Tidak habis
pikir, ketika melakukan pemetaan sosial di sebuah Desa di kabupaten Subang, disana
terdapat jalan provinsi, sebagai jalan alternatif menuju Pantura. jumlah Kepala
Keluarga (KK) miskin mencapai 1.532 KK dari total penduduk 1.912 KK, ini
berarti jumlah KK miskin mencapai 80%. Data itu didapatkan dari profil desa.
Pada awalnya sama sekali tidak percaya dengan data profil desa, karena dari
hasil observasi didapatkan bahwa tampilan rumah di desa rata-rata permanen,
kokoh, bahkan modern. Jauh dari gambaran miskin.
Rasa
penasaran bersambut dengan upaya klarifikasi dan ricek lapangan, dalam konsep
penelitian disebut triangulasi (model konfirmasi). Informan ditetapkan mulai
dari KK yang dianggap miskin, aparat desa, hingga tokoh masyarkat. Rupanya
didapatkan informasi yang mulai terang, jika warga terjebak dalam pola hidup
prestise, adu gengsi dan mudah terpanasi tetangga. Warga berpandangan jika rumah
harus megah walau makan alakadarnya, harus terisi perabotan walau sumbernya
berhutang. Mereka tidak mendapat tempat dalam pergaulan kampung jika rumah
tidak terlihat bagus.
Rupanya
rentenir yang dinamakan Bank Keliling atau warga menyebutnya “Bang Hari(an)”
mencium potensi gengsi warga untuk menjadi ajang meminjamkan uang. Banyak warga
miskin yang terjebak dalam prestise meminjam uang dari Bang Hari, yang pada
akhirnya terjebak rente tiada berujung. Tagihan hutang tiap hari walau
jumlahnya tidak seberapa, namun bunga membumbung tinggi, demi sebuah rumah yang
terlihat mewah, menyebabkan sawah terjual, berubah mata pencaharian dari petani
pemilik sawah menjadi buruh penggarap sawah. Sungguh memprihatinkan, di desa
tersebut ibarat sinetron dibalik rumah kokoh hidup dalam balutan kemiskinan.
Hal lain yang
turut memiskinkan adalah adat kebiasaan, di Desa tersebut dikenal istilah
arisan hajatan. Jika ada warga yang hajat maka warga lain yang diundang harus
menyumbangkan beras dan sejumlah uang. Si pemangku hajat akan mencatat jumlah
uang dan beras yang diberikan tamu. Jika tamu tersebut melakukan hajatan, maka
pihak yang diundang harus membawa uang dan jumlah beras yang sama. Jika tidak
melakukan hal yang sama maka akan berlaku hukum sosial yaitu pengucilan dan
menjadi buah bibir sekampung. Budaya transaksional dibangun oleh budaya, tidak
ada istilah ikhlas, melainkan setiap sumbangan harus diganti. Tidak jarang walaupun
sedang tidak punya uang, warga rela berhutang dan kembali semakin akut terlilit
rente, demi menghadiri undangan warga lainnya.
Temuan lain
yang paling menarik, rupanya pengaruh tokoh agama kalah telak oleh tokoh adat,
tidak dibangun nilai kegamaan, tidak dibangun nilai ikhlas berbuat. Terbayang
betapa rumitnya rupanya ada masyarakat di desa yang hidup transaksional.
Dalam sebuah
rekomendasi, upaya yang harus dilakukan adalah kerjasama dan kerja keras
berbagai pihak dalam merubah pandangan, sikap dan perilaku masyarakat terkait
kebiasaan atau adat yang mengakibatkan masyarakat secara sadar atau tidak sadar
terjebak dalam kemiskinan kultural. Pihak yang perlu dilibatkan selain Dinas
Sosial adalah Kementrian Agama, tokoh adat, tokoh agama, Dewan Kemakmuran
Masjid (DKM), dengan pendekatan yang intensif dan berkelanjutan. Karena merubah
paradigma, kebiasaan dan budaya tidak selesai satu hari melainkan butuh waktu
lama dan intensif.
Perlu juga akses
atau didirikan lembaga simpan pinjam tanpa atau dengan bunga ringan, agar
masyarakat tidak terjebak dalam pusaran kemiskinan akibat rentenir. Jika akar
masalah rentenir terputus setidaknya warga miskin bisa memulai hidup baru,
dengan syarat, menanggalkan gengsi dan menanggalkan budaya yang sesungguhnya
memiskinkan. Semoga ada perubahan.***
menarik...ijin share di ww.desamerdeka.com .... boleh...?
dipersilahkan pak...dengan mencantumkan sumber. Trimakasih
mas rahmat, pertanyaan berikutnya, what next? ajak-ajak dong, saya praktisi lembaga keuangan untuk usaha kecil dengan sistem syariah, mungkin sudah kenal dengan lembaga baitul maal wat tamwil (BMT)?
tulisan saya bisa dijadikan sbg referensi bagi mas pepi, sebagai data awal hasil pemetaam sosial...sangat bagus dan insAllah menjadi salah satu solusi jika ditindak lanjuti dengan mendirikan BMT di Desa tersebut. Temui Sekretaris Desa Gunung Sembung, Kec. Pagaden, Kab. Subang. Beliau akan membantu mengarahkan.