Diberdayakan oleh Blogger.

Generasi Penitipan Barang


posted by rahmatullah on

2 comments



Keluhan tentang anak menjadi bahan obrolan menarik di kantor, karena saya baru menjadi ayah hanya berusaha menyimak dengan baik sekaligus banyak belajar. Ada seorang Ibu yang mengeluhkan mahalnya biaya pendidikan anaknya di sekolah islam terpadu “Apa-apa uang, buat praktikum, buat karya, dan lainnya, padahal biaya bulalan lumayan mahal….”, disisi lain Ibu tersebut menimbang “Ya kalau disekolahkan di sekolah biasa, siang sudah pulang, gak ada yang nemenin di rumah Kalau di sekolah terpadu jam pulangnya sama dengan jam pulang kerja, bisa belajar mengaji dan gak usah bimbel lagi”.

Ada juga Ibu yang bercerita jika biaya pendidikan anaknya harus ekstra “Paginya di sekolah terpadu sampe jam 4 sore, dilanjut 2 hari sekali ikut bimbingan belajar, dan 2 hari berikutnya ikut les bahasa inggris”. Alasannya “Mendingan ngeluarin biaya ekstra buat pendidikan anak, daripada pulang sekolah kelayapan, main gak jelas, bikin orang tua pusing”

Ada juga ibu yang terisak mengeluhkan anak gadisnya yang saat ini duduk di Kelas 2 SMP. Ibu itu menceritakan tanpa sepengetahuan Sang Ibu, jika anaknya ikut-ikutan fans girlband di facebook, menjadi panitia pertemuan fans di jakarta beserta temen-temennya. Anak tersebut berbohong ijin keluar rumah untuk kerja kelompil, rupanya pergi bersama teman-temannya ke jakarta untuk pertemuan fans girlband tersebut. Rupanya sampai magrib belum pulang, ketika dicari ada SMS masuk jika anak tersebut ada di satu mall di jakarta ketinggalan teman-temannya pulang ke serang, karena sedang di kamar mandi. Lantas membuat panik keluarga ibu tersebut, memikirkan keselamatan si anak tersebut di jakarta, dan Alhamdulillahnya dengan segala upaya anak tersebut bisa pulang lagi ke serang.

Ada lagi cerita Ibu yang baru melahirkan dan setelah habis cuti, menitipkan bayinya pada pengasuh di rumah. Beberapa hari ibu tersebut heran, karena ketika pulang kantor si bayi selalu dalam kondisi tertidur  pulas dalam waktu yang lama. Rupanya setelah diselidiki bayi tersebut diminumkan tablet CTM, sejenis obat penenang/ tidur. Bayangkan karena tidak tahan dengan tangisan bayi, seorang pengasuh tega memberikan CTM bagi bayi 3 bulan.

Cerita lain teman yang mengisahkan sudah tidak terhitung  mengganti pengasuh anaknya di rumah, beberapa pengasuh kepergok mencuri dompet, mencuri perhiasan, sampai ada yang kepergok membawa anaknya keperempatan jalan, yang rupanya sindikat pencurian anak.

Tentunya diantara pembaca juga memiliki pengalaman dan aneka kisah tentang anak-anaknya, atau kisah rekannya. Sebagai ayah yang baru belajar, kisah diatas adalah pembelajaran luar biasa untuk mengikat maknanya. 

Anak-anak zaman kini ibarat barang titipan orang tuanya. Pagi sampai saban sore dititipkan di sekolah terpadu, sore sampai magrib dititpkan ke bimbel atau les bahasa. Hanya malam bertemu orang tua itupun dalam kondisi orang tua dan anak yang sudah letih beraktifitas.

Ada bayi yang seharusnya mendapatkan kasih sayang penuh, harus dititipkan pada pengasuh mulai pagi hingga saban sore. Walaupun betul disediakan ASI ekslusif dalam botol-botol kulkas, namun tetap dekapan ibu tergantikan dekapan  pengasuh.

Terkadang batin saya menangis ketika mendengar keluhan seorang ibu “Kurang apa kasih sayang buat anak, ingin sekolah di mana diikutin, ingin bimbel dikabulin, ingin les dipenuhi, tapi kok ngelunjak ama orang tua…kalau ada di rumah ngeselin bawaannya pengen marah terus ama anak, untung saya kerja jadi gak sering ketemu anak”.

Entahlah, tidak bisa saya bayangkan bagaimana nasib generasi bangsa ini 5 tahun kelak, generasi barang titipan, generasi anak pengasuh yang kurang kasih sayang. Diantara kita mungkin masih merasakan kasih sayang dan bentukan pendidikan karakter orang tua, jikapun Ibu saya bekerja, beliau adalah guru yang hanya bekerja setengah hari, dan sisa waktunya untuk anak.

Kelak akan lahir generasi mekanis, generasi yang kehilangan masa kanak-kanak, generasi yang berprilaku kasar. Coba bayangkan apa yang terjadi ketika waktu dominan anak dihasbiskan oleh pengasuh yang latar pendidikannya terbatas, obrolan dan tontonannya hanya gosip, pakaiannya mengikuti trend (kurang sopan), waktunya dihabiskan  ngobrol dan sms, tentunya perilaku tersebut direkam kuat oleh anak dan menjadi tuntunan. Setiap kita punya pengalaman buruk mengenai perilaku dan akhlak pengasuh, tentunya tidak semua pengasuh.

Generasi apa yang lahir jika waktunya dihabiskan di sekolah, di bimbel, di les ini itu, membawa beban tas yang membuat bahunya bungkuk. Yang ada adalah generasi mekanis; generasi ini memang pintar namun kasar, tidak memiliki sense atau kelembutan hati, egosi, mencurahkan gundah hatinya pada teman atau media sosial. Bagi mereka orang tua hanyalah pemuas kebutuhan materi mereka, bukan kasih sayang. 

Seorang psikolog pernah bilang bahwa kecendrungan koruptor saat ini berusia muda, bukan lagi mereka yang sudah tua. Beliau mengidentikan dengan menyebut beberapa koruptor yang muncul di pemberitaan televisi betapa mudanya usia mereka yang rata-rata dibawah 40 tahun. Psikolog tersebut bilang bahwa mereka itu adalah orang-orang yang kehilangan masa kanak-kanak, sehingga sikap kanak-kanaklah yang terbawa ketika mereka dewasa. Bagaimana tidak, sikap dasar anak adalah ingin menguasai mainan temannya, tidak pernah merasa cukup, selalu ingin mainan baru. Ingin pamer pada temannya, jika ia memiliiki mainan baru. Hanya beda dimensi ketika dia dewasa, ingin mengambil hak orang lain, selalu merasa tidak puas, ingin menguasai, ingin pamer barang mewah.

Bayangkan betapa banyak generasi tersebut hadir 5 tahun kedepan, karena generasi mekanis terus tumbuh di negeri ini. Generasi-generasi yang ditipkan orang tuanya pada pengasuh, sekolah dan tempat les. Generasi yang kering akhlak, tidak memiliki sensitifitas dan kelembutan hati.

Sejujurnya sulit melawan zaman ini, ketika tren perempuan bekerja, dan pengarus utamaan gender begitu luar biasa. Bagaimana ketika saya harus memberi pemahaman istri agar menanggalkan pekerjaan, bagaimana menghadapi realita istri harus berhenti bekerja walaupun penghasilannya jauh lebih besar dibanding penghasilan saya. Namun rasa sayang akan buah hati pada akhirnya istri sepakat untuk berhenti bekerja, menajdi pendidik utama anak. Walaupun ujian tidak berhenti begitu saja, termasuk dari keluarga dan rekan istri. Ada yang bilang uliah tinggi-tinggi di Universitas Indonesia buat apa kalau pada akhirnya harus jadi ibu rumah tangga. 

Saya berupaya menyemangati istri, jika beliau adalah motivator utama anak, pembentuk akhlak anak, pendidikannya di di UI bukan buat orang lain, bukan untuk tempat kerja, melainkan untuk anaknya. Jangan sampai tinggi sekolah seorang istri yang merasakan adalah tempat kerjanya, tapi tidak dirasakan pengaruhnya bagi anak.

Jujur saya terkaget-kaget membaca buku Ayip Rosidi mengenai budaya orang Jepang. Rupanya dalam modernisasi Jepang, kemutakhiran teknologi, kecerdasan penduduk, kedisiplinan dan keteratuan, rupanya nilai tradisional tetap lestari. Di jepang tidak ada  istilah wanita karir, jikapun ada kecenderungannya wanita tersebut belum menikah. Di jepang ada semacam budaya secemerlang apapun karirnya, jika ia menikah maka secara otomatis ia menanggalkan karirnya dan secara tulus menjadi ibu rumah tangga.

Mengapa demikian, karena mereka menyadari tugas ibu-lah menjaga rumah, memelihara dan membuat suami nyaman dengan rumahnya. Mendidik, mengetahui tumbuh kembang anak, hingga kondisinya di sekolah. Ibu-ibu di jepang proaktif mulai dari mengantarkan, mendampingi dan kosneling mengenai perkmebangan hingga kesulitan anaknya di sekolah. Maka wajar jika Jepang manghasilkan generasi anak yang cerdas, disiplin, jujur dan berbudi pekerti, karena ibunyalah yang langsung mendidik anaknya. Maka tidak heran jika ada yang menyebutkan jika nilai islam itu diterapkan di jepang bukan malah di negara yang penduduknya Islam.

Entahlah dalam kemajuan bangsa ini, dalam pengarusutamaan gender, dalam kebanggaan ibu-ibu yang sedang giat bekerja, dalam kebahagiaan suami dan istri karena berkecukupannya harta karena keduanya bekerja, terbersit kehawatiran akan generasi zaman, generasi mekanis, genarasi yang tumbuh dan dibesarkan sekolah, tempat les dan pembantu. Entahlah apa jadinya…***

-          Gambar dari: http://rinaldimunir.wordpress.com/2010/09/16/doa-anak-zaman-sekarang/

2 comments

Leave a Reply

Sketsa