Dalam konteks secara
umum, hubungan bisnis merupakan hubungan antar manusia. Bisnis merupakan suatu
interaksi yang terjadi akibat adanya kebutuhan yang tidak dapat diperoleh
sendiri oleh individu (Khairandy, 2008). Ini menunjukkan bahwa meskipun manusia
diberi karunia banyak kelebihan (akal, perasaan dan naluri), dalam kenyataannya
banyak memiliki kekurangan. Kekurangan itu makin dirasakan justru ketika akal,
perasaan, dan naluri menuntut peningkatan kebutuhan-kebutuhan. Akibatnya,
kebutuhan manusia kian berkembang dan kompleks sehingga tak terbatas. Melalui
interaksi bisnis inilah manusia saling melengkapi pemenuhan kebutuhan satu sama
lain (Panuju, 1995).
Secara umum,
prinsip-prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik tidak bisa
dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia pada umumnya. Demikian pula,
prinsip-prinsip itu sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh
masyarakat masing-masing. Namun, sebagai etika khusus atau etika terapan,
prinsip-prinsip dalam etika bisnis sesungguhnya adalah penerapan dari prinsip
etika pada umumnya. Dan karena itu, tanpa melupakan kekhasan sistem nilai dari
setiap masyarakat bisnis, terdapat beberapa prinsip etika bisnis (Keraf, 2007,
h. 74), yaitu:
1. Prinsip Otonomi.
Otonomi
adalah sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak berdasarkan kesadarannya
sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Orang yang otonom
adalah orang yang sadar sepenuhnya akan apa yang menjadi kewajibannya dalam
dunia bisnis. Orang yang otonom adalah orang yang tahu aturan dan tuntutan
sosial, tetapi bukan orang yang sekedar mengikuti begitu saja apa yang berlaku
dalam masyarakat atau mengikuti begitu saja apa yang dilakukan orang lain.
Untuk bertindak secara otonom, diandaikan ada kebebasan untuk mengambil
keputusan dan bertindak berdasarkan keputusan itu. Dalam kerangka etika,
kebebasan adalah syarat yang harus ada agar manusia bisa bertindak secara etis.
Hanya karena ia mempunyai kebebasan maka ia dituntut untuk bertindak secara
etis. Namun kebebasan saja belum menjamin bahwa orang bisa bertindak secara
otonom dan etis. Otonomi mengandaikan juga adanya tanggung jawab. Jadi orang
yang otonom adalah orang tidak hanya sadar akan kewajibannya dan bebas
,mengambil keputusan dan tindakan berdasarkan kewajibannya, melainkan juga
orang yang bersedia mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakannya serta
mampu bertanggung jawab atas keputusan dan tindakannya, serta dampak dari
keputusan dan tindakan itu.
2.
Prinsip Kejujuran
Dalam dunia bisnis kejujuran menemukan wujudnya dalam tiga
aspek, yaitu: Pertama, kejujuran terwujud dalam pemenuhan syarat-syarat
perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran menemukan wujudnya dalam penawaran
barang dan jasa dengan mutu yang baik. Ketiga, kejujuran menyangkut pula
hubungan kerja dalam perusahaan. Dalam ketiga aspek wujud kejujuran tadi
terkait dengan erat dengan kepercayaan, karena kepercayaan yang dibangun di
atas prinsip kejujuran merupakan modal dasar usaha yang akan mengalirkan
keuntungan yang berlimpah. Keuntungan merupakan simbol kepercayaan dan tanda
terima kasih masyarakat dan mitra bisnis atas kejujuran kegiatan bisnis.
3.
Prinsip Tidak Berbuat Jahat (non-maleficence) dan Prinsip
Berbuat Baik (beneficence)
Perwujudan kedua prinsip ini mengambil dua bentuk. Pertama,
prinsip berbuat baik menuntut agar secara aktif dan maksimal kita semua berbuat
hal yang baik bagi orang lain. Kedua, dalam wujudnya yang minimal dan pasif,
sikap ini menuntut agar kita tidak berbuat jahat kepada orang lain. Maksud dari
kedua prinsip di atas adalah bahwa secara maksimal orang bisnis dituntut untuk
melakukan kegiatan yang menguntungkan bagi orang lain (atau lebih tepat, saling
menguntungkan), tapi kalau situasinya tidak memungkinkan, maka titik batas yang
masih ditoleransi adalah tindakan yang tidak merugikan pihak lain.
4.
Prinsip Keadilan
Prinsip ini menuntut agar kita memperlakukan orang lain sesuai
dengan haknya. Hak orang lain perlu dihargai dan jangan sampai dilanggar,
persis seperti kita pun mengharapkan agar hak kita dihargai dan tidak
dilanggar. Prinsip ini mengatur agar kita bertindak sedemikian rupa sehingga
hak semua orang terlaksana secara kurang lebih sama sesuai dengan apa yang
menjadi haknya tanpa saling merugikan.
5.
Prinsip Hormat Kepada Diri Sendiri
Prinsip ini bukan bersifat egoistis, melainkan ingin menunjukkan
bahwa tidak etis jika kita membiarkan diri kita diperlakukan secara tidak adil,
tidak jujur, ditindas, diperas dan sebagainya. Jadi, sebagaimana kita
sepantasnya tidak boleh memperlakukan orang lain secara tidak adil, tidak jujur
dan sebagainya, kita pun berhak untuk memperlakukan diri kita dan diperlakukan
secara baik. Kita wajib membela dan mempertahankan kehormatan diri kita, jika
martabat kita sebagai manusia dilanggar.
Nilai-nilai dasar yang
menjadi tolak ukur etika bisnis adalah tingkah laku para pengusaha dalam
menjalankan usahanya. Apakah dalam usahanya mengambil keuntungan dari
masyarakat konsumen dilakukan melalui persaingan usaha yang fair (jujur),
transparent (terbuka), dan ethic (etis). Perbuatan yang termasuk
dalam kategori unethical conduct misalnya memberikan informasi yang
tidak benar mengenai bahan mentah, karakteristik/ciri dan mutu suatu produk,
menyembunyikan harta kekayaan perusahaan yang sebenarnya untuk menghindari atau
mengurangi pajak, membayar upah karyawan di bawah UMR, melakukan persekongkolan
tender, dan melakukan persaingan tidak sehat (Khairandy, 2008)
Etika dibutuhkan dalam
bisnis ketika manusia mulai menyadari bahwa kemajuan dalam bidang bisnis justru
telah menyebabkan manusia semakin tersisih nilai-nilai kemanusiaannya (humanistic).
Sehingga, di kalangan pelaku bisnis muncul mitos bahwa bisnis adalah bisnis.
Bisnis hanyalah mengabdi pada keuntungan sebanyak-banyaknya (profit
oriented). Dalam kaitan ini Richard T De George (1986) menyebutnya sebagai
mitos bisnis amoral. Telah bergulir suatu kesan, bahwa bisnis tidak
boleh (jangan) dicampuradukkan dengan moral (Panuju, 1995). Publik dan hukum menuntut agar
bisnis memberlakukan “being ethical and social responsibility”. Dengan
berlaku etis dan mempunyai tanggung jawab sosial, bisnis akan langgeng dan akan
terjadi hubungan jangka panjang dengan pelanggan, pemasok, dan pihak lainnya.
Pelanggan akan membeli produk sebuah perusahaan yang mempunyai reputasi terbaik
dalam tanggung jawab sosial bilamana kualitas, pelayanan, dan harga sama di
antara para pesaing (Panuju, 1995).
Etika bisnis mempunyai
pengaruh lebih luas daripada peraturan formal. Melanggar atau melupakan masalah
etika akan menghancurkan kepercayaan. Kegiatan untuk mencari etika bisnis
tersebut menyangkut empat macam kegiatan (Keraf, 2007, h.59), yaitu:
1.
Menerapkan prinsip-prinsip etika umum pada khususnya atau
praktek-praktek khusus dalam bisnis menyangkut apa yang dinamakan meta-etika.
2.
Menyoroti moralitas sistem ekonomi pada umumnya serta sistem
ekonomi suatu negara pada khususnya.
3.
Meluas melampaui bidang etika
4.
Menelaah teori ekonomi dan organisasi.
Referensi:
Keraf, A. Sony. (2007). Etika Bisnis. Yogyakarta: Pustaka
Filsafat, Kanisius,
Khairandy, Ridwan.(2008). Corporate
Social Responsibility: Dari Shareholder Ke Stakeholder, Dan Dari Etika Bisnis
Ke Norma Hukum.
Panuju, Redi. (1995). Etika Bisnis, Jakarta: PT Grasindo
Wibisono,
Yusuf.(2007) Membedah Konsep dan Aplikasi
CSR. Gresik: Fascho Publishing.