Hanya ada satu Jokowi. Kemenangannya
dalam Pemilukada DKI telah melahirkan sejarah baru dalam catatan politik Indonesia.
Besar kemungkinan sejarah jokowi menjadi gubernur DKI akan menjadi teori baru
dalam ilmu politik dan kenegaraan.
Jokowi merupakan antitesis dari
sebuah kemapanan, kekakuan, dan tradisi birokrasi. Jokowi mewakili pola
kepemimpinan khalifah Umar bin Khatab dan Umar bin Abdul Aziz yang turun ke
bawah (Turba) mengamati, mengatahui dan merasakan langsung apa yang menjadi
permasalahan warganya, langsung pada jantung permasalahan. Jokowi bukanlah tipe
pemimpin yang cukup duduk di belakang meja, menjaga riasan dan busana pakaian
lalu cukup mendengarkan laporan bawahan lalu tertawa Asal Bapak Senang (ABS).
Betul sekali, jika kepemimpinan
dan keberhasilan Jokowi masih omong kosong, belum teruji apalagi terbukti.
Karena memang belum ada indikator yang bisa digunakan untuk mengukur
keberhasilan kepemimpinan yang baru berumur 9 hari. Namun yang terpenting
adalah spirit Jokowi, dalam menerapkan kepemimpinan tak bersekat baik oleh
pakaian, tanpa batas (borderless) berda di tengah masyarakat, dan minimum
protokoler. Dalam 8 hari jantung permasalahan jakarta tertembus, mulai dari kondisi
kali yang menyebabkan banjir, pemukiman kumuh, merasakan kemacetan, hingga tahu
dan merasakan bagaimana mentalitas aparatur negara.
Saya menulis ini bukanlah fanatik
akan jokowi, pendukung partai pengusung Jokowi ataupun timses. Hanyalah
masyarakat yang menginginkan perubahan, itu saja. Tentu saja titik jenuh kita akan
pemimpin masa kini baik di daerah, di provinsi, hingga di pusat yang hanya
sekedar mementingkan kelompoknya, partainya, dan sekedar rutinitas menggunting
pita sudah harus kita tinggalkan. Terlalu banyak pejabat kita yang harus
diganti karena sepatunya takut kotor, make-upnya takut luntur, selalu
berkacamata hitam (simbol jarak) karena tidak tahan panas.
Jujur Jokowi hanyalah antitesis
dari harapan akan perubahan yang saat ini memang simbolnya baru Jokowi. Kita
ingin pemimpin yang turun ke bawah karena disanalah empati dan kelembutan hati
pemimpin diuji. Semoga virus jokowi mewabah, mewabah dalam arti tren positif
munculnya sosok-sosok terbaik daerah yang memiliki kapasitas dan kualitas memimpin
daerahnya, bukan lagi botol-botol kosong yang jadi pemimpin, bukan lagi kolega,
famili, anak, bahkan istri mantan penguasa. Virus Jokowi penting untuk
perubahan indonesia, semoga berdiaspora dan direplikasi.
Dalam sebuah kompetisi, siapapun
masyarakat pemilih maupun yang bukan pemilih selayaknya sudah tidak lagi berdebat
andai Jokowi ataupun bukan Jokowi bahkan melakukan kampanye hitam kembali
membahas urusan Sara maupun pembunuhan karakter. Dalam sebuah kompetisi siapapun
pemenangnya mau tidak mau itulah yang harus di dukung. Jangan karena rasa tidak
suka atau benci, malah melakukan hal yang kontraproduktif, yang berdampak pada
disharmoni dalam masyarakat, yang tanpa sadar kita telah menjadi penghasut
maupun provokator.
Sekali lagi tulisan ini bukanlah membahas
individu Jokowi semata, melainkan “Spirit Jokowi” yang harus ditumbuh
kembangkan.***