Diberdayakan oleh Blogger.

Kain Kafan Untuk Kampung


posted by rahmatullah on

No comments


Tiba-tiba saya teringat salah satu inisiatif almarhum ayah dalam berkhidmat kepada warga sekitar rumah, mungkin lebih dari 15 tahun lalu. Ayah saya bukan seoarang ulama, aparat desa atau pengurus RT/RW. Beliau hanyalah mantan nelayan dan pensiunan guru Madrasah Aliyah. Pada satu waktu ada tetangga yang meninggal selepas magrib, warga sekitar bertaziah, namun setelah jenazah dimandikan ada kendala ketika akan dikafani. Keluarga yang berduka tidak ada yang memiliki cadangan kain kafan, semua toko kain di Kota Sudah tutup. Pada akhirnya terpaksa jenazah sementara dibiarkan tanpa dibalut kain kafan,  hingga esok pagi menunggu toko kain buka.

Terbersit dalam benak Almarhum Ayah bahwa kejadian seperti itu tidak boleh berulang, kasian jenazah yang seharusnya segera dimakamkan. Kampung harus punya cadangan kain kafan setidaknya tiga stel, biar siapapun yang meninggal bisa segera diurus selayaknya disegerakan dalam pemakamannya. Ayah berinisiatif untuk menghimpun iuran bulanan, dimana setiap Kepala Keluarga menyumbang Rp 1000 tiap bulannya untuk memenuhi cadangan kain kafan, agar ketika dibutuhkan selalu ada. Alhamdulillah setelah Ayah meninggal iuran bulanan kain kafan masih masih berjalan hingga hari ini, saban bulan petugas penghimpun iuran berkunjung ke rumah.


Saya hanya berdoa, semoga apa yang dilakukan almarhum Ayah walaupun sekedar sumbangsih ide, menjadi amal jariyah yang terus mengalir. Terkadang kita sibuk menghimpun tabungan dunia, tapi terlupa akan tabungan akhirat, walaupun sekedar kain kafan yang harganya tidaklah seberapa.

Terlepas dari kain kafan, menurut saya ide Ayah sangatlah menarik jika dikembangkan pada dimensi yang lebih luas misalnya dalam menanggulang kemiskinan, membantu pendidikan dan pengobatan warga, minimal dalam lingkup RT.


Saya yakin bahwa semangat berderma atau berinfaq kepada sesama masyarakat Indonesia masih kuat. Tidak sulit menghimpun dana bulanan Rp.5000 dari setiap Kepala Keluarga (KK), untuk dikelola komunitas dalam lingkup RT. Uang yang terhimpun bisa digunakan sewaktu-waktu untuk kondisi darurat seperti ada warga tidak mampu yang sakit, anak terancam putus sekolah atau warga yang kesulitan memenuhi pokok. Jika dana tersebut tidak terserap, maka bisa dijadikan sebagai tabungan RT. Yang terpenting adalah komitmen, dan kesengguhan pengelola komunitas dalam menyalurkan bantuan.


Sebetulnya kemiskinan, kekurangan gizi, putus sekolah bisa diminimalisir jika kohesifitas komunitas kuat, solidaritas antar tetangga terhimpun tangguh, besarnya rasa empati antar warga. Hanya nilai-nilai ini kian hari kian pudar, kesenjangan ekonomi antar tetangga kian tinggi, yang kaya tutup mata dengan samping kanan atau kirinya. Padahal dosa besar jika ada salah satu tetangga yang tidak makan karena kurang mampu.


Jika sampah, arisan saja bisa dikelola warga dengan baik, mengapa tidak solidaritas antar warga dihimpun dengan menyediakan tabungan untuk kondisi darurat. Saya yakin dalam satu kampung tidak semua miskin, pasti ada satu atau dua yang mampu. Dalam satu kompleks elit pasti ada kampung disampingnya yang tidak semua warganya mampu. Yang terpenting adalah “rasa dan kepakaan”, adakah tetangganya yang tidak makan hari ini, adakah tetangga yang sakit dan tidak bisa berobat, atau adakah tetangganya yang nyaris putus sekolah. Jika hanya ditanggung satu tetangga yang mampu, mungkin tidak sanggup, tapi jika ditanggung dan dibantu satu kampung insAllah bisa tertangani. Jika komunitas kuat buat apa merutuki dan berharap kosong kepada pemerintah yang sudah terlalu sibuk dengan urusan politik. Bialah kita berikhtiar kecil membantu tetangga saja.  Jadilah warga yang berdikari.***

Leave a Reply

Sketsa