Sering
kita terenyuh menyaksikan anak usia sekolah, bahkan balita mengamen di jalanan
atau lansia dengan memperlihatkan kesakitan atau kekurangan fisiknya mengemis
di lampu merah, dan tak jarang tanpa berpikir panjang kita memberi receh atau
ribuan untuk disedekahkan sebagai bentuk kasian atau simpati.
Bersedekah
atau membantu orang yang kurang mampu, memang merupakan salah satu kewajiban
dalam agama, apalagi ditegaskan dalam Surat Al-Maun ayat 1-3: tahukah kamu (orang)
yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi Makan orang miskin.
Namun
demikian terkadang saat ini niat baik belum tentu berbuah baik. Rupanya sedekah
tulus yang kita berikan malah membuat sebagian orang semakin betah di jalan dan
mengganggu ketertiban. Cerita seorang rekan, dalam satu razia ketertiban
rupanya menemukan pengemis yang penuh drama, bagian kaki yang terlihat sakit,
bahkan berjalan tertatih tatih rupanya balutan perban dengan sabut kelapa yang
dilumuri obat merah. Ada juga yang mengikat kaki ke belakang, agar hanya
terlihat lututnya seolah-olah hasil amputasi.
Sedekah
di jalanan rupanya menyuburkan lahirnya orang-orang pemalas dan profesi baru
sebagai pengemis. Ada anak yang mengawalinya dengan coba-coba, rupanya karena
banyak yang memberi sedekah, lalu putus sekolah dan merasa nyaman di jalan. Ada
juga yang memang atas dasar keterdesakan ekonomi yang memaksa seorang anak
menjadi anak jalanan.
Pernah
dalam satu kesempatan sebuah institusi sosial melakukan pelatihan perbengkelan
dan steam motor, yang kemudian distimulasi dengan bantuan alat bengkel dan steam.
Seminggu berselang alat perbengkelan dan steam motor tersebut dijual dan mereka
kembali ke jalan. Ketika ditanya alasannya, mereka bilang. Kalau nyuci atau
ngebengkel lama nunggu pelanggan, uang yang terkumpul sedikit. Kalau di jalan
tinggal nyanyi seperempat lagu atau tengadah tangan,setengah hari bisa dapat 30
ribu. Institusi sosial tidak mudah memang merubah mindset dan kebiasaan mereka
yang suka mencari nafkah di jalan. Namun akibat sedekah masyarakat pada umumnya
yang salah menjadikan mereka malas dan tidak mau bekerja keras.
Dalam
satu kesempatan pergi ke wilayah transmigran di Kalimantan Selatan. Saya
menemukan fenomena, rupanya transmigran yang gagal adalah mereka yang dulunya
terkena operasi kamtibmas lalu diberangkatkan transmigrasi. Sebagian besar
transmigran tersebut gagal total dan melarikan diri kembali ke Kota-kota besar dan kembali menjadi
pengemis atau gelandangan, karena selain tidak memiliki skill juga terbiasa
instan mendapatkan uang dengan tangan di bawah.
Lebih
baik tidak bersedekah di jalan apalagi
memberinya kepada anak kecil dan mereka yang berusia masih produktif, karena mudharatnya jauh lebih besar, bisa jadi
niat baik kita malah berbalik menjadi dosa, ketika malah berimplikasi pada
perubahan sifat seseorang menjadi pemalas, mengganggu ketertiban, dan menjadi
benih kriminalitas. Lebih celaka lagi jika sedekah yang kita beri digunakan
untuk konsumsi rokok, ngelem, membeli minuman keras, bahkan narkoba.
Sedekah
dan membantu kaum berkekurangan memang keuatamaan, namun selayaknya kita
berikan pada tempat yang tepat, kepada tetangga yang yatim, piatu atau yatim
piatu. Kepada saudara yang kekurangan ekonomi, kepada pesantren atau panti
asuhan dan tentunya banyak lagi tempat yang layak. Bisa jadi saat ini sedekah
yang tepat penerimanya jauh lebih banyak dibanding kita sedekah kepada tempat
yang tepat, yang bisa memberdayakan dan merubah nasib seseorang.
Tidak
rumit jika ingin jalanan, lampu merah atau suatu kawasan menjadi tertib dan
berkurangnya angka kriminalitas, tanpa harus merutuki pemerintah yang memang
lamban. Ikhtiar mudah bisa kita awali dengan tidak menjadi ‘tangan diatas’ di
jalanan dan melakukan sedekah pada tempat yang tepat. Ayo kita sempurnakan
premis: niat baik, ditempat yang tidak tepat maka tidak akan berbuah yang baik.
Menjadi, niat berbuat baik, ditempat yang tepat, maka akan berbuah baik.***