posted by rahmatullah on Humaniora
Pemerintah menjadi ‘tidak ada’
ketika kebutuhan dasar masyarakat tidak terpenuhi, diikuti hadirnya
ketidakpastian yang berujung pada keresahan. Fenomena mogoknya produsen dan
pedagang tempe menjadi contoh ‘ketidakadaan’ pemerintah. Pemerintah seolah
tidak berdaya, tidak punya upaya dalam memenuhi pasokan kedelai sebagai bahan
dasar pembuatan tahu dan tempe, dengan alasan kedelai merupakan barang impor.
Sepertinya menjadi tidak masuk
akal jika harga kedelai harus meroket naik, apa guna kementrian perdagangan,
kementrian pertanian, mungkin juga Badan Urusan Logistik (BULOG), ketika urusan
satu komoditi primer tidak mampu terpenuhi. Jika alasannya harus impor mengapa
tidak mampu negeri ini memproduksi sendiri padahal merupakan negara agraris
dengan luas lahan non produktif masih terhampar. Jika memang menjadi produk yang
diminati, mengapa tidak dikembangkan menjadi produk unggulan, atau melakukan
rekayasa hayati karena perguruan tinggi pertanian hampir ada di tiap provinsi.
Sebetulnya tidak ada alasan untuk tidak mampu, kecuali tidak mau dan ada motif
bisnis pengadaan kedelai.
Bagi sebagian besar orang mungkin
menganggap tempe tidak penting, atau menganggap lebay mogoknya produksi tempe,
namun dibalik itu terdapat matarantai kehidupan masyarakat kecil. Hampir semua industry
tempe merupakan industry rumah tangga, pengusaha kecil, menampung pekerja non
skill. Untung yang didapatkan pengusaha-pun tidak seberapa. Mata rantai
berikutnya pedagang dan penjual olahan tempe, kelangsungan hidupnya dari tempe
yang dianggap sepele. Yang tidak kalah serius pentingnya konsumen tempe adalah
multi segmentasi dimana segmen terbesar adalah masyarakat bawah. Jika harga
tempe meroket ataupun tidak ada di pasaran, lantas apa yang masyarakat
konsumsi. Tidak adanya peran dan tanggungjawab pemerintah adalah bentuk
penzaliman luar biasa, karena apa dan siapa yang sesungguhnya pemerintah jaga
dan lindungi, jika kebutuhan dasar masyarakat bawah pun terabaikan.
Mogoknya mata rantai tempe
manjadi sebuah tamparan hebat bagi pemerintah, karena mengurusi hal kecilpun
pemerintah lalai, abai, bahkan tak mampu. Apakah pemerintah tidak bisa mensubsidi
kedelai? Padahal jika kedelai disubsidi sudah jelas yang dibantu dan dihidupi adalah
masyarakat bawah, dibanding mensubsidi BBM yang kian tidak tepat sasaran.
Pertanyaan berikutnya, puluhan tahun jawatan/ kemetrian pertanian ada namun
tidak mampu mencapai target swasembada kedelai, lantas sesungguhnya apa yang
dikerjakan?. Dalam benak kecil saya, lengserkan saja presiden jika urusan perut
masyarakat bawah tidak mampu terpenuhi, terlebih saat ini bulan ramadhan, perlu
ketenangan batin dan jaminan pemerintah dalam melangsungkan ibadah ramadhan. Jika
betul memang negeri ini dipimpin negarawan muslim!
Bagi saya tidak risau jika harga
daging sapi, ayam, kerbau, kambing meroket, karena masyarakat bawah tidak mampu
membeli, kecuali setahun sekali saat idul adha mengkonsumsi, namun jika tempe
sudah tidak ada di pasaran, lantas apa yang masyarakat makan, toh kita
sama-sama tahu jika tempe adalah makanan murah namun sarat gizi. Jika gizi
rakyat dari tempe tidak terpenuhi, maka apa yang terjadi pada kualitas SDM
negeri ini. Jangankan bisa seperti negeri lain yang mampu mensubisidi susu dan
daging setiap hari untuk peningkatan gizi warganya, urusan tempe-pun tidak
berdaya. Sungguh menyedihkan ketika Wakil menteri pertanian mengatakan “Tidak
bisa berbuat apa-apa, hanya bisa pasrah, karena kedelai adalah produk impor”.
Lantas apa kerja bapak yang cerdas cendikia?***
Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai Ironi Negeri Tempe.
Tempe merupakan makanan khas indonesia yang bernilai gizi tinggi. tempe dapat melancarkan pencernaan dan mengandung minyak nabati.
Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai Indonesia yang bisa anda kunjungi di Informasi Seputar Indonesia