Sedari dulu saya sangat mengagumi
sosok perempuan, hingga saat ini rasa kagum ini semakin bertambah dan semoga
akan terus bertumbuh. Namun kekaguman ini saya batasi pada sosok ibu dan istri,
kekaguman dalam bentuk ikhtiram atau rasa hormat tak terkira.
Sedari kecil saya belajar di
madrasah diingatkan untuk menghormati perempuan (Ibu) sebagaimana warisan
hadist nabi. Saat itu dan seiring waktu berjalan pikiran saya belum mampu
mencerna, mengapa menghormati ibu diucapkan 3 kali dan Bapak hanya 1 kali.
Dan kini saya sudah mendapatkan
jawabannya dimulai mendampingi istri ketia hamil, melahirkan dan kini mendidik
dan membesarkan anak. Saya hanya bisa berucap begitu hebat dan supernya
perempuan. Perempuan adalah makhluk paling istimewa yang Allah ciptakan,
energinya tak pernah habis, stok
kesabarannya tak pernah menipis, rasa sayangnya tak pernah terbilang.
Ketika meringis saat akan
melahirkan dua kalimat yang istti ucapkan; teringat banyak dosa akan ibu,
rasanya cukup satu anak saja. Dua kalimat itu muncul dalam bawah alam sadar
saking sakitnya merasakan sesaat akan melahirkan. Rupanya rasa sakit yang
terlewati terlupakan seiring tumbuh kembangnya anak setiap waktunya.
Saat kini anak kami menginjak 8
bulan, paling lama saya mengasuh 1-2 jam, dan terasa berkeringatnya, harus
terus menerus berinovasi mencari permainan. Dalam benak saya rasanya tak
sanggup jika harus mengasuh seharian. Keluhan itu tak terucap dari mulut istri,
senyumnya terus mengembang sepenjang waktu mendampingi sang anak.
Mudah bagi saya berucap capek
sepulang kantor, lalu menanggalkan urusan pekerjaan rumah, dan begitu hebatnya
istri memahami dan memaklumi kondisi suami. Namun itu tidak berlaku bagi istri,
tak pernah terucap rasa capek mengasuh anak, membereskan rumah, memasak, dan tak
terhitung peran lainnya. Apa jadinya jika istri meminta cuti mengasuh anak,
cuti membereskan rumah dan memasak?. Terkadang para suami yang memang tidak
tahu diri, mudah mengucap kecewa hanya karena masakan yang kurang garam, hanya
karena lantai yang sedikit kotor, dan hal kecil lainnya. Padahal jika harus
menggaji berapa yang harus dibayarkan kepada istri mungkin tidak akan terukur
oleh berapapun besarnya uang.
Ikhtiram lebih besar saya
haturkan untuk Ibu, perempuan istimewa yang telah membesarkan 8 anak, tanpa
keluh kesah, dan saya sebagai anak ke-8 bersaksi betapa luar biasanya Ibu.
Berkatnya 3 anak mengenyam pendidikan doktor dalam dan luar negeri, dan sisanya
mengenyam pendidikan S2 dan S1. Dihari tua ibu, tekad saya hanyalah satu
berkhidmat dan mewujudkan mimpi-mimpi Ibu. Bagi saya beliau adalah azimat satu-satunya
sepeniggal Ayah.
Jika diibaratkan ukiran, tak
terhitung guratan kebesaran ibu di hati anak-anaknya. Dan kini jejak itu sedang
diikuti istri, belajar menjadi perempuan super demi mewujudkan
generasi-generasi super. Semoga…***