Kebetulan dua pekan ini saya diutus
kantor untuk mengikuti Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) pemetaan sosial yang
diselenggarakan salah satu kementrian, dengan wilayah kerja 6 (enam) Provinsi :
Jawa Barat, DKI, Banten, Bangka Belitung, Lampung, dan Kalimantan Barat.
Bagi saya mengikuti Diklat
pemetaan sosial merupakan kebahagiaan tersendiri sebagai sarana belajar
menyegarkan ingatan keilmuan praktis. Namun hal yang lebih bermakna adalah
silaturahmi yang terajut dengan rekan-rekan antar kabupaten/ provinsi yang
memiliki kesamaan tanggungjawab pekerjaan di kantor.
Dalam pertemuan ruang makan atau
disela istirahat di kamar, obrolan yang paling menarik adalah menyangkut
kondisi politik di daerah masing-masing.
Rekan dari Lampung dan Banten mengeluhkan model pengelolaan daerah bak
kerajaan. Ada satu kabupaten di Lampung yang dilanda konflik baik dengan pemerintahan
provinsi, dengan DPRD, sehingga anggaran kantor baru cair pada bulan kelima,
ditambah Bupati yang masih sangat muda menunjukkan, gila hormat, menganggap
aparat pemerintah sebagai pelayannya. Hampir semua rekan-rekan mengeluhkan hal
yang nyaris sama, pengelolaan daerah sekehendak kepala daerah, tidak ada master
plan, bahkan anggaran sosial menjadi anggaran sisa, dan baru membengkak
menjelang Pilkada.
Kabar baik datang dari
rekan-rekan DKI Jakarta, walaupun ada keluhan dalam dalam pekerjaan, tunjangan
kesejahteraan DKI membuat rekan daerah lain berdecak kagum, gaji seorang
pelaksana di DKI sama dengan kepala dinas di daerah lain. Dalam keterbatasan penghasilan
kami di daerah mengapresiasi kebijakan tunjangan PNS di DKI dengan APBD
triliunan bisa setidaknya mengangkat derajat pegawai negara pada level yang
bermartabat.
Cerita lebih menarik dalam
konteks otonomi daerah, datang dari rekan di Bangka Tengah. Dengan menggebu
rekan tersebut bercerita sejak Bupati baru dilantik dengan usia yang cukup
muda, Bupati tersebut melakukan terobosan meningkatkan anggaran sosial hingga 400
%, membangun sinergi dengan dunia usaha khususnya perusahaan timah dalam hal
Corporate Social Responsibility (CSR), sebagian besar waktunya 70% blusukan di
lapangan, sehingga betul-betul mengetahui kondisi riil warganya, setiap keluhan
warga terkait kondisi pelayanan terhadap masyarakat terus menerus dievalauasi,
setiap ada warga yang meninggal kepala daerah tersebut mendatangi dan bertaziah, dan menganggarkan uang duka
cita. Biaya kesehatan dan pendidikan digratiskan, nyaris tanpa pungutan. Ketika
saya tanya berapa APBD, rekan tersebut bilang bahwa “Dibanding kabupaten lain,
Bangka Tengah lebih kecil, namun Bupati kami
mampu mendayagunakan APBD secara efektif, fokus pada pelayanan masyarakat.
Cerita lain datang dari Belitung
Timur (Beltim), daerah yang dulunya dipimpin oleh Basuki Cahaya Purnama (Ahok)
yang kini mencalonkan menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta, saat ini daerah
tersebut dipimpin oleh adiknya Ahok bernama Basuri T Purnama, seorang ahli gizi
yang melanjutkan kebijakan pro rakyat Ahok. Belitim mungkin satu-satunya daerah
yang menggratiskan beras bagi fakir miskin (Raskin), menganggarkan uang
kematian tidak mengenal strata apapun dan pekerjaan apapaun, siapapun warga
yang meninggal mendapatkan biaya kematian dari Pemda sebesar 1,5 juta. Biaya
kesehatan dan pendidikan gratis, setiap aparat pemerintah ditanyai capaian
kinerjanya oleh Bupati, termasuk bagi pegawai yang ditugaskan dinas luar daerah
dalam bentuk Diklat atau pelatihan, selalu ditanya apa yang bisa diterapkan dan
direplikasi di daerahnya. Disisi lain nilai nominal tunjangan daerah diatur
berdasarkan golongan, bukan jabatan, Golongan II C mencapai Rp. 800.000, III A
Rp 1.500.000, dan seterusnya, jika mendapatkan jabatan mendapat tambahan berupa
tunjangan jabatan.
Aspek lain yang menarik rupanya daerah-daerah
di Provinasi Bangka Belitung sudah melakukan pengadaan barang dan jasa
menggunakan electronic procurement (e-proc), memeiliki LPSE, jauh meninggalkan Lampung
dan sebagian daerah di Banten.
Memang otonomi daerah amat
bergantung pada “Kepala” Kepala Daerah. Mau berapapun besar PAD, jika tidak ada
itikad baik dan konsep dalam melayani masyarakat, maka yang ada adalah memperkaya
diri sendiri, keluarga, kolega dan golongannya. Sedangkan Kepala Daerah yang
memang berkhidmat kepada masyarakat sekecil apapun PAD daerah akan mampu
mengelola untuk kepentingan masyarakat. Hal yang menyedihkan dan menyayat
sembilu, kabar baik mengenai kebanggaan akan Kepala Daerah, dan keberhasilan
daerah hanya datang dari dua provinsi di Bangka Belitung, sebagaimana cerita
diatas, sedangkan sisanya dari daerah lain adalah cerita pahit otonomi daerah,
khususny makin menggilanya raja-raja kecil di daerah.***