Diberdayakan oleh Blogger.

TIGA EKOR AYAM


posted by rahmatullah on

No comments

Empat tahun silam saya terlibat penelitian Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan yang diselenggarakan Pusat Studi Kebijakan Kependudukan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) – World Bank. Secara kebetulan mendapatkan lokasi penelitian di Kabupaten Sukabumi. Banyak teman-teman yang berekeberatan ditempatkan di wilayah tersebut, karena sukabumi merupakan Kabupaten terluas di Pulau Jawa Bali. Sedangkan penelitian yang dilakukan merupakan home visit, dimana panitia pusat sudah menetapkan lokasi kecamatan, desa, hingga rumah Kepala Keluarga (KK) yang wajib didatangi.

Banyak teman maupun keluarga yang menasihati untuk berhati-hati karena kabarnya Sukabumi sangat rawan, banyak begal motor, pusat ilmu hitam dan kebatinan, wanitanya cantik-cantik, dan banyak nasehat lainnya. Dengan langkah Bismillah saya dan 10 orang rekan berangkat menuju lokasi, memulai dari Kecamatan yang dekat pusat kota hingga menyusur pedalaman Sukabumi yang akses antar kecamatan bisa satu sampai dua jam. Tantangan terberat adalah medan jalan yang sungguh memprihatinkan, sepeda motor yang kami sewa kadang tidak mampu lagi melanjutkan perjalanan. Hampir semua jalannya penelitian terekam dalam memori saya karena begitu berkesan bertemu dengan masyarakat ‘lembur’ Sukabumi, hingga jauh ke pedalaman sukabumi yang warga Kota Sukabumi sendiri belum tentu pernahke wilayah tersebut karena jarak yang amat jauh, sebut saja Kecamatan Tegal Buleud, Ciracap, Ciemas dan Bangbayang yang merupakan wilayah paling selatan di Pulau jawa. 

Ada satu pengalaman menarik dan jika mengingatnya membuat terharu…  Ketika mengunjungi salah satu Kepala Keluarga (KK), saya lupa Kecamatan mana, sepertinya Ciracap, yang ada di rumah tersebut hanyalah istri dari KK, sedangkan suaminya sedang pergi ke ladang. Saya dan teman mengemukakan maksud kedatangan untuk melakukan penelitian, dlsb. Namun Ibu tersebut menjawab dalam bahasa sunda yang saya Indonesiakan ”Saya jemput dulu bapak ke ladang ya”, walau saya bilang tidak usah, diwakili ibu juga tidak apa-apa. Ibu tersebut bersikeras menjemput suaminya ke ladang. Lumayan kami menuggu sekitar setengah jam. 

Dengan berkeringat menyandang cangkul dan mengumbar senyum, sang Bapak, sebut saja Pak Ahmad, karena saya sudah lupa namanya, menyalami  kami dan meminta maaf jika rumahnya alakadarnya, rumah dari bambu beralas kayu dan beratap rumbia.

Pendek cerita, saya lakukan wawancara, mulai dari identitas, pekerjaan, penghasilan per bulan, makanan pokok, dan lain sebagainya,termasuk mendata berapa jumlah ternak. Sampai saat ini saya masih ingat satu pertanyaan yang membuat terngiang  “Bapak punya ayam berapa ekor?”, Pak Ahmad menjawab “ Tiga ekor, satu induknya, sama dua anaknya yang masih kecil”.

Dari data yang saya isikan, Keluarga Pak akhmad terkategorikan sebagai keluarga miskin, baik dilihat dari indikator kondisi rumah, pendapatan, hingga makanan sehari-hari. Beliau sekeluarga terbilang makan mewah sejenis lauk pauk, hanya setahun dua kali, jika lebaran Idul fitri dan Idul Adha saja, sisanya makan nasi dengan garam, ikan asin atau tempe.

Sebetulnya saya agak ‘risih’ ketika sesi wawancara, Pak Ahmad menghidangkan penganan yang mungkin merekapun jarang memakannya, sang istri diminta ke warung untuk membeli kopi dan berbagai penganan. Diakhir wawancara, ketika kami izin pamit pulang, Pak Ahmad menahan kami, “Nanti Pak, kita makan dulu aladarnya”, saya menjawab “Tidak usah pak, saya harus mengunjungi rumah yang lain”, kemudian Pak Ahmad menjawab “Ayo sebentar saja, sekedar mencoba masakan istri saya, sayang beliau sudah masak”.

Akhirnya kami menunggu sejenak, tak lama istri Pak Ahmad datang membawa sebakul nasi, sambal dan Ayam Bakakak (Ayam bakar utuh), saya tertegun melihat ayam bakakak tersebut, karena ukurannya masih kecil, bisa disebut ayam muda. Kamipun makan dan herannya Pak Ahmad tidak menyentuh ayam tersebut, hanya mencocol nasi dengan garam, mungkin ayam itu khusus diperuntukan bagi saya dan teman. Saya baru sadar beliau lakukan itu semua sebagai bentuk penghargaan terhadap tamu. 

Sambil makan saya sebetulnya berpikir, jangan-jangan ayam bakar ini adalah anak ayam yang Pak Ahmad sebutkan tadi. Pada akhirnya sayapun bertanya “Pak maaf, ayam yang dibakar ini, anak ayam yang Bapak sebutkan tadi?”. Bapak menjawab “Iya pak, sekarang jadi tinggal dua ekor lagi induk ama anaknya”, sambil tersenyum Pak ahmad menjawab.

Dalam penelitian, ini kasuistik karena saya harus merubah data, dari tiga ekor, menjadi dua ekor. Tapi ada yang jauh lebih dalam saya pikirkan, yaitu sebegitu besarnya pengharaan Pak Ahmad kepada tamu, begitu luar biasa beliau muliakan saya dan teman. Saya yakin ayam yang beliau miliki adalah harta yang amat berharga baginya, yang mungkin baru akan dipotong idul fitri nanti. Entahlah, bagi saya beliau ‘bak’ malaikat, padahal hanya bertemu sekali, itupun tak lebih dari tiga jam saja.

Kekaguman belum berakhir ketika saya dan teman pamit pulang, saya lupa dimana menyimpan kunci motor, linglung saya dibuatnya karena menghitung waktu, jika tertunda pulang bisa jadi malam sampai base camp dan dengan resiko bertemu begal, karena sepanjang jalan memang hutan. Saya sibuk dan Pak ahmad serta istrinya tak kalah sibuk mencarikan. Saya tersadar jika kunci kontak memang sudah longgar/ loncer, mungkin terjatuh dari kontak motor ketika perjalanan ke rumah Pak Ahmad.

Saya baru teringat jika tempat kunci kontak sudah rusak dan bisa diganti oleh kunci apapun yang penting ukurannya pas. Dua jam kami berjibaku mencari kunci dan pengganti yang cocok, pada akhirnya istri Pak Ahmad menghampiri, “Coba pake kunci lemari ini Pak, mudah-mudahan cocok”. Walau tidak yakin saya coba, dan ajaib ternyata pas, sepeda motor bisa menyala, tuntas satu maslah, tapi masalahnya saya harus pinjam kunci lemari tersebut dan entah kapan bisa mengembalikan, karena padatnya agenda penelitian. Tanpa saya duga Pak Ahmad bilang “Bawa saja pak, kami tidak terlalu membutuhkan kunci itu, karena tidak ada yang berharga dalam lemari kami, yang penting Bapak bisa segera pulang sebelum magrib tiba”. 

Sudah empat tahun lebih kisah tiga ekor ayam berlalu, dan mungkin tidak pernah bisa saya lupakan. Pak Ahmad setara dengan Paman Adung (http://www.eramuslim.com/oase-iman/tribute-to-paman-adung.htm),  yang begitu “hebat” menginspirasi hidup saya. Saya hanya bisa berdoa jika mengingat kisah Pak Ahmad, dan kisah orang-orang lain yang menginspirasi, semoga Allah semakin mengangkat derajat dan  melipatgandakan amal  mereka. Berharap kedepan berkesempatan bertemu Pak Ahmad dengan ternak ayam yang sudah bertambah, tidak lagi dua ekor.***

Leave a Reply

Sketsa