Saya tidak bisa melupakan
peristiwa sebulan lalu, sebuah pembelajaran keikhlasan dari seorang pedagang
Martabak. Kebetulan
saya ditugaskan kantor untuk mengikuti Pendidikan dan Latihan (Diklat) selama
dua pekan di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Tiga hari Sebelum berangkat ke
Lembang saya sempatkan untuk menemui Ibu di Pandeglang memberitahukan sekaligus
pamit ditugaskan kantor.
Hari itu sepulang kantor di
Serang, saya langsung menuju Pandeglang, kurang lebih 30 menit perjalanan. Saya berupaya membiasakan membawa buah tangan
jika bertamu apalagi menemui ibu. Ketika sampai di pandeglang, mampir sejenak
untuk membeli martabak. Setelah pesanan selesai, saya tanyakan berapa harganya.
Mamang Martabak bilang “martabak 3 telor, Rp.19.000 Pak”. Di kantong terdapat
uang pecahan Rp.16.000 dan Rp.100.000. Saya serahkan uang yang Rp.100.000. Mamang tersebut bilang “Maaf Pak, baru
buka, belum ada kembalian”. Saya bilang lagi “Cari aja dulu Mang kembaliannya,
di saya recehnya Cuma ada Rp.16.000”. Mamang tersebut menjawab “ Saya tadi
sudah keliling cari tukaran pembeli sebelum Bapak, tapi disekitar sini gak ada.
Sudah pak saya terima uang Bapak yang Rp.16.000, saya ikhlas”.
Saya memaksa agar si Mamang
martabak menerima uang yang 100 ribu dan berusaha saya yang mencari kembalian.
Entah kenapa, Mamang martabak memegang dan menahan tangan saya dan bilang “Biar
pak saya terima yang Rp.16000 saya ikhlas”, tidak tampak wajah ketus apalagi
keberatan, melainkan senyum tulus. Saya tanggapi “Bapak bukan untung tapi rugi”,
beliau menjawab “Bukan untung rugi pak, saya ikhlas”.
Pada akhirnya saya terima martabak
dan serahkan uang Rp.16.000, dan saya bilang “Haturnuhun Mang, saya punya
hutang ke Bapak 3 ribu, insAllah kalau kebetulan lewat atau kesini lagi saya
ganti”. Tidak berhenti melepas senyum, Beliau menjawab “Gak usah dipikirkan
pak, sungguh saya ikhlas”. Akhirnya saya lanjutkan perjalanan pulang, dalam
benak saya termenung, apa memang ini hikmah puasa hari kamis? Karena kebetulan
hari itu saya menunaikan puasa. Entahlah terkadang saya terharu menyaksikan
ketulusan seseorang, apalagi pedagang kecil yang untung dari berjualan mungkin tidak
seberapa. Bagi pedagang kecil uang tiga ribu, lumayan besar, karena uang itulah
keuntungan sesungguhnya bagi pedagang.
Sesampai di rumah kebetulan
menjelang magrib, rupanya Ibu juga sedang menunaikan pusa kamis, saya ceritakan
kejadian di tukang martabak tadi, sederhana tanggapan ibu “Keberkahan puasa
kita, diantaranya mengalir ke Mamang Martabak, beliau selain berdagang juga
ingin mendapat pahala”. Dalam pikiran saya mungkin mamang martabak dianugerahkan
ketajaman hati, dalam keterbatasan uang kembalian, beliau ingin memuliakan
orang yang sedang puasa, walau secara lahir tidak ada yang tau jika saya dan ibu
sedang puasa.
Dua hari lalu saya kembali
membeli martabak di Mamang yang sama, hamdulillah saya lebihkan uang bayaran
martabak. Si mamang bertanya sambil tersenyum “Uangnya lebih
pak”. Saya jawab “Gak papa mang, rizki mamang”. Mamang martabak terlihat bingung,
saya langsung pulang menemui Ibu.
Mungkin cerita ini remeh temeh,
kejadian biasa atau terlalu sederhana, namun bagi saya di zaman miskin akhlak,
zaman penuh kecurangam, transaksional. Rupanya masih ada “manusia-manusia kecil”
yang masih ikhlas tulus dan berakhlak mulia. Ketika di sisi lain ada pedagang
yang mengurangi timbangan, ada yang membohongi pelanggan, menjual dengan harga
tidak pantas, atau menyertakan bahan beracun. Rupanya masih terserak pedagang
yang tidak sekedar berdagang, tapi sesungguhnya berniaga dengan Allah,
meneladani pola dagang Nabi Muhammad. Jika ada orang kaya bersedekah maka
wajar, jika ada pedagang kecil yang bersedekah itu yang disebut luar biasa. Sya
sering menyebut mereka sebagai ‘Malaikat Kecil’, yang karena kemuliaannya mungkin
menunda azab dan bencana di zaman kezaliman yang luar biasa. Sampai detik ini
masih terngiang di telinga “Saya Ikhlas Pak…”. Semoga Allah senantiasa memuliakan
beliau.***