angkut material dari kota hingga lokasi sekolah sambil memperlihatkan mata anggaran dalam proposal yang sudah disetujui pemerintah.
Entah saya hanya berpikir memang masyarakat kini telah “hilang rasa”, jika melihat pemberitaan di televisi maupun koran sikap culas, korup, nepotisme, kolusi, maruk, pragmatis, munafik bukan hanya domain orang kota yang direpresentasikan oleh politisi, pejabat, dan pengusaha. Tapi gejala itu sudah menjalar kemana-mana menembus ruang dan batas hingga ke desa. Efek televisi memang kuat karena di pedalaman Kalimantan yang sebagian rumahnya beratap rumbia, mereka memiliki parabola, TV dan genset, sehingga mereka tau info terkini di ibu kota, namun yang membuat prihatin gaya hidup instanlah yang mereka serap. Berkali-kali saya geleng kepala ketika banyak orang kampung dipedalaman memakai baju seksi dan pake rok mini, membeli kulkas walau tidak ada listrik, beli sepeda motor matic padahal jalan berkubang lumpur. Setiap malam yang mereka tonton hanyalah sinetron yang pada akhirnya mereka berasumsi apa yang mereka liat di TV adalah kenyataan orang kota yang mereka ikuti perilakuknya habis-habisan.
Dalam pandangan saya, negeri ini sudah gersang dari rasa simpati, empati, tenggang rasa, ikhlas, saling menolong, guyub. Karena memang yang dipertontinkan dari hari-ke hari di media adalah dramaturgi dan keculasan yang tanpa disadari dipraktekan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat dari kota sampe desa. Menyedihkan ketika kejujuran malah mebuat seseorang terasing, idealisme dan kemuliaan agama tergadai oleh kepentingan politis dan uang.
Pengalaman menarik dua malam lalu ketika saya menambal ban belakang sepeda motor. Sambil ganti ban dalam saya ajak ngobrol hangat si penambal ban. Ketika selesai saya tanya berapa semuanya?. Si penambal bilang 50 ribu pak, saya juga sadar jika harganya tidak segitu, karena saya pikir malam-malam masih mau menambal ban dan dalam kondisi hujan, akhirnya saya bayar. Besok paginya saya terkaget-kaget ketika mengeluarkan motor melihat as ban belakang hampir tanggal karena baut penutup tidak dipasang. Saya menghela nafas Hamdulillah masih terselamatkan, terbayang jika semalam dalam perjalanan ban belakang copot menggelinding. Paginya dengan resiko terlambat masuk kantor saya datangi tambal ban tersebut untuk minta memasang tutup mur, jawabannya menyebutkan “Gak ada pak, Bapak beli saja di lampu merah sana”. Saya hanya bisa tersenyum pias mendengarnya.
Cerita tambal ban hanyalah satu contoh dari banyak contoh lain yang semua orang pernah mengalami, ketika ingin membantu mereka yang berekonomi lemah sering rasanya kita dikecewakan, beli cabe atau buah-buahan di warung kecil, saat di rumah kita buka isinya sebagian besar busuk. Ketika ke percetakan kecil janji hari ini jadi, seminggu berikutnya baru selesai, makan di warteg memang murah tapi makanan di campur msg dan zat yang bersiko dengan tubuh. Dan banyak hal lain yang sering kita alami terkait “hilangnya rasa” tulus melayani, saling membantu, dan jujur yang itupun dipraktekkan masyarakat bawah. Saya hanya berpikir sederhana, jika kita sudah tidak percaya, maka mereka akan kita tinggalkan. Siapa lagi yang akan membeli dan membantu usaha kecil jika mereka tidak bisa dipercaya. Walaupun memang masih banyak yang bisa kita percaya, namun terancam terdegradasi pula.
Perlu usaha keras mengembalikan jatidiri bangsa ini, jatidiri masyarakatnya. Kita beragama tapi tidak terpancar dari keseharian dan kehidupan, kita berpancasila tapi hanya berbekas simbol tanpa penjiwaan. Hal sederhana bisa kita lakukan adalah menumbuhkan kembali “rasa” itu dikeluarga, rasa ingin membantu, menolong, ketulusan, kejujuran dan rasa memiliki. Jika tidak lekas dibenahi, negara ini hanyalah menjadi negara gagal yang penduduknya hanyalah ‘gerombolan’.***