posted by rahmatullah on Humaniora
Suatu waktu, saya dan seorang kakak
terlibat obrolan mengenai ustad-ustad yang mengisi kuliah subuh atau mungkin
kuliah pagi di televisi. Kebetulan kakak adalah guru bahasa arab pada satu
madrasah yang juga berpendidikan master agama, mengeluhkan kualitas ustad-ustad
yang tampil di TV, kerap kali antara kata dan laku sang ustad jauh dari
selaras, malah menampilkan sisi selebritas.
Beliau bercerita, 10 tahun yang
lalu sosok-sosok yang tampil di TV mengisi kuliah subuh adalah mereka-meraka
yang betul-betul berlatar pendidikan agama, lulusan perguruan tinggi agama
dalam atau luar negeri, profesor-profesor atau doktor-doktor yang hafal
Al-Quran, ahli tafsir, ahli hadis, ahli fikih yang memang sarat ilmu dan wibawa.
Panggung-panggung televisi diisi oleh Prof. Quraish Shihab, Prof. Din
Syamsudin, Dr. Ali Mustafa Ya’kub, Prof. Amin Suma, Dr. Hidayat Nur Wahid, Dr.
Daud Rasyid, Prof. Azyumardi Azra, dll yang memang memiliki spesifikasi
keilmuan islam.
Namun kini ahli-ahli agama
tersebut seperti kehilangan tempat di panggung televisi, tidak mendapat atau
mungkin sengaja tidak diberikan tempat atas sebuah desain media. Yang justru
kini tampil di televisi adalah ustad-ustad orator, pelawak, yang pandai
beretorika namun hampa makna. Ustad-ustad yang berubah menjadi selebriti dan
bergaya hidup hedonistik yang tentunya jauh dari tuntunan.
Saya menduga kondisi ini
merupakan bagian dari rekayasa, dimana masyarakat sengaja dijauhkan dari
ulama-ulama yang memang menguasai ilmu agama, dan ditutupi oleh ustad-ustad
yang sekedar mengumbar gaya hidup ala artisnya.
Menjadi bahaya besar jika
anak-anak zaman kini tidak mengenal ahli tafsir, tidak mengenal ahli hadis,
tidak mengenal para penghapal Al-Quran dan malah jauh lebih mengenal ustad
selebritis yang tidak sesuai kata dan laku. Dilain pihak pemilik media televisi
mungkin menilai jika menampilkan ulama, atau profesor membuat rating TV menjadi
turun, karena masyarakat jenuh melihat ulama yang monoton, tidak menampilkan retorika
yang hebat, berbicara pelan dan sebagainya. Justru itulah karakter ulama
sebenarnya, hati-hati berbicara, pelan-pelan dengan intonasi, tidak berapi-api
karena yang disampaikan adalah hakikat islam.
Semoga kelak televisi kembali
kepada hakikat kuliah subuh yang menampilkan orang-orang yang betul ahli agama,
bukan para penyaru seolah-olah ahli, bukan juga orator, bukan ustad yang tidak tampak
air muka wibawanya***