Saya akan selalu ingat apa yang
dikemukakan Ali Bin Abi Thalib, bahwa “Kebenaran yang tidak teroganisir akan
dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir”, dan saya yakin diantara kitapun
sudah mengetahui adagaium ini.
Entahlah,mungkin inilah tabiat
manusia, semakin ia tahu, maka semakin cepat ia lupa bahkan berpura-pura untuk
lupa. Dalam aspek keseharian, rumah tangga, bermasyarakat hingga urusan negara, rupanya kebatilanlah yang lebih
terorganisir, makanya janganlah heran jika apa yang mengemuka di negeri ini
adalah buah dari kebatilan yang terorganisir dengan rapi, dan cantik. Sungguh
wajar jika korupsi telah membudaya bahkan sistemik, program pemerintah hanya
rapi saat gunting pita nir partisipasi masyarakat, konflik atas nama suku,
agama, ras, keyakinan, kembali mengemuka, tawuran pelajar SMP dan SMA kembali
menggejala, kemiskinan yang dari zaman Sukarno jungkir balik dikurangi namun
rupanya kian eksis walopun dihantam segala program pemerintah, bantuan
perusahaan hingga LSM, dan banyak kebatilan lain yang mendapat rating
pemberitaan tertinggi di media massa dan elektronik dibandingkan
kebaikan-kebaikan yang muncul.
Titik tekan tulisan ini adalah urusan
kemiskinan. Mungkin logika saya yang salah atau mungkin berbeda dari umumnya.
Entah mengapa kemiskinan di negeri ini kian dikurangi, diberantas, malah justru
makin eksis dan ibarat jamur kian berdiaspora. Toh bukan hari ini saja, zaman
SBY saja, zaman gubernur anu, zaman bupati ini kemiskinan diperangi, sejak
zaman negara ini didirikan Sukarno, kemiskinana sudah menjadi momok di negeri
ini, hingga hari ini 67 tahun merdeka, tetap menjadi momok. Dalam setiap pidato
kenegaraan setiap tahun yang disampaikan presiden, gubernur, bupati/ walikota,
mereka selalu bilang, jika kemiskinan berhasil dikurangi sekian persen,
pendapatan masyarakat meningkat seiring sekian persen. Apakah benar? Yang ada
adalah orang kaya semakin kaya yang miskin tetap miskin lalu dihitung rata-rata
jumlah penduduk, lalu dibagi rata, hasilnya memang kemiskinan berkurang dan
pendapatan meningkat. Yang sesungguhnya meningkat bukan pendapatan orang miskin
melainkan orang kaya yang kian kaya, orang miskin hanya tertutupi silhoite
orang kaya.
Saya sadar jika kemiskinan saat
ini dikeroyok habis-habisan, ratusan program, kegiatan dan pendekatan dilakukan pemerintah baik
langsung maupun tidak langsung. Model langsung seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT),
PNPM, Kelompok Usaha Bersama (Kube), Rumah Tidak Layak Huni, dll dengan segala
nomenklatur dan istulah berebda. Yang tidak langsung melalui pendekatan
pendidikan, teknologi informasi, perbaikan infrastruktur, dan aneka program
lain yang dilakukan kementrian hingga pemerintah daerah.
Tidak hanya pemerintah, kini
perusahaan/ swastapun berkontribusi, melalui pembukaan lapangan kerja bagi usia
produktif, mereka yang memiliki skill maupun nir skill. Infrastruktur lingkar
perusahaan juga dibangun, program tanggungjawab sosial perusahaan (CSR )
diluncurkan dengan beragam model, mulai sekedar pencitraan hingga pemberdayaan,
dari sunatan masal hingga pelatihan keterampilan bagi perempuan.
LSM dan lembaga zakat juga ikut
menghantam kemiskinan, mulai dari LSM level internasional, lembaga zakat multi
nasional, lembaga zakat nasional hingga level lokal. Beragam inovasi program
diluncurkan sebagai alternatif yang dilakukan pemerintah, seperti penguatan
pendidikan, kesehatan, akses sumber air dan produksi, pelatihan bahasa, life
skill, dan mungkin ratusan program lainnya.
Pihak lainnya adalah aktor-aktor
individu, maupun rumah tangga yang turut memerangi kemiskinan mulai dari hal
sederhana seperi sedekah, menyantuni tetangga, anak yatim, menyekolahkan, dan
bentuk kepedulian lain pada level masyarakat.
Pertanyaan kemudian keroyokan
kemiskinan itu apakah berbuah hasil, menghasilkan manusia-manusia berdikari
yang setelah program ditunaikan betul
menjadi naik derajat menjadi tidak miskin? Jikapun berhasil lalu berapa
signifikansinya, berapa persen berkurangnya, jika harus menyebut orang siapa
sajakah itu dan dimana alamatnya.
Saya yakin jikapun kemiskinan
dikeroyok, dihantam dari segala arah, dengan beragam cara tidak akan berbuah
hasil, jika memang tidak terorganisir, tidak ada sinergi berjalan
masing-masing, satu ke hulu lainnya ke hilir. Tidak ada leader dalam penanganan
kemiskinan, disatu tempat bertumpuk program bahkan sama jenis yang mengadakan
berbeda, lain tempat sama sekali tidak tergarap program apapun.
Ada juga penanggulangan
kemiskinan hanya sekedar menunaikan kewajiban, asal menyerap anggaran,a sal ada
dokumentasi sudah dikerjakan, tanpa sedkitpun menganalisis kebutuhan melainkan
hanya menunaikan keinginan-keinginan masyarakat ataupun siempunya program. Maka
wajar jika banyak dibangun MCK tapi masyarakat tetap senang buang air besar di
kebun atau disungai, sedangkan MCK yang ada menjadi kandang ayam. Karena
program tidak turut merubah perilaku dan kebiasaaan masyarakat apalagi
melibatkan masyarakat, maka infrastruktur yang ada hanyalah menjadi fosil.
Lain lagi dengan mereka yang
menjadikan kemiskinan sebagai proyek untuk meraup pundi-pundi kekayaan. Jangan
heran ada manusia-manusia yang bisa berpenghasilan dari kemiskiinan yang
diderita masyarakat. Jika tidak ada proyek kemiskinan maka tidak bisa
menghidupi keluarga, jika kemiskinan berhasil dikurangi maka tidak ada nafkah
baginya, karena profesinya adalah makelar kemiskinan.
Proyektor-proyektor kemiskinan
ini beraneka ragam, mulai dari aparatur pemerintah hingga pengelola zakat. Yang
terparah adalah LSM menjadikan kemiskinan sebagai proposal untuk mendapatkan
donor internasional. Makanya ada yang sedang dan ada yang sedih jika kemiskinan
berhasil dikurangi. Sungguh sakit hati ini ketika ada kawan bercerita jika
kambing-kambing yang ia jual saat idul qurban keamrin ditawar sebegitu
rendahnya oleh lembaga zakat lalu dilambungkan harganya hingga setengahnya
dalam brosur-brosur lembaga zakat, yang disebarkan kepada para pekurban. Inilah
sialnya ketika agama menjadi alat penghimpun uang, mereka sudah tidak takut
lagi karena sudah biasa. Jikapun anda pendonor LSM, atau lembaga zakat, muzakki
cek betul kemana donasi anda mengalir, berapa persen dikurangi operasional
lembaga. Jangan sampai niat baik kita berzakat, bersedekah, dan aneka derma
lain malah dimakan dan memperkaya pengurus lembaga.
Kenapa kemiskinan gagal, karena
yang dijual adalah citra bukan substansi. Mulai dari pemerintah, perusahaan
hingga LSM, hanya menjual citra dan kecap bukan substansi. Pandai menggunakan
istilah menarik, ciamik demi mempercantik program, namun substansinya nihil,
orang-orang lapangannya tidak paham pemberdayaan, tidak tahu bagaimana
mendampingi masyarakat. Yang ada hanyalah mereka pakar-pakar manajemen yang
memutar balikan brand saja.
Inilah negara kita, idealnya
dengan dikeroyok, dikepung dikerjakan bareng-barang berbuah hasil, rupanya
tidak berbuah karena memang tidak terorganisir. Niat baik yang tidak dilakukan dengan
baik, tidak atas dasar ketulusan melainkan penuh pretensi. Masyarakat kecil
hanyalah subjek ditmbah objek coba-coba dan penderita yang tidak beranjak. Mau
sampai kapan, seharusnya pemerintah menjadi leader, menajdi pengarah, menajdi
pemimpoin yang mengorganisir penanggulangan kemiskinan. Bukan malah
memporak-porandakan nilai yang dianut masyarakat.***