Definisi Corporate Social Responsibility (CSR)
Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan suatu komitmen
berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi
kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas,
bersaman dengan peningkatan taraf hidup pekerja beserta keluarganya (Wibisono,
2007, h.7). Terdapat beberapa definisi lain mengenai CSR sebagaimana dipaparkan
oleh Christine A Hemingway& Patrick W Maclagan dalam Journal of Business Ethics (2004, h. 33-44).
a.
Corporate Social Responsibility
requires companies to acknowledge that they should be publicy accountable not
only for their financial performance but also for their social and
environmental record. More widely, CSR encompasses the extent to which
companies should promote human rights, democracy, community improvement and
sustainable development objectives throught the world. (The Confederation of
British Industry)
b.
Identifies four components that
need to be present in order for a business to claim it is socially responsible;
economic, legal, ethical, philatrophic responsibilities (Caroll)
c.
Corporate social responsibility
refers to managements inligation to set policies, make decisions and follow
courses of action beyond the requirements of the law that desirable in terms of
the values and objectives of society (Moseley)
d.
Corporate social responsibility may
be viewed as a process in which managers take responsibility for identifying
and accomodating the interest of those affected by the organizations actions (Maclagan)
e.
Socially responsible actions by a
corporation are actions that; when judged by society in the future, are seen to
have been of maximum help in providing necesssary amounts of desired goods and
services at minimum financial and social cost, distributed as equability as
possible
(Farmer)
Dari
sekian banyak definisi CSR, salah satu yang menggambarkan CSR di Indonesia
adalah definisi Suharto (2006) yang menyatakan bahwa CSR adalah operasi bisnis
yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara
finansial, melainkan pula untuk membangun sosial-ekonomi kawasan secara holistik,
melembaga dan berkelanjutan. Dari definisi tersebut, dapat kita lihat bahwa
salah satu aspek yang dalam pelaksanaan CSR adalah komitmen berkelanjutan dalam
mensejahterakan komunitas lokal masyarakat sekitar.
Terkait dengan area tanggungjawab sosial perusahaan,
Organization Economic Cooperation
and Development (OECD) dalam Wibisono (2007, hal 42) menyepakati pedoman
bagi perusahaan multinasional dalam melaksanakan CSR. Pedoman tersebut berisi
kebijakan umum, meliputi:
1.
Memberikan
kontribusi untuk kemajuan ekonomi, sosial, dan lingkungan berdasarkan pandangan
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan,
2.
Menghormati
hak-hak asasi manusia yang dipengaruhi kegiatan yang dijalankan perusahaan
tersebut sejalan dengan kewajiban dan komitmen pemerintah di negara tempat
perusahaan beroperasi,
3.
Mendorong
pembangunan kapasitas lokal melalui kerja sama yang erat dengan komunitas
lokal, termasuk kepentingan bisnis, selain mengembangkan kegiatan perusahaan di
pasar dalam dan luar negeri sejalan dengan kebutuhan praktik perdagangan,
4.
Mendorong
pembentukan human capital, khususnya melalui penciptaan kesempatan kerja
dan memfasilitasi pelatihan bagi para karyawan,
5.
Menahan diri
untuk tidak mencari atau menerima pembebasan di luar yang dibenarkan secara
hukum yang terkait dengan sosial lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja,
perburuhan, perpajakan, insentif finansial, dan isu-isu lain,
6.
Mendorong dan
memegang teguh prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) serta
mengembangkan dan menerapkan praktik-praktik tata kelola perusahaan yang baik,
7.
Mengembangkan dan
menerapkan praktik-praktik sistem manajemen yang mengatur diri sendiri secara
efektif guna menumbuhkembangkan relasi saling percaya diantara perusahaan dan
masyarakat tempat perusahaan beroperasi,
8.
Mendorong kesadaran
pekerja yang sejalan dengan kebijakan perusahaan melalui penyebarluasan
informasi tentang kebijakan-kebijakan itu pada pekerja termasuk melalui
program-program pelatihan,
9.
Menahan diri
untuk tidak melakukan tindakan tebang pilih (diskriminatif) dan indispliner,
10. Mengembangkan mitra bisnis, termasuk para pemasok dan
subkontraktor, untuk menerapkan aturan perusahaan yang sejalan dengan pedoman
tersebut,
11. Bersikap abstain terhadap semua keterlibatan yang tak
sepatutnya dalam kegiatan-kegiatan politik lokal.
Manfaat
CSR
Terdapat manfaat yang didapatkan dari
pelaksanaan tanggunggjawab sosial perusahaan, baik bagi perusahaan sendiri,
bagi masyarakat, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Wibisono (2007,
hal 99) menguraikan manfaat yang akan diterima dari pelaksanaan CSR,
diantaranya:
1.
Bagi Perusahaan.
Terdapat empat manfaat yang diperoleh perusahaan dengan mengimplementasikan
CSR. Pertama, keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan berkelanjutan dan
perusahaan mendapatkan citra yang positif dari masyarakat luas. Kedua, perusahaan
lebih mudah memperoleh akses terhadap modal (capital). Ketiga, perusahaan
dapat mempertahankan sumber daya manusia (human resources) yang
berkualitas. Keempat, perusahaan dapat meningkatkan pengambilan
keputusan pada hal-hal yang kritis (critical decision making) dan
mempermudah pengelolaan manajemen risiko (risk management),
2.
Bagi masyarakat,
praktik CSR yang baik akan meningkatkan nilai-tambah adanya perusahaan di suatu
daerah karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan kualitas sosial di daerah
tersebut. Pekerja lokal yang diserap akan mendapatkan perlindungan akan
hak-haknya sebagai pekerja. Jika terdapat masyarakat adat atau masyarakat
lokal, praktek CSR akan mengharagai keberadaan tradisi dan budaya lokal
tersebut,
3.
Bagi lingkungan,
praktik CSR akan mencegah eksploitasi berlebihan atas sumber daya alam, menjaga
kualitas lingkungan dengan menekan tingkat polusi dan justru perusahaan
terlibat mempengaruhi lingkungannnya,
4.
Bagi negara,
praktik CSR yang baik akan mencegah apa yang disebut “corporate misconduct”
atau malpraktik bisnis seperti penyuapan pada aparat negara atau aparat hukum yang memicu tingginya korupsi.
Selain itu, negara akan menikmati pendapatan dari pajak yang wajar (yang tidak
digelapkan) oleh perusahaan.
Dalam
penelitian ini, terkait kemitraan antara perusahaan dengan pemerintah,
diharapkan kedua belah pihak mendapatkan manfaat dari tanggungjawab sosial yang
dilakukan oleh perusahaan. Bagi perusahaan akan lebih mudah memperoleh akses
terhadap modal (capital), dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada
hal-hal yang kritis (critical decision making), dan mempermudah
pengelolaan manajemen risiko (risk management). Pemerintah mendapatkan
keuntungan berupa adanya partisipasi pihak perusahaan dalam mendukung
program-program pemerintah, dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Motif CSR
Selain
manfaat yang telah diuraikan sebelumnya, tidak ada satu perusahaan pun yang
menjalankan CSR tanpa memiliki motivasi. Karena bagimanapun tujuan perusahaan
melaksanakan CSR terkait erat dengan motivasi yang dimiliki. Wibisono (2007,
hal 78) menyatakan bahwa sulit untuk menentukan benefit perusahaan yang
menerapkan CSR, karena tidak ada yang dapat menjamin bahwa bila perusahaan yang
telah mengimplementasikan CSR dengan baik akan mendapat kepastian benefit-nya.
Oleh karena itu terdapat beberapa motif dilaksanakanya CSR, diantaranya:
1.
Mempertahankan
dan mendongkrak reputasi dan brand image perusahaan. Perbuatan
destruktif akan menurunkan reputasi perusahaan. Begitupun sebaliknya, konstribusi
positif akan mendongkrak reputasi perusahaan. Inilah yang menjadi modal non-financial
utama bagi perusahaan dan bagi stakeholdes-nya yang menjadi nilai
tambah bagi perusahaan untuk dapat tumbuh secara berkelanjutan.
2.
Layak mendapatkan
social licence to operate. Masyarakat sekitar perusahaan merupakan
komunitas utama perusahaan. Ketika mereka mendapatkan benefit dari
keberadaan perusahaan, maka pasti dengan sendirinya mereka ikut merasa memiliki
perusahaan. Sebagai imbalan yang diberikan ke perusahaan paling tidak adalah
keleluasaan perusahaan untuk menjalankan roda bisnisnya di wilayah tersebut.
Jadi program CSR diharapkan menjadi bagian dari asuransi sosial (social
insurance) yang akan menghasilkan harmoni dan persepsi positif dari
masyarakat terhadap eksistensi perusahaan.
3.
Mereduksi risiko
bisnis perusahaan. Perusahaan mesti menyadari bahwa kegagalan untuk memenuhi
ekspektasi stakeholders akan menjadi bom waktu yang dapat memicu risiko
yang tidak diharapkan. Bila itu terjadi, maka disamping menanggung opportunity
loss, perusahaan juga harus mengeluarkan biaya yang mungkin berlipat
besarnya dibandingkan biaya untuk mengimplementasikan CSR.
4.
Melebarkan akses
sumber daya. Track record yang baik dalam pengelolaan CSR merupakan
keunggulan bersaing bagi perusahaan yang dapat membantu untuk memuluskan jalan
menuju sumber daya yang diperlukan perusahaan.
5.
Membentangkan
akses menuju market. Investasi yang ditanamkan untuk program CSR ini dapat
menjadi tiket bagi perusahaan menuju peluang pasar yang terbuka lebar. Termasuk
didalamnya akan memupuk loyalitas konsumen dan menembus pangsa pasar baru.
6.
Mereduksi biaya.
Banyak contoh yang dapat menggambarkan keuntungan perusahaan yang didapat dari
penghematan biaya yang merupakan buah dari implementasi dari penerapan program
tanggung jawab sosialnya. Contohnya adalah upaya untuk mereduksi limbah melalui
proses recycle atau daur ulang kedalam siklus produksi.
7.
Memperbaiki
hubungan dengan stakeholders. Implementasi program CSR tentunya
akan menambah frekuensi komunikasi dengan stakeholders. Nuansa seperti
itu dapat membentangkan karpet merah bagi terbentuknya trust kepada
perusahaan.
8.
Memperbaiki
hubungan dengan regulator. Perusahaan yang menerapkan program CSR pada dasarnya
merupakan upaya untuk meringankan beban pemerintah sebagai regulator. Sebab
pemerintahlah yang menjadi penanggungjawab utama untuk mensejahterakan
masyarakat dan melestarikan lingkungan. Tanpa bantuan dari perusahaan, umumnya
terlalu berat bagi pemerintah untuk menanggung beban tersebut.
9.
Meningkatkan
semangat dan produktivitas karyawan. Kesejahteraan yang diberikan para pelaku
CSR umumnya sudah jauh melebihi standar normatif kewajiban yang dibebankan
kepada perusahaan. Oleh karenanya wajar bila karyawan menjadi terpacu untuk
meningkatkan kinerjanya.
10.
Peluang
mendapatkan penghargaan. Banyak reward
ditawarkan bagi penggiat CSR, sehingga kesempatan untuk mendapatkan penghargaan
mempunyai kesempatan yang cukup tinggi.
Salah satu motif
perusahaan dalam melaksanakan CSR dan menjadi bagian penting adalah menjalin hubungan yang baik dengan regulator. Perusahaan
berdiri berdasarkan izin yang diberikan pemerintah, dan diharapkan mampu
berkontribusi dalam pembangunan melalui pembayaran kewajiban berupa pajak dan
lainnya, juga secara sadar turut membangun kepedulian terhadap meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan lingkungan.
Keterlibatan
perusahaan dalam program CSR dilatarbelakangi dengan beberapa kepentingan.
Menurut Mulyadi (2003, hal 4) setidaknya bisa diidentifikasi tiga motif
keterlibatan perusahaan, yaitu: motif menjaga keamanan fasilitas produksi,
motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja, dan motif moral untuk memberikan
pelayanan sosial pada masyarakat lokal. Tabel di bawah ini menggambarkan motif
tersebut.
Tabel Motif
Perusahaan dalam Menjalankan Program CSR
Motif Keamanan
|
Motif memenuhi
kewajiban kontraktual
|
Komitmen Moral
|
·
Program dilakukan setelah ada tuntutan masyarakat yang biasanya
diwujudkan melalui demonstrasi
·
Program tidak dilakukan setelah kontrak ditandatangani.
Kecendrungannya program dilakukan ketika kebebasan masyarakat sipil semakin
besar pasca desentralisasi
|
·
Pertanggungjawaban program CSR kepada pemerintah daerah dan
pemerintah pusat.
·
Propaganda kegiatan CSR melalui media massa.
|
·
Wacana CSR
·
Propaganda kegiatan CSR melakukan media massa
|
Sumber : Mulyadi
(2003, hal 4)
Pada
umumnya perusahaan di Indonesia menjalankan CSR atas dasar memenuhi kewajiban
kontraktual, dalam hal ini mematuhi peraturan baik yang dibuat oleh pemerintah
pusat maupun daerah. Secara normatif, idealnya tanpa adanya protes dan
kewajiban kontraktual, perusahaan seharusnya berusaha memberdayakan masyarakat
lokal dan meningkatkan kesejahteraan. Ide mengenai konsep CSR juga dilandasi
pemikiran demikian (UN Global Compact,
hal. 20). Secara filantropis perusahaan seharusnya mendistribusikan keuntungan
setelah mereka memanfaatkan resources
di lokasi dimana masyarakat berada. Hal ini adalah kewajiban moral, namun motif
yang didasarkan pada komitmen moral tersebut masih sebatas wacana dan belum
terlihat nyata. Mulyadi dalam tulisan yang berjudul Pengelolaan Program Corporate Social Responsibilty:
Pendekatan, Keberpihakan, dan Keberlanjutannya (2003, hal.5). Membagi stakeholders berdasarkan kepentingannya.
Tabel 2
Kepentingan Stakeholders dalam Pelaksanaan Program CSR
Perusahaan
|
Pemerintah Daerah
|
LSM
|
Masyarakat
|
·
Keamanan fasilitas produksi
·
Kewajiban kontrak
|
Mendukung
pembangunan daerah
|
·
Mengontrol
·
Menjadi mitra kerja perusahaan
|
·
Penerima program yang diberdayakan
|
Sumber : Mulyadi
(2003, hal 5)
Dalam
konteks hubungan kemitraan antara pemerintah dengan perusahaan, pemerintah
daerah mengharapkan agar program-program CSR bisa membantu menyelesaikan
permasalahan sosial, seperti masalah pengangguran, kemiskinan, masalah
pendidikan, kesehatan, perumahan. Selain itu menyelesaikan masalah lingkungan
yang dihadapi pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan swasta
dituntut untuk membantu pemerintah daerah untuk mendukung program pembangunan
regional yang diimplementasikannya.
Pemerintah yang menjadi penanggungjawab
utama dalam mensejahterakan masyarakat dan melestarikan lingkungan tidak akan
menanggung beban tersebut jika dilakukan sendiri, melainkan membutuhkan
partisipasi, salah satunya yang paling potensial adalah dari perusahaan, agar
akselerasi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat bisa tercapai.
Setiap perusahaan memiliki cara pandang
yang berbeda terhadap CSR, dan cara pandang inilah yang bisa dijadikan
indikator kesungguhan perusahaan tersebut dalam melaksanakan CSR atau hanya
sekedar membuat pencitraan di masyarakat. Setidaknya terdapat tiga kategori
paradigma perusahaan dalam menerapkan program CSR menurut Wibisono (2007,
hal.73), diantaranya:
Pertama,
Sekedar basa basi dan keterpaksaan, artinya CSR dipraktekkan lebih karena
faktor eksternal, baik karena mengendalikan aspek sosial (social driven) maupun mengendalikan aspek lingkungan (environmental driven). Artinya pemenuhan
tanggungjawab sosial lebih karena keterpaksaan akibat tuntutan daripada
kesukarelaan. Berikutnya adalah mengendalikan reputasi (reputation driven), yaitu motivasi pelaksanaan CSR untuk
mendongkrak citra perusahaan. Banyak korporasi yang sengaja berupaya
mendongkrak citra dengan mamanfaatkan peristiwa bencana alam seperti memberi
bantuan uang, sembako, medis dan sebagainya, yang kemudian perusahaan berlomba
menginformasikan kontribusinya melalui media massa. Tujuannya adalah untuk
mengangkat reputasi.
Kedua,
Sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance).
CSR diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum dan aturan yang
memaksanya. Misalnya karena ada kendali dalam aspek pasar (market driven). Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan
CSR ini menjadi tren seiring dengan maraknya kepedulian masyarakat global
terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan
memperhatikan kaidah-kaidah sosial.
Selain
market driven, driven lain yang yang sanggup memaksa perusahaan untuk mempraktkan
CSR adalah adanya penghargaan-penghargaan (reward)
yang diberikan oleh segenap institusi atau lembaga. Misalnya CSR Award baik yang regional maupun global,
Padma (Pandu Daya Masyarakat) yang digelar oleh Depsos, dan Proper (Program
Perangkat Kinerja Perusahaan) yang dihelat oleh Kementrian Lingkungan Hidup.
Ketiga,
Bukan sekedar kewajiban (compliance),
tapi lebih dari sekdar kewajiban (beyond
compliance) atau (compliance plus).
Diimplementasikan karena memang ada dorongan yang tulus dari dalam (internal driven). Perusahaan telah
menyadari bahwa tanggungjawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk
menciptakan profit demi kelangsungan bisnisnya, melainkan juga tanggungjawab
sosial dan lingkungan. Dasar pemikirannya, menggantungkan semata-mata pada
kesehatan finansial tidak akan menjamin perusahaan bisa tumbuh secara
berkelanjutan.
Hal
terpenting dari cara pandang perusahaan sehingga melaksanakan CSR adalah upaya
untuk memenuhi kewajiban (compliance).
Kewajiban bisa bersumber dari aturan pelaksanaan tanggungjawab sosial
perusahaan, baik yang ditetapkan melalui Undang-undang, peraturan pemerintah,
peraturan menteri, hingga peraturan daerah, ataupun peraturan yang dibuat
berdasarkan kesepakatan antar perusahaan maupun lembaga yang melakuakn
standarisasi produk. Kepatuhan terhadap hukum menjadi penting, karena dimensi
dibuatnya aturan bertujuan agar perusahaan tidak hanya fokus pada keuntungan
bisnis semata, melainkan mampu memberikan kontribusi positif bagi pembangunan.
Implementasi
CSR diperusahaan pada umumnya dipengaruhi beberapa faktor (Wibisono, 2007).
Pertama, terkait dengan komitmen pemimpinnya. Perusahaan yang pimpinannya tidak
tanggap dengan masalah sosial, jangan harap mempedulikan maslah sosial. Kedua,
menyangkut ukuran dan kematangan perusahaan. Ketiga, regulasi dan system
perpajalan yang diatur pemerintah. Semakin kondusif regulasi atau semakin besar
insentif pajak yang diberikan, akan lebih berpotensi member semangat kepada
perusahaan untuk berkontribusi kepada masyarakat.
Peraturan
Hukum Terkait CSR
Terdapat
4 (empat) peraturan yang mewajibkan perusahaan tertentu untuk menjalankan
program tanggungjawab sosial perusahaan atau CSR dan satu acuan (Guidance) ISO 26000 sebagai referensi
dalam menjalankan CSR, sebagaimana diuraikan Rahmatullah (2011, hal.14)
1.
Keputusan Menteri BUMN Tentang Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL).
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara BUMN,
Per-05/MBU/2007 Pasal 1 ayat (6) dijelaskan bahwa Program Kemitraan BUMN dengan
Usaha Kecil, yang selanjutnya disebut Program Kemitraan, adalah program untuk
meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui
pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Sedangkan pada pasal 1 ayat (7)
dijelaskan bahwa Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut Program BL,
adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui
pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN.
Adapun ruang lingkup bantuan Program BL BUMN, berdasarkan
Permeneg BUMN, Per-05/MBU/2007 Pasal 11 ayat (2) huruf e adalah:
1)
Bantuan korban bencana alam;
2)
Bantuan pendidikan dan/atau pelatihan;
3)
Bantuan peningkatan kesehatan;
4)
Bantuan pengembangan prasarana dan/atau sarana umum;
5)
Bantuan sarana ibadah;
2. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007
Selain BUMN, saat ini Perseroan Terbatas (PT) yang mengelola atau operasionalnya terkait dengan Sumber Daya Alam (SDA) diwajibkan melaksanakan program CSR, karena telah diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007.
Dalam pasal 74 dijelaskan bahwa:
1)
Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan,
2)
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud
ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan
kepatutan dan kewajaran,
3)
Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan,
4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3. Undang-Undang Penanaman Modal
Nomor 25 Tahun 2007
Peraturan lain yang mewajibkan CSR adalah Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007, tentang Penanaman Modal, baik penanaman modal dalam
negeri, maupun penenaman modal asing. Dalam Pasal 15 (b) dinyatakan bahwa
setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial
perusahaan.
Sanksi-sanksi terhadap badan usaha atau perseorangan yang
melanggar peraturan, diatur dalam Pasal 34, yaitu berupa sanksi administratif
dan sanksi lainnya, diantaranya: (a) Peringatan tertulis; (b)
pembatasan kegiatan usaha; (c)
pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau (d) pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
4. Undang-Undang Minyak
dan Gas Bumi Nomor 22 Tahun 2001
Khusus bagi perusahaan yang operasionalnya mengelola
Sumber Daya Alam (SDA) dalam hal ini minyak dan gas bumi, terikat oleh
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, tentang Minyak dan Gas Bumi, disebutkan pada
Pasal 13 ayat 3 (p),:
Kontrak
Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu:
(p) pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat.
Berdasarkan
Undang-undang tersebut, perusahaan yang operasionalnya terkait Minyak dan Gas
Bumi baik pengelola eksplorasi maupun distribusi, wajib melaksanakan kegiatan
pengembangan masyarakat dan menjamin hak-hak masyarakat adat yang berada di
sekitar perusahaan.
5.
Guidance
ISO 26000
Berbeda
dari bentuk ISO yang lain, seperti ISO 9001: 2000 dan 14001: 2004. ISO
26000 hanya sekedar standar dan panduan, tidak menggunakan mekanisme
sertifikasi. Terminologi Should
didalam batang tubuh standar berarti shall dan tidak menggunakan kata must
maupun have to. Sehingga Fungsi ISO 26000 hanya sebagai guidance.
Selain itu dengan menggunakan istilah Guidance
Standard on Social Responsibility, menunjukkan bahwa ISO 26000 tidak hanya
diperuntukkan bagi Corporate (perusahaan) melainkan juga untuk semua
sektor publik dan privat. Tanggung jawab sosial dapat dilakukan oleh institusi
pemerintah, Non governmental Organisation (NGO) dan tentunya sektor
bisnis, hal itu dikarenakan setiap organisasi dapat memberikan akibat bagi
lingkungan sosial maupun alam. Sehingga adanya ISO 26000 ini membantu
organisasi dalam pelaksanaan Social Responsibility, dengan cara
memberikan pedoman praktis, serta memperluas pemahaman publik terhadap Social
Responsibility.
ISO
26000 mencakup beberapa aspek berikut:
·
ISO 26000 menyediakan panduan mengenai tanggung jawab
sosial kepada semua bentuk organisasi tanpa memperhatikan ukuran dan lokasi
untuk:
a.
Mengindentifikasi prinsip dan isu
b.
Menyatukan, melaksanakan dan memajukan praktek tanggung
jawab sosial
c.
Mengindetifikasi dan pendekatan/pelibatan dengan para
pemangku kepentinga
d.
Mengkomunikasikan komitmen dan performa serta kontribusi
terhadap pembangunan berkelanjutan.
·
ISO 26000 mendorong organisasi untuk melaksanakan
aktivitas lebih sekedar dari apa yang diwajibkan.
·
ISO 26000 menyempurnakan/melengkapi Instrumen dan
inisiatif lain yang berhubungan dengan tanggung jawab sosial
·
Mempromosikan terminologi umum dalam lingkupan
tanggung jawab sosial dan semakin memperluas pengetahuan mengenai tanggung
jawab sosial.
·
Konsisten dan tidak berkonflik dengan traktat
internasional dan standarisasi ISO lainnya serta tidak bermaksud mengurangi
otoritas pemerintah dalam menjalankan tanggung jawab sosial oleh suatu
organisasi.
·
Prinsip ketaatan pada hukum/ legal compliance,
prinsip penghormatan terhadap instrumen internasional, prinsip akuntabilitas,
prinsip transparasi, prinsip pembangunan keberlanjutan, prinsip ethical conduct,
prinsip penghormatan hak asasi manusia, prinsip pendekatan dengan pencegahan
dan prinsip penghormatan terhadap keanekaragaman
Tahapan
Pelaksanaan CSR
Mengacu
pada tahapan pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan dalam pengembangan
masyarakat, menurut Hurairah (2008), terdapat 6 (enam) tahapan, yaitu: assessment, plan of treatment, treatment
action, monitoring and evaluation, termination dan after care.
Dari
keenam tahapan tersebut, penelitian ini hanya mendeskripiskan tiga tahapan
awal, dikarenakan CCSR baru berdiri satu tahun, baru sampai pada tahapan treatment action atau implementasi
program. Ketiga tahapan tersebut sebagai berikut:
1.
Asssessment. Proses mengidentifikasi masalah
(kebutuhan yang dirasakan atau felt needs)
ataupun kebutuhan yang diekspresikan (ekspressed
needs) dan juga sumber daya yang dimiliki komunitas sasaran.Dalam proses
ini masyarakat dilibatkan agar mereka dapat merasakan bahwa permasalahan yang
sedang dibicarakan benar-benar keluar dari pandangan mereka sendiri.
2.
Plant of Treatment. Merupakan rencana tindakan yang
dirumuskan seharusnya, berkenaan dengan upaya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan
penanganan-penanganan masalah yang dirasakan masyarakat. Wacana mengenai
program program berbasis masyarakat mendorong berkembangnya metodologi
perencanaan dari bawah.
3.
Treatment action. Tahap pelaksanaan merupakan tahap
paling krusial dalam pelaksanaan CSR. Sesuatu yang sudah direncanakan dengan
baik dapat menyimpang dalam pelaksanaannya dilapangan jika tidak terdapat
kerjasama antara masyarakat, fasilitator dan antar warga.
Referensi:
Hurairah,
Abu. (2008). Pengorganisasian dan
Pengembangan Masyarakat. Bandung: Humaniora
Rahmatullah& Kurniati,
Trianita. (2011). Panduan Praktis
Pengelolaan CSR (Corporate Social Responsibility). Yogyakarta: Samudra
Biru.
Rudito, Bambang& Budimanta,
Arif & Prasetijo, Adi (2004). Corporate
Social Responsibility: Jawaban Bagi Modal Pembangunan Indonesia Masa Kini.
Jakarta: ICSD
Wibisono,
Yusuf.(2007) Membedah Konsep dan Aplikasi
CSR. Gresik: Fascho Publishing,
Mulyadi (2003): Pengelolan Program Corporate Social
Responsibility: Pendekatan, Keberpihakan dan Keberlanjutannya. Center for
Populaton Studies, UGM
Utama,
Sidharta (2010). Evaluasi Infrastruktur
Pendukung Pelaporan Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan di Indonesia.
Hemingway,
Christine A. and Patrick W. Maclagan (2004). ‘Managers’ personal values as drivers of corporate social
responsibility’, Journal of
Business Ethics, Vol. 50,
ditunggu postingan tentang bantuan sosial pemberdayaan nya khusus bidang pemberdayaan masyarakat desa (pertanian) . nice blog :)
Really, nice blog ;)
minta ijin nimba ilmunya bro... barangkali bisa dicombine dengan anganku.... syukron
zakiir
minta ijin nimba ilmunya bro... barangkali bisa dicombine dengan anganku.... syukron
zakiir
met siang Pak, mhn ijin copy paste
mhn ijin copy paste materinya Pak, trim
Silahkan di copy, referensi wajib dituliskan.
terimakasih
terimakasih
ijin copas pak, makasih
Pak izin Copy Paste.. trims ilmunya