posted by rahmatullah on Humaniora
Idul Qurban 1432 H telah berlalu,
sungguh mulia orang-orang yang telah berkurban, menyisihkan dan melapangkan rizkinya
untuk berbagi, dan berempati bagi sesama. Dalam Riwayat Tirmidzi, orang yang
berkurban mendapatkan kemuliaan dari Allah yang tiada terkira "Tiada amal anak Adam yang paling
disukai Allah pada hari penyembelihan daripada mengalirkan darah qurban,
sesungguhnya hewan yang diqurbankan itu akan datang (dengan kebaikan untuk yang
melakukan kurban) di hari kiamat kelak dengan tanduk-tanduknya, bulu dan
tulang-tulangnya, sesungguhnya (pahala) dari darah hewan kurban akan jatuh pada
suatu tempat di sisi Allah sebelum jatuh ke bumi, maka lakukanlah ini sepenuh
kerelaan hati." (H.R. Tirmidzi).
Ada beberapa pendapat mengenai
hukum kurban bagi yang mampu, masing-masing mendasarkan pada dalil, namun ada
satu dalil yang shahih dan definitif yang menjembatani berbagai perbedaan itu
yaitu sabda Rasulullah SAW: "Aku diperintahkan untuk berkurban, sedangkan
itu adalah sunnah bagi kalian. (H.R. Turmudzi). Atas dasar hadits ini, maka
semua dalil yang bernada mewajibkan atau ancaman bagi yang tidak melakukan
kurban, semuanya dimaknai sebagai penguatan, penekanan dan dorongan untuk
melakukan ibadah kurban tersebut.
Qurban Lembaga
Dalam perintah melaksakana
qurban, subyek pe-qurban adalah “orang” sebagaimana kedua hadist diatas,
terdapat kata “Tiada amal anak Adam..”, “…sunah bagi kalian”. Selain itu dalam
syarat syah qurban, salah satunya adalah “Milik pe-qurban”. Kemudian jika
qurban dalam bentuk sapi atau unta, maka dalam perolehannya dapat patungan unuk
tujuh orang, sedangkan untuk kambing dan sejenisnya untuk satu orang. Tidak ada dalam riwayat manapun jika qurban
adalah hasil iuran atau berasal dari dana lembaga.
Namun ada hal menarik, banyak
lembaga-lembaga menyelenggarakan Qurban, baik itu sekolah maupun kampus, kantor
pemerintah, juga swasta. Sering kita baca publikasi di media masa, jika lembaga
A melakukan qurban sekian ekor sapi, sekian ekor kambing, begitu juga lembaga B
melakukan qurban sekian ekor sapi dan sekian ekor kambing. Jika kita tanyakan
terkait sumber dana qurban, pada beberapa lembaga dana memang berasal dari si pe-Qurban
yang memang menitipkan hewab qurbannya di kantor, ada juga orang tua siswa yang
menitipkan hewan qurbannya untuk disembelih disekolah.
Akan tetapi yang lebih banyak
terjadi sumber dana qurban adalah iuran kolektif yang kemudian ketika
disembelih diatasnamakan satu orang. Kondisi ini biasanya terjadi pada sekolah,
dimana siswa diminta iuran untuk sumbangan qurban, ketika disembelih
diatasnamakan salah satu siswa atau gurunya. Ada yang berpendapat bahwa konteks
berkurban di sekolah adalah belajar berkurban bagi siswa, supaya
siswa tahu bagaimana proses berkurban mulai dari menyembelih hingga
pembagiannya, sehingga ketika dewasa kelak, bisa mengamalkan melakukan qurban.
Daging yang dibagi disebut sebagai sedekah qurban, bentuk kepedulian siswa
kepada lingkungan sekitarnya. Namun jika dikaitkan dengan konteks qurban,
qurban dilakukan bagi mereka yang ‘mampu’, bukan karena ‘dipaksa”. Alangkah
lebih baik jika sekolah mengadakan qurban bukan dari iuran siswa, melainkan
menghimpun binatang qurban dari orang tua siswa yang mampu untuk kemudian
dititipkan disembelih disekolah. Karena niat baik belajar qurban akan berkurang
maknanya, jika jalannya tidak sesuai dengan syariah yaitu iuran. Karena bisa
jadi kebiasaan disekolah terbawa dan menjadi budaya ketika ia menjadi pimpinan di kantor,
karena akan membuat kebijakan sebagaimana di sekolah.
Terdapat beberapa kantor
pemerintah atau kantor swasta atas pemahaman mengenai qurban yang baik, melakukan
qurban di kantor dengan menitipkan hewan qurban atas nama dirinya, bukan atas
nama kantor. Namun yang jauh lebih banyak terjadi di kantor pemerintah atau
swasta melakukan qurban sebagaimana anak sekolah? Dalam artian memaksakan
berkurban atas dana iuran karywan atau menyisihkan anggaran kantor untuk kemudian
berkurban, padahal dalam anggaran kantor tidak ada untuk qurban, jikapun ada
anggaran tetap tidak sesuai syariat, karena bagaimanapun konsep berkurban
adalah “korban’ yakni merelakan harta miliknya untuk diqurbankan dalam bentuk
hewan.
Sangat keliru jika lembaga seperti
kantor atau perusahaan berkurban atas dana yang yang bersumber dari iuran
karywan. Jikapun ada anggarannya maka tetap tidak bisa disebut sebagai qurban.
Hal yang fatal adalah ketika hewan qurban berasal dari sisa anggaran, atau
memotong anggaran kegiatan lain. Bukankah hal tersebut salah satu bentuk
korupsi, demi berkurban memangkas anggaran lain.
Bagaimanapun kebiasaan-kebiasaan
berqurban atas nama lembaga atau kolektif harus diluruskan, karena bagaimanapun
sebuah niat baik, tapi dilakukan dengan cara yang tidak baik atau tidak sesuai
syarat, jatuhnya akan menjadi tidak baik. Apa susahnya seorang kepala kantor,
kepala sekolah, guru, kepala perusahaan, manager berkurban atas nama dirinya,
atas perolehan rizkinya tidak lebih dari Rp. 1.500.000 untuk seekor kambing,
itupun hanya setahun sekali. Sangat jauh dibandingkan dengan nilai nominal gaji
bulanan dan tunjangannya. Memang sulit jika tanpa dilandasi keikhlasan,
kerelaan dan semangat empati. Harga seekor kambing lebih murah dibanding dengan
harga sebuah Handphone (HP), jarang kita berpikir panjang untuk memenuhi selera
gadget, selera pakaian dibanding kita berpikir panjang dan berberat hati untuk ber-qurban.***
Sumber hadits dikutip dari:
http://www.portalbmh.com/component/content/article/67-kolom-ceo/93-syariat-kurban