Dua hari lalu saban sore kedatangan
tukang yang dulu jasanya saya pakai untuk renovasi rumah, dia bilang sedang butuh
kerjaan, ditambah butuh sedikit simpanan buat istrinya melahirkan bulan depan.
Segala keluhan hidup dikemukakan, telat bayar kredit motor, penumpang ojeknya
berkurang, menawarkan menggadekan motornya buat persiapan lahiran, hingga sudah
dua hari libur merokok karena gak ada uang.
Saya tanya “Berapa penghasilan
ngojek perhari?” Ia bilang tidak menentu kadang 20 ribu, kadang 30 ribu, kadang
15 ribu. Istrinya dia kasih uang sisa, setelah dikurangi buat merokok dan simpanan
buat mencicil kredit, dia bilang buat istri kalau ada sisa kadang 10 ribu,
kadang 5 ribu, kadang gak ngasih sama sekali.
Dia melanjutkan ceritanya, saya
kehabisan uang, karena bulan lalu ngadain syukuran 7 bulanan kehamilan istri,
kondisinya terdesak, berharap mendapatkan pinjaman uang dari bapak.
Mendengar cerita tersebut
tenggorokan saya tercekat, tidak mungkin saya bilang tidak ada uang karena sama
saja berbohong, bagaimanapun sedang ada sedikit uang. Sayapun merasakan
bagaimana ‘kalapnya’ seorang suami saat membutuhkan uang untuk persiapan
kelahiran anaknya. Saking kalapnya ia menawarkan menggadaikan motor, padahal
saat ini motor itulah barang produksi bagi ia dan keluarganya.
Yang tak saya habis pikir adalah
kebiasaan merokoknya. Ia bilang bukan “berhenti
merokok” tapi “libur merokok”, jikapun benar ia libu merokok, terpaksa karena
tidak ada uang, dan besar kemungkinan jika ada uang ia akan merokok kembali.
Dalam gumam saya, sungguh zalim
jika seorang suami memberikan nafkah pada istrinya adalah sisa setelah
dikurangi untuk merokok. Sedangkan ia sudah punya anak satu dan kini istrinya
sedang hamil tua. Betapa egonya seorang suami, yang menyamakan kebutuhan
rokoknya dengan kebutuhan ‘makan’ keluarganya. Ia tega menyisakan uang buat
istri dan anaknya 5 ribu rupiah, tanpa bertoleransi sedikitpun dengan rokoknya.
Diakhir pembicaraan, saya hanya
menyemangatinya untuk sekalian berhenti merokok. Tak mau mengasih uang Cuma-Cuma
karena sama saja tidak mau memberdayakan. Saya titipkan uang alakadarnya buat
istrinya, sedikit bahan makanan agar dapurnya ngepul dan uang muka buat
memberseihkan kebun.
Dalam pusaran pikiran saya, tidak
satu orang ini saja yang berpusar dalam kemiskinan akibat rokok, melainkan
ribuan bahkan jutaan masyarakat indonesia yang terlilit miskin akibat rokok.
Jika kelas menengah atas merokok, maka saya tak ambil pusing karena kebutuhan
hidupnya sudah menginjak sekunder dan tersier. Sedangkan masyarakat bawah sudah
jungkir balik memenuhi kebutuhan pokok, masih dikurangi juga untuk rokok. Saya
yakin jika petani, nelayan, tukang ojek, buruh, dan lainnya berhenti merokok, uang rokoknya
sangat mungkin dialihkan untuk menaikan gizi keluarga, untuk menyekolahkan
anaknya. Omong kosong jika perusahaan rokok melakukan CSR dalam bentuk apapun,
sedangkan karenanya masyarakat miskin kian miskin, usia tua makin suram karena
sakit-sakitan.
Sudahlah memang miris, petani
tembakau dijadikan tameng akan kehilangan lahan pekerjaan jika perusahaan rokok
ditutup, memang mungkin sekian ribu petani tembakau akan kehilangan pekerjaan
dan tentunya tanah tidak hanya menumbuhkan tembakau semata tapi tak terhitung
tumbuhan produktif bisa dihasilkan tanah. Toh jutaan warga indonesia jatuh
miskin karena candu rokok, ribuan warga nafasnya pagi sore sebab sakit karena
rokok. Semua tau jika miliuner-miliuner di negeri ini adalah pemilik perusahaan
rokok, bukan petani tembakau yang jadi miliner bukan?****