Sejak mendampingi istri selama hamil
9 bulan, melahirkan, menyusui, merawat hingga membesarkan, telah merubah
pandangan saya tentang sosok perempuan. Rasa ingin memuliakan dan memperlakukan
dengan kelembutan menjadi niatan terbesar di hati saya saat ini. Teringat
kata-kata istri saat akan melahirkan (pembukaan ke-6), beliau bilang “Rasa
mulas ini mengingatkan banyaknya dosa pada Ibu”. Saat pembukaan ke-9 sambil
meringis istripun bilang “Cukup satu anak saja ya Bah”. Saya hanya menanggapinya dengan
tersenyum sambil menyemangati istri “Sabar dan kuat ya ma dengan sunatullah perempuan,
Umi (Ibu istri) punya 7 anak, Ibu (mertua) punya 8 anak), pasti Allah lancarkan
semua proses sebagaimana beliau-beliau”.
Saat ini saya menjadi ‘ayah
mingguan’, istri dan anak tinggal dengan mertua di Kota Tangerang dan saya bekerja
di Serang. Saban Jumat sore hingga senin subuh bertemu istri dan anak. Saat
menyaksikan istri merawat anak, tidak jarang mata saya berkaca-kaca. Begitu
hebatnya menjadi seorang Ibu, dalam setiap perjalanan hidupnya adalah jihad.
Mulai dari proses kehamilan adalah
perjalanan yang luar biasa berat, harus menjaga rahim mulai dari benturan, ancaman
penyakit hingga asupan makanan. Datang waktu melahirkan, merupakan jihad antara
hidup dan mati, merasakan rasa perih tiada terperi. Istri sampai bilang obat
kesakitan itu hanya satu, “Ketika mendengarkan suara tangis bayi yang keluar
dari rahim”.
Setelah melahirkan, masih bersisa
rasa sakit dan perih karena luka jahitan yang ditinggalkan, namun seorang Ibu sudah
harus menyusui entah dalam kondisi sudah ber-ASI, maupun sedang berjuang agar
ASI keluar dengan lancar. Jihadnya belum berakhir, dan tidak akan berakhir,
sepanjang hari seorang Ibu yang baru melahirkan mungkin hanya tidur paling lama
empat jam. Saat baru mata terpejam sudah harus menyusui, saat akan terpejam
lagi bayi-pun pipis atau Buang Air Besar (BAB), dan beragam kebiasaan bayi
lainnya yang sedang beradaptasi dengan alam barunya.
Jika saat bersama, saya turut
membantu istri tanpa mungkin bisa mengganti perannya, sekedar menemani
begadang, membantu mengganti pokok, menggendong sementara, mencuci baju bayi
dan ibunya. Saat saya tinggalkan bekerja, terkadang kembali mata berkaca, karena
jarak dan kewajiban bekerja yang memungkinkan tidak membantu, dan saya hanya
mampu menitipkan pada Allah agar senantiasa dalam kesehatan dan penjagaanNya.
Satu hal lagi, yang membuat rasa
kagum saya akan sosok seorang ibu kian bertambah. Seorang Ibu ibarat mesin yang
tidak pernah mati. Dalam sebuah rumah, sosok ibu yang selalu bangun paling awal
dan tidur paling akhir. Sebelum suami dan anak terjaga, seorang Ibu lebih awal
bangun untuk menyiapkan keperluan suami dan anak, melakukan aktifitas rumah
tangga yang tidak terbatas waktu sebagaimana suami yang terbatas waktu kerja. Seorang suami saat
pulang kantor bisa saja bilang capek pada istrinya dan lanjut beristirahat,
tapi tidak begitu bagi istri. Secapek-capek istri harus memastikan makanan
terhidang buat suami dan anak, saat akan tidur harus memastikan suami dan
anaknya tidur nyenyak sekaligus memastikan rumah terkunci rapi. Sistim peran
istri jauh lebih rumit dibanding suami, dalam kompleksitas kesibukan seorang
istri masih memiliki peran sosial yang banyak mulai dari anggota pengajan,
anggota arisan, anggota PKK. Terlebih jika istri bekerja, semakin menunjukkan
betapa kuat dan hebatnya seorang istri.
Dalam hati saya saat ini
membuncah tekad untuk memuliakan dan berbuat lembut pada perempuan khusunya Ibu
dan istri. Ibu yang begitu perkasa telah melahirkan 8 orang anak, menyekolahkan
dan membesarkan hingga anak dewasa, dengan segala kelembutannya membentuk
anak-anaknya berkarakter dan menjaga keadaban. Memuliakan istri adalah kewajiban
bagi siapapun suami, darinya akan lahir anak-anak zaman. Tujuan hidup terbesar
adalah menjaga keturunan menjadi anak yang shaleh/shalehah, anak yang bisa
bermanfaat bagi ummat.
Sangat wajar jika Rasulullah
begitu luar biasa memuliakan sosok Ibu. Dalam hadistnya beliau sampaikan: Dari
Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata,
“Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus
berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’
Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu
‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian
siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali,
‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian
ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)
Sesal luar biasa saya rasakan
saat-saat tidak menuruti nasihat ibu, membantah bahkan mendebatnya,
melaksanakan perintahnya tidak dengan ikhlas, merasa lebih pintar. Sungguh
bagaimanapun pengalaman dan perasaan seorang ibu pastilah benar, beda dengan
anak yang hanya mengedepankan rasio.
Dengan segala kesempatan yang
terbatas mari kita muliakan perempuan, khusunya Ibu dan Istri.***