Saya memaknai perjalanan kehidupan
dengan dua periode ujian. Pertama,
adalah ujian menuju kesuksesan. Kedua, ujian menuju kematangan.
Siapapun akan menghadapi ujian
menuju kesuksesan, dalam pemaknaan yang sederhana, bentuk ujian ini adalah
bagaimana seseorang bisa lulus kuliah dengan indikator wisuda, bisa mendapatkan
pasangan hidup dengan indikator menikah, dan bisa mendapatkan pekerjaan dengan
penghasilan yang layak. Butuh perjuangan yang luar biasa dalam menghadapi ujian
kesuksesan. Untuk bisa wisuda,
dihadapkan tantangan mengerjakan aneka tugas, skripsi, bagi yang terbatas
ekonomi, harus nyambi bekerja, hingga puasa senin kamis agar bisa menyisihkan
biaya kuliah.
Selepas wisuda dilanjutkan
bagaimana jungkir balik mencari pekerjaan, menghadapi penolakan berkali-kali,
mengantri dengan para jobless dalam aneka job fair. Mengikuti tahapan-tahapan
seleksi yang tidak jarang terpental di tahap akhir, jikapun sudah bekerja
dihadapkan pada jenis pekerjaan yang tidak sesuai latar pendidikan, tidak kuat
tekanan, pindah-pindah perusahaan hingga akhirnya mendapatkan pekerjaan yang
cocok. Tidak jarang jalan menerabas dilakukan dengan cara menyogok demi
mendapat pekerjaan, padahal hal tersebut adalah kezaliman luar biasa, karena
ulah kita bekerja dengan menyogok, telah menutup pintu rizki buat yang lain.
Saat bekerja mencapai tahap
kemapanan, penghasilan mencukupi, jenis pekerjaan sesuai harapan. Ujian
berikutnya adalah mendapatkan pasangan hidup.Bagian ini bukan urusan remeh-temeh, setiap pribadi punya mimpi
dan obsesi mengenai pasangan hidup, ada yang mengukur melalui kecantikan,
kecerdasan, kekayaan, kepribadian, hingga kepatuhan pada agama. Jenis ujian ini
beragam ada yang putus sambung-putus sambung, ada yang cinta bertepuk sebelah
tangan hingga gantung diri, ada yang hamil dulu baru menikah, ada yang belum
dianugerahkan keturunan dan aneka jenis
lainnya. Hasil akhir ujian ini adalah terbentuknya keluarga harmonis, sakinah
dan melahirkan keturunan-keturunan yang baik.
Ujian kedua, tidak lagi berbicara
pencapaian-pencapaian, karena pencapaian sudah terlewati pada ujian pertama.
Anggap saja ujian pertamaberhasil menjadi wisudawan terbaik, bekerja dengan
karir terbaik sehingga berkecukupan, dan memiliki keluarga yang utuh (sakinah).
Ujian kedua berbicara mengenai kesuksesan menuju kematangan bukan kemapanan.
Karena mapan belum berarti matang. Ujian ini bukan dihadapi tapi akan menghampiri
dengan sendirinya. Bentuk ujian ini bisa berupa rizki berlimpah, karir yang
melejit, memiliki jabatan bergengsi atau strategis, dan popularitas.
Terkadang rizki yang berlimpah
menjadikan kita menjadi angkuh, mengoleksi segala jenis barang mewah, mulai
dari perhiasan, jam tangan, pakaian, kendaraan, orientisinya bukan lagi
memenuhi kebutuhan melainkan keinginan dan kecendrungannya adalah ingin
terlihat, menunjukkan dalam arti pamer.
Karir yang melejit atau memiliki
jabatan strategis tidak jarang membuat kita menjadi pribadi angkuh, keterbatasan
waktu dan kesempatan menjadi pembenaran untuk semakin berjarak dengan
orang-orang yang ada di bawah, dengan orang-orang yang mengantarkan hingga
dirinya sukses. Tidak jarang kekuasaannya ditunjukkan dengan ajudan yang
mengelilingi, kacamata hitam , hingga aneka fasilitas yang menunjukkan ia
sebagai pejabat. Jabatan menjadikan seseorang lupa dengan rakyatnya, dengan
keluarganya dan dengan siapapun yang membutuhkanya.
Berikutnya adalah popularitas.
Ujian ini bisa menerpa siapapun, yang terberat jika ujian ini mendera tokoh
masyarakat dan tokoh agama. Sering kita lihat di televise ustad yang semakin
terenal bukan semakin menunjukan kerendahan hati, kezuhudan, gaya hidup
sederhana sebagaimana ajaran kenabian. Tapi semakin diuji ketenaran semakin
angkuh, menunjukkan kemewahan, menunjukkan hobi dan segala keglamoran, terkadang
popularitas menjadi alasan mengenakan ‘tarif’ pada undangan dawahnya.
Kegegalan ujian kedua biasanya
berbentuk perceraian rumah tangga, gagal mendidik anak lalu menjadikannya
broken home, skandal orang ketiga baik PIL atau WIL. Silau harta ingin terus
mengumpulkan menggunung dengan jalan korupsi. Mengejar jabatan dengan
menelikung teman kerja, hingga kolusi dan nepotisme memasukan sanak saudara.
Karena populer lalu mengenakan tariff sehingga terjungkal popularitasnya.
Indikator kematangan adalah
ketika seseorang semakin merunduk, tidak besar kepala karena jabatan, tidak
berubah sikap dan perilaku ketika makin dikenal. Pribadi matang jikapun
berkelimpahan harta tetap hidup bersahaja, tidak memamerkan kekayaanya
melainkan semakin semangat membantu sesame. Jabatan menjadi alat baginya
semakin turun melayani masyarakat, bukan menambah jarak. Jikapun populer, hal
itu ia jadikan alat sebagai model suritauladan, menjadi contoh (guru) yang baik
bagi masyarakat. Jika berilmu dan bergelar akademik, membuatnya semakin giat
berbagi ilmu, bukan malah semakin pongah dengan gelar lalu menaikan tarif
setiap undangan seminar.
Mari berdoa agar sukses di ujian
pertama dan matang di ujian kedua, dengan tidak meninggalkan bahkan
ditinggalkan Tuhan dan orang-orang yang telah mengantarkan kita.***