Diberdayakan oleh Blogger.

Ibumu, Ibumu, Ibumu


posted by rahmatullah on

No comments


Wajar jika ada istilah “Surga berada di telapak kaki ibu”. Kekagum terhadap sosok perempuan kian hari saya rasakan kian bertambah, khusunya kepada mereka yang telah membesarkan dan membentuk anak-anak zaman.
Sejak mendampingi istri selama hamil 9 bulan, melahirkan, menyusui, merawat hingga membesarkan, telah merubah pandangan saya tentang sosok perempuan. Rasa ingin memuliakan dan memperlakukan dengan kelembutan menjadi niatan terbesar di hati saya saat ini. Teringat kata-kata istri saat akan melahirkan (pembukaan ke-6), beliau bilang “Rasa mulas ini mengingatkan banyaknya dosa pada Ibu”. Saat pembukaan ke-9 sambil meringis istripun bilang “Cukup satu anak saja ya  Bah”. Saya hanya menanggapinya dengan tersenyum sambil menyemangati istri “Sabar dan kuat ya ma dengan sunatullah perempuan, Umi (Ibu istri) punya 7 anak, Ibu (mertua) punya 8 anak), pasti Allah lancarkan semua proses sebagaimana beliau-beliau”.
Saat ini saya menjadi ‘ayah mingguan’, istri dan anak tinggal dengan mertua di Kota Tangerang dan saya bekerja di Serang. Saban Jumat sore hingga senin subuh bertemu istri dan anak. Saat menyaksikan istri merawat anak, tidak jarang mata saya berkaca-kaca. Begitu hebatnya menjadi seorang Ibu, dalam setiap perjalanan hidupnya adalah jihad. Mulai dari  proses kehamilan adalah perjalanan yang luar biasa berat, harus menjaga rahim mulai dari benturan, ancaman penyakit hingga asupan makanan. Datang waktu melahirkan, merupakan jihad antara hidup dan mati, merasakan rasa perih tiada terperi. Istri sampai bilang obat kesakitan itu hanya satu, “Ketika mendengarkan suara tangis bayi yang keluar dari rahim”.
Setelah melahirkan, masih bersisa rasa sakit dan perih karena luka jahitan yang ditinggalkan, namun seorang Ibu sudah harus menyusui entah dalam kondisi sudah ber-ASI, maupun sedang berjuang agar ASI keluar dengan lancar. Jihadnya belum berakhir, dan tidak akan berakhir, sepanjang hari seorang Ibu yang baru melahirkan mungkin hanya tidur paling lama empat jam. Saat baru mata terpejam sudah harus menyusui, saat akan terpejam lagi bayi-pun pipis atau Buang Air Besar (BAB), dan beragam kebiasaan bayi lainnya yang sedang beradaptasi dengan alam barunya.
Jika saat bersama, saya turut membantu istri tanpa mungkin bisa mengganti perannya, sekedar menemani begadang, membantu mengganti pokok, menggendong sementara, mencuci baju bayi dan ibunya. Saat saya tinggalkan bekerja, terkadang kembali mata berkaca, karena jarak dan kewajiban bekerja yang memungkinkan tidak membantu, dan saya hanya mampu menitipkan pada Allah agar senantiasa dalam kesehatan dan penjagaanNya.
Satu hal lagi, yang membuat rasa kagum saya akan sosok seorang ibu kian bertambah. Seorang Ibu ibarat mesin yang tidak pernah mati. Dalam sebuah rumah, sosok ibu yang selalu bangun paling awal dan tidur paling akhir. Sebelum suami dan anak terjaga, seorang Ibu lebih awal bangun untuk menyiapkan keperluan suami dan anak, melakukan aktifitas rumah tangga yang tidak terbatas waktu sebagaimana suami yang  terbatas waktu kerja. Seorang suami saat pulang kantor bisa saja bilang capek pada istrinya dan lanjut beristirahat, tapi tidak begitu bagi istri. Secapek-capek istri harus memastikan makanan terhidang buat suami dan anak, saat akan tidur harus memastikan suami dan anaknya tidur nyenyak sekaligus memastikan rumah terkunci rapi. Sistim peran istri jauh lebih rumit dibanding suami, dalam kompleksitas kesibukan seorang istri masih memiliki peran sosial yang banyak mulai dari anggota pengajan, anggota arisan, anggota PKK. Terlebih jika istri bekerja, semakin menunjukkan betapa kuat dan hebatnya seorang istri.
Dalam hati saya saat ini membuncah tekad untuk memuliakan dan berbuat lembut pada perempuan khusunya Ibu dan istri. Ibu yang begitu perkasa telah melahirkan 8 orang anak, menyekolahkan dan membesarkan hingga anak dewasa, dengan segala kelembutannya membentuk anak-anaknya berkarakter dan menjaga keadaban. Memuliakan istri adalah kewajiban bagi siapapun suami, darinya akan lahir anak-anak zaman. Tujuan hidup terbesar adalah menjaga keturunan menjadi anak yang shaleh/shalehah, anak yang bisa bermanfaat bagi ummat.
Sangat wajar jika Rasulullah begitu luar biasa memuliakan sosok Ibu. Dalam hadistnya beliau sampaikan: Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)
Sesal luar biasa saya rasakan saat-saat tidak menuruti nasihat ibu, membantah bahkan mendebatnya, melaksanakan perintahnya tidak dengan ikhlas, merasa lebih pintar. Sungguh bagaimanapun pengalaman dan perasaan seorang ibu pastilah benar, beda dengan anak yang hanya mengedepankan rasio.
Dengan segala kesempatan yang terbatas mari kita muliakan perempuan, khusunya Ibu dan Istri.***

Leave a Reply

Sketsa