Kebetulan semester ini saya
mengampu mata kuliah Teori Pembangunan dan Administrasi Pembangunan. Pembahasan
tidak lepas mengenai ketergantungan, keterbelakangan, kondisi dan geliat
negara-negara dunia ketiga.
Tahun 1998, semua negara dunia
ke-3 mengalami krisis yang sama, transisi kepemimpinan, dan krisis ekonomi.
Jika diibaratkan sebuah komputer, karena kerusakan parah perlu dilakukan
pemrograman ulang, semua negara dunia ke-3 re-start dan memulai kehidupan baru di
Tahun 1998. Semua negara pada tahun yang sama memulai kehidupan dari nol lagi,
Indonesia, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, Vietnam dan banyak negara lagi. Start-nya
sama, namun hari ini 15 tahun kemudian Nampak hasilnya berbeda. Dengan segala
kemajuannya Malaysia, Thailand, Korea Selatan jauh meninggalkan kita dalam
segala aspek. Walaupun pemimpin di negeri ini mengungapkan segala argumentasi
jika negara ini terus tumbuh dan berkembang, namun dalam percaturan di
negara-negara Asia saja, dengan alasan apapun negara ini jauh tertinggal.
Apa yang sesungguhnya terjadi. Kebanggaan yang
selalu diagung-agungkan negara Indonesia adalah keberhasilan dalam demokrasi.
Betul jika dikatakan transisi politik 1998, telah berhasil menumbuhkan
demokrasi baru, tatanan dan sistem politik yang baru. Dinamika demokrasi di
Indonesia memang luar biasa, setiap tahun ratusan pesta demokrasi terselenggara
di berbagai daerah. Percakapan warga tidak lepas membahas politik, dukungan
politik dan kekuasaan.
Pesta demokrasi yang tiada putus
memberikan sumbangsih pada tidak fokusnya pembangunan negeri ini, karena memang
fokusnya adalah politik, ditambah media di Indonesia menjadikan politik sebagai
komoditas utama pemberitaan yang memberikan rating tinggi.
Bisa jadi negara lain stagnasi
dalam aspek demokrasi, karena hanya menempatkan politik sebagai konsumsi elit,
dan tidak semua aspek politik menjadi konsumsi masyarakat. Sehingga masyarakat focus
berkontribusi bagi kemajuan bangsanya. Percakapan politik di negeri lain
mungkin hanya sekali dua kali saja, dan otomatis berhenti ketika pemimpin sudah
terpilih. Sedangkan di Indonesia, percekapan politik tidak ada hentinya,
selepas pemilihan Presiden dan DPR/DPRD I,DPRD II bersambung ke Pemilihan
Gubernur, bersambung ke Pemilihan Walikota/ Bupati, hingga pemilihan Kepala
Desa. Amat wajar jika seluruh energi masyarakat Indonesia terkuras habis oleh
urusan politik.
Dalam aspek ekonomi, negara ini sudah
habis tergadai. Semua sumber daya alam yang ada sudah dimiliki bangsa lain. Tak hanya itu, Sumber Daya Alam (SDA)
yang telah tereksploitasi juga tidak terehabilitasi, sehingga yang tertinggal
hanyalah bencana.
Negara ini tidak memiliki
kedaulatan, melainkan hanya mengikuti trend global. Yang sudah pasti, Indonesia
adalah konsumen segala produk dunia, mulai dari barang konsumsi, elektronik,
fashion hingga gaya hidup. Kecendrungan berikutnya masyarakat kita dibuat
kehilangan identitasnya, lupa akar budayanya, lupa dasar mata pencahariannya.
Seolah industrialisasi adalah
kunci kemajuan zaman, aneka jenis industri diundang untuk berinvestasi di
negeri ini, masyarakat berebut bekerja sebagai buruh di pabrik. Seolah menjadi
buruh pabrik merupakan sebuah kelas sosial baru.
Dampaknya luar biasa hebat, tak
terhitung lahan pertanian beralih menjadi pabrik-pabrik dan tentunya beralih
juga kepemilikan lahan pertanian. Pengerukan pasir laut berlangsung di
mana-mana untuk kemudian dibuat pemukiman-pemukiman elit bahkan diantaranya
dijual untuk memperluas daratan Singapura. Infrastruktur di bangun di
pusat-pusat kota tanpa mengindahkan keseimbangan ruang-ruang kesetabilan alam,
yang pada akhirnya menysiakan aneka bencana.
Hal yang paling menghawatirkan atas
semuanya adalah perubahan perilaku dan pekerjaan. Anak muda kini memilih bekrja sebagai buruh dari pada
bertani dengan alasan gengsi, berhenti menjad nelayan karena penghasilan tak
tentu apalagi mencukupi. Padahal bagaimanapun juga jika menengok sejarah bangsa
petani dan nelayan adalah identitas negeri ini. Kemasyhuran masa lalu negeri ini karena
nelayan dan petani, bukan karena yang lain.
Pada saatnya tidak ada lagi
generasi yang bisa bertani, dan tidak ada lagi generasi yang bisa menangkap
ikan. Hari ini pun mulai terasa, produk pangan kita baik beras, kedelai, dan
lainya merupakan produk impor. Bahkan sudah menghiasi pasar tradisional ikan-ikan
laut impor. Kehilangan identitas berarti kehilangan segalanya. Kita tidak pernah
belajar bagaimana kerasnya bangsa lain menjaga identitas, yang kini menuai
hasilnya. Negara Brazil tidak pernah bermimpi menjadi negara indsuri atau IT,
melainkan kukuh dan fokus menjaga identitas diri menjadi negara pertanian dan
peternakan. Bahkan ini Brazil menjadi negara pengekspor pangan terbesar di
dunia. Begitu juga Vietnama, begitu kukuh dan menjaga tradisi pertaniannya, sehingga
menjadi negara pengekspor beras terbesar dunia. Begitu juga Thailand, pada mulanya
berguru pertanian ke Indonesia, dan kini hampir semua supermarket di negeri ini
dihiasi produk pertanian Thailand. Mereka maju karena sukses menjaga identitas
mereka dan berhasil melewati transisi.
Sedangkan negara kita sudah hampir
15 tahun terus menerus mengalami transisi tidak jelas apa yang dibangun dan
dipertahankan, bahkan identitas telah ditanggalkan. Kelak, dengan penduduk yang
terbesar ke-3 di dunia, negara ini akan menjadi negeri pengimpor pangan
terbesar di dunia. Tanah yang luas di negeri ini tidak lagi menjadi jaminan
bagi berlangsungnya pertanian, karena alih lahan berlangsung luar biasa,
kepemilikan sudah beralih pada para pemilik modal. Kita tinggal menikmati
menjadi orang asing di kampung sendiri.
Nasib yang tak henti bertransisi. Bukankah sesungguhnya bangsa yang
paling maju kelak bukan bangsa yang memiliki banyak SDA, menguasai teknologi,
bangsa yang menguasai industry, melainkan bangsa yang menguasai pangan.***