Diberdayakan oleh Blogger.

Ujian Kedua


posted by rahmatullah on

No comments

Saya memaknai perjalanan kehidupan dengan dua periode ujian.  Pertama, adalah ujian menuju kesuksesan. Kedua, ujian menuju kematangan.
Siapapun akan menghadapi ujian menuju kesuksesan, dalam pemaknaan yang sederhana, bentuk ujian ini adalah bagaimana seseorang bisa lulus kuliah dengan indikator wisuda, bisa mendapatkan pasangan hidup dengan indikator menikah, dan bisa mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang layak. Butuh perjuangan yang luar biasa dalam menghadapi ujian kesuksesan.  Untuk bisa wisuda, dihadapkan tantangan mengerjakan aneka tugas, skripsi, bagi yang terbatas ekonomi, harus nyambi bekerja, hingga puasa senin kamis agar bisa menyisihkan biaya kuliah.
Selepas wisuda dilanjutkan bagaimana jungkir balik mencari pekerjaan, menghadapi penolakan berkali-kali, mengantri dengan para jobless dalam aneka job fair. Mengikuti tahapan-tahapan seleksi yang tidak jarang terpental di tahap akhir, jikapun sudah bekerja dihadapkan pada jenis pekerjaan yang tidak sesuai latar pendidikan, tidak kuat tekanan, pindah-pindah perusahaan hingga akhirnya mendapatkan pekerjaan yang cocok. Tidak jarang jalan menerabas dilakukan dengan cara menyogok demi mendapat pekerjaan, padahal hal tersebut adalah kezaliman luar biasa, karena ulah kita bekerja dengan menyogok, telah menutup pintu rizki buat yang lain.
Saat bekerja mencapai tahap kemapanan, penghasilan mencukupi, jenis pekerjaan sesuai harapan. Ujian berikutnya adalah mendapatkan pasangan hidup.Bagian ini bukan  urusan remeh-temeh, setiap pribadi punya mimpi dan obsesi mengenai pasangan hidup, ada yang mengukur melalui kecantikan, kecerdasan, kekayaan, kepribadian, hingga kepatuhan pada agama. Jenis ujian ini beragam ada yang putus sambung-putus sambung, ada yang cinta bertepuk sebelah tangan hingga gantung diri, ada yang hamil dulu baru menikah, ada yang belum dianugerahkan keturunan dan  aneka jenis lainnya. Hasil akhir ujian ini adalah terbentuknya keluarga harmonis, sakinah dan melahirkan keturunan-keturunan yang baik.
Ujian kedua, tidak lagi berbicara pencapaian-pencapaian, karena pencapaian sudah terlewati pada ujian pertama. Anggap saja ujian pertamaberhasil menjadi wisudawan terbaik, bekerja dengan karir terbaik sehingga berkecukupan, dan memiliki keluarga yang utuh (sakinah). Ujian kedua berbicara mengenai kesuksesan menuju kematangan bukan kemapanan. Karena mapan belum berarti matang. Ujian ini bukan dihadapi tapi akan menghampiri dengan sendirinya. Bentuk ujian ini bisa berupa rizki berlimpah, karir yang melejit, memiliki jabatan bergengsi atau strategis, dan popularitas.
Terkadang rizki yang berlimpah menjadikan kita menjadi angkuh, mengoleksi segala jenis barang mewah, mulai dari perhiasan, jam tangan, pakaian, kendaraan, orientisinya bukan lagi memenuhi kebutuhan melainkan keinginan dan kecendrungannya adalah ingin terlihat, menunjukkan dalam arti pamer.
Karir yang melejit atau memiliki jabatan strategis tidak jarang membuat kita menjadi pribadi angkuh, keterbatasan waktu dan kesempatan menjadi pembenaran untuk semakin berjarak dengan orang-orang yang ada di bawah, dengan orang-orang yang mengantarkan hingga dirinya sukses. Tidak jarang kekuasaannya ditunjukkan dengan ajudan yang mengelilingi, kacamata hitam , hingga aneka fasilitas yang menunjukkan ia sebagai pejabat. Jabatan menjadikan seseorang lupa dengan rakyatnya, dengan keluarganya dan dengan siapapun yang membutuhkanya.
Berikutnya adalah popularitas. Ujian ini bisa menerpa siapapun, yang terberat jika ujian ini mendera tokoh masyarakat dan tokoh agama. Sering kita lihat di televise ustad yang semakin terenal bukan semakin menunjukan kerendahan hati, kezuhudan, gaya hidup sederhana sebagaimana ajaran kenabian. Tapi semakin diuji ketenaran semakin angkuh, menunjukkan kemewahan, menunjukkan hobi dan segala keglamoran, terkadang popularitas menjadi alasan mengenakan ‘tarif’ pada undangan dawahnya.
Kegegalan ujian kedua biasanya berbentuk perceraian rumah tangga, gagal mendidik anak lalu menjadikannya broken home, skandal orang ketiga baik PIL atau WIL. Silau harta ingin terus mengumpulkan menggunung dengan jalan korupsi. Mengejar jabatan dengan menelikung teman kerja, hingga kolusi dan nepotisme memasukan sanak saudara. Karena populer lalu mengenakan tariff sehingga terjungkal popularitasnya.
Indikator kematangan adalah ketika seseorang semakin merunduk, tidak besar kepala karena jabatan, tidak berubah sikap dan perilaku ketika makin dikenal. Pribadi matang jikapun berkelimpahan harta tetap hidup bersahaja, tidak memamerkan kekayaanya melainkan semakin semangat membantu sesame. Jabatan menjadi alat baginya semakin turun melayani masyarakat, bukan menambah jarak. Jikapun populer, hal itu ia jadikan alat sebagai model suritauladan, menjadi contoh (guru) yang baik bagi masyarakat. Jika berilmu dan bergelar akademik, membuatnya semakin giat berbagi ilmu, bukan malah semakin pongah dengan gelar lalu menaikan tarif setiap undangan seminar.
Mari berdoa agar sukses di ujian pertama dan matang di ujian kedua, dengan tidak meninggalkan bahkan ditinggalkan Tuhan dan orang-orang yang telah mengantarkan kita.***

Leave a Reply

Sketsa