Diberdayakan oleh Blogger.

Runyam Gara-Gara RA, LHI dan AU


posted by rahmatullah on

No comments



Saban malam menjelang tidur saya atau istri sering membuka obrolan, berdasar ingatan saya beberapa obrolan terakhir membahas LHI, AU atau RA. Satu sisi memang agak malas menjawab, atau terkadang kami alihkan pada obrolan lain seperti perkembangan anak, kabar mertua, kondisi keuangan atau hal lain terkait lokalitas kami. Kenapa malas?, karena saya pikir apa untungnya memikirkan urusan mereka, toh keberadaan mereka juga tak berdampak pada kami. Letih rasanya sesaat sampai kantor Ibu-Ibu membahas gosip penangkapan RA, saat siang ada teman yang telpon minta pendapat tentang penangkapan LHI, menjelang sore obrolan membahas pidato AU, menjelang tidur istri membuka obrolan tentang wawancara AU di salah satu TV Swasta.

Pikiran saya menggelinding saat saya usia SD, pada zaman itu hanya ada satu-satunya TV pemerintah dan siaran percobaan TV Swasta. Masih terngiang dalam ingatan, program TVRI berisikan berita atau sajian keberhasilan pembangunan, baik melalui klompencapir, varia nusantara, Cerdas-Cermat dan lainnya. Memang siaran TV berada dalam kontrol penuh pemerintah, sehingga yang tersaji adalah keberhasilan, kegotongroyongan, persatuan, sehingga kesan yang dibagikan adalah optimisme, rasa semangat untuk partisipasi pembangunan. Memang sisi kurangnya TVRI sengaja membatasi pemberitaan mengenai permasalahan di masyarakat, tapi memang buat apa membagi masalah biarlah urusan elit diselesaikan elit, urusan artis dibereskan artis itu sendiri, bukan malah dibagikan pada rakyat yang sedang sulit..

Kita bandingkan dengan kekinian. Kenapa diawal saya bercerita  tentang obrolan sepanjang hari tentang permasalahan nasional,membahas  “urusan orang”, hingga menjadi obrolan menjelang tidur. Sedangkan berikutnya bercerita tentang masa kecil ketika melihat TVRI yang diberitakan adalah berita-berita pembangunan yang berdampak pada optimisme, dan energi positif.

Sesungguhnya keberadaan kotak TV di rumah kita lebih membawa petaka, dibanding manfaat. Sepanjang hari kaum perempuan digempur habis sajian infotainmen, dengan aneka type beserta bumbu. Seingat saya sejak jam 5.30 adalah infotainment terpagi dan infotainment termalam adalah jam 21.00. Yang dibahas berpusar pada satu gosip yang sama, orang yang sama hanya pola sajian berbeda.

Sepanjang hari tidak lepas dari siaran pemberitaan, bahkan hingga 24 jam berisi berita terlebih terdapat 2 TV berita. Sebagaimana infotainment, yang dibahas adalah subjek yang sama, kasus yang sama, hanya pola penyajiannya berbeda. Yang pasti tujuan pemberitaan adalah bagaimana “menelanjangi’’ objek berita sedemikian rupa.

Apa jadinya ketika setiap menit bahkan detik, masyarakat dibombardir , masalah orang, “urusan pribadi orang”. Dalam aspek legal mungkin tidak ada salahnya, namun bagaimana dalam aspek kepantasan?.  Ini yang disebut kapitalis, mengindahkan aspek-aspek normatif, demi meraup untung segunung.

Ketika nurani industri pertelevisian sudah mati, hanya mengedepankan rating demi pundi-pundi uang, maka apapun menjadi bahan pembritaan, hingga urusan kamar mandi artispun jadi santapan berita, diputar mulai subuh hingga larut malam. Maka yang terjadi adalah efek getok tular, apa yang diobrolkan apa yang semakin sering dilihat.

Pertanyaan saya , apakah stasiun TV tidak pernah berpikir mengenai kondisi rakyat, kesulitan rakyat, napas yang senin kamis, sekarang makan besok puasa.Disisi lain, melalui TV dikepung urusan orang, rumah tangga orang, partai orang. Mudah bagi industri TV menjawab, suruh siapa punya TV, suruh siapa menonton TV, toh masyarakat yang suka infotainment, toh masyarakat yang suka berita politik. Alasan-alasan itu adalah alasan nir nurani.

Sungguh kasihan rakyat, memenuhi kebutuhan dasar setiap hari saja harus jungkir balik, ditambah harus ikut serta memikirkan urusan RA, LHI atau AU. Jika memang pemilik TV memiliki nurani, maka ia akan menyortir apa yang layak di konsumsi rakyat, semangat apa yang harus dibagi, bukan malah menjadi media provokasi sehingga rakyat ikut berkerut. 

Mungkin ini adalah hipotesa saya sesuai apa yang saya lihat dan rasakan….Obrolan antar tetangga sudah jarang membahas mengenai kondisi tetangga lainnya, apakah ada yang sakit, apakah ada yang memiliki masalah, atau ada yang berduka. Tetapi yang dibahas adalah perkembangan mutakhir artis. Begitu juga dalam level keluarga, sudah jarang membahas perkembangan anak, kondisi keluarga jauh, dan lokalitas lainnya melainkan membahas urusan politik nun jauh di sana. 

Bahkan berapa keluarga yang berkonflik hanya gara-gara beda pilihan partai, antar tetangga silaturahmi menjadi runyan karena saat pilkada menjelek-jelekan pilihan masing-masing. Sungguh telah luruh kohesifitas. Gara-gara TV dan urusan politik satu keluarga di belah, antar tetangga ribut, bahkan antar kampung tawuran. Semua terjadi karena apa, media TV telah menjadi provokator, media “pembagi masalah”, bukan menjadi media penyejuk bagi masyarakat yang sesungguhnya sudah letih dihimpit urusan perut sendiri, urusan rumah tangga sendiri, dan urusan lainnya.  Kita tinggal menunggu generasi kedepan sebagai generasi yang ‘kering’ yang peka urusan nun jauh dan lupa urusan sendiri***

Leave a Reply

Sketsa