Televisi merupakan kotak hitam
ajaib. Dalam kesemrawutan negara, terkadang saya berpikir, televisi memiliki
kontribusi membuat benang semakin kusut atau sebaliknya mengurai benang kusut.
Televisi bisa menjadi solusi dan sebaliknya menjadi provokator terhadap suatu
peristiwa. Televisi punya kuasa dalam
mengangkat suatu peristiwa biasa menjadi peristiwa nasional, bahkan jadi
trandsetter pembicaraan masyarakat dalam satu negara, atau sebaliknya atas
keberpihakan televisi bisa tidak memberitakan hal besar.
Dibalik itu semua, menurut saya
ada satu hal menarik dari kecendrungan acara televisi beberapa saat ini. Televisi
saat ini mampu mengangkat dan kemiskinan menjadi ‘barang’ menarik, bahkan
menjadi bisnis baru televisi. Dalam ingatan saya setidaknya terdapat beberapa
acara televisi yang menjadikan kemiskinan sebagai objeknya, sebut saja: Orang
Pinggiran, Tolong…., Catatan Si Olga, Andai Aku Menjadi, Bedah Rumah, Bedah
Warung, dll.
Dalam satu kesempatan diskusi dengan
aparatur pemerintah di bidang sosial, ada semacam gurauan, bahwa dengan segala
sumber daya dan anggaran yang ada, Departemen Sosial belum tentu mampu
mengangkat kemiskinan menjadi hal menarik dan menjadi kepedulian nasional. Tapi seorang Olga Syahputra hanya dalam waktu 60
menit mampu mengangkat kemiskinan menjadi sebuah simpati satu negara, walaupun
tentunya disertai bumbu-bumbu melodramatis.
Terkadang ketika melihat sesuatu
yang baik, kebiasaan kita adalah mengkritik. Banyak mereka yang berlatar
belakang sosial sinis dengan acara televisi menganggap lebay, mengekspoloitasi
kemiskinan, berbisnis dalam balutan kemiskinan, karena nilai bantuan dari
televisi tertutupi bahkan meraup untung dari iklan, dsb.
Seharusnya institusi atau lembaga
yang menangani kemiskinan bersyukur dan berterimakasih, bahwa ada patner dalam
hal ini televisi memiliki kepedulian dalam menangani kemiskinan. Jika perlu
Depsos menjadi official atau sponsorship acara-acara model diatas, atau
menjdikan Olga sebagai duta kepedulian sosial. Kelemahan institusi sosial
adalah dalam hal branding atau pencitraan. Banyak hal yang sebetulnya sudah
dilakukan institusi tersebut namun dirasakan belum berpengaruh karena tidak ada
orang-orang kreatif yang mampu mengangkat penanganan kemiskinan menjadi barang
seksi. Saya yakin jika Depsos misalnya bekerjasama dengan PH atau rumah
produksi membuat sebuah acara TV, semacam Catatan Si Olga, Bedah Rumah, dll
dengan model packaging televisi, maka masyarakat akan menilai jika institusi
sosial betul-betul mampu menagangi kemiskinan dengan segala turunannya.
Zaman sudah berkembang, media
informasi kian lengkap dan mudah, sedangkan setting publikasi kegiatan sosial
masih kuno. Dari zaman adanya TVRI
hingga kini hadirnya belasan TV lokal, institusi sosial masih mengemas
publikasi dan sosialisasi dalam bentuk diskusi yang tentunya menjenuhkan.
Pemirsa televisi malas menonton sajian kaku model diskusi televisi, sekedar
menyajikan angka-angka. Dengan biaya
yang sama, kemasan lebih menarik dibuat semacam realty show saya yakin apa yang
sudah dilakukan Depsos menjadi sebuah prestasi yang dirasakan manfaatnya
masyarakat. Setidaknya akan menjadi kebanggaan para pekerja sosial di daerah
jika Depsos mampu mengangkat usaha-usaha para pekerja sosial di daerah melalui
tayangan TV. Dan, saya yakin televisi
melalui Corporate Social Responsibility (CSR) tidak akan meminta banyak biaya
untuk satu slot acara yang menjunjung kepedulian sosial, karena saya yakin
televisi-pun memiliki tanggungjawab sosial.
Mari kita malu dan belajar dari
Olga Syahputra, dalam mengmas kemiskinan menjadi produk kreatif. Dan seharusnya
ada satu cabang keilmuan dalam bidang sosial yang bernama KREATIFITAS
SOSIAL.***