-->
Hanya bisa menggelengkan kepala
saat berangkat ke kantor menyaksikan sebagian pengendara motor yang membonceng
anak semaunya memacu laju dengan kecepatan tinggi. Mungkin hawatir telat, mengindahkan
keselamatan pengendara lain dikala jalan padat. Seringkali anak yang di bonceng
tidak dikenakan helm, mengambil jalan orang, melalui kendaraan lain dari
sebelah kiri, yang pasti seperti pertunjukkan atraktif di tengah jalan.
Lain lagi sering juga kita jumpai
pengendara atau penumpang mobil membuang sampah sekenanya dari dalam mobil,
kadang juga meludah atau membuang botol kemasan. Sepintas dalam mobil tersebut
tidak jarang kita lihat terdapat anak-anak.
Sama halnya jika kita ke super
atau mini market, sudah lama mengantri rapi tak jarang dipotong oleh ibu-ibu
yang membawa anak, atau tiba-tiba dihadapan kita sudah menaruh barang
belanjaannya di kasir tanpa terlihat rasa sungkan atau malu.
Begituhalnya saat kita mengantri
ATM atau juga di Bank, sudah lama kita bersabar dalam antrian, tiba-tiba ada
yang memotong dengan mengungkapkan segala alasan, dan seringnya yang melakukan
ini adalah ibu-ibu yang membawa anak.
Mungkin banyak hal atau peristiwa
lainnya yang kita anggap janggal yang tidak bisa diilustrasikan satu persatu,
tentunya hal tersebut terkait dengan sikap. Semua contoh diatas ada keterkaitan
dengan anak. Anak memang dijadkan titik tekan dalam tulisan ini.
Semua orang sudah hafal istilah
alah bisa karena biasa atau guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Tanpa
sadar sikap orang tua sedang ditiru sepenuhnya oleh anak. Ketika orang tua
membawa motor dengan kecepatan tinggi, sesungguhnya anak yang diboncengnya
sedang meniru. Begitupula orang tua yang menyerobot antrean, ada anak yang
sedang mengcopy perilaku tersebut. Pun ketika orang tua membuang sampah saat
berkendaraan, ada anak yang sedang menginternalisasi perilaku tersebut.
Sungguh menjadi petaka saat orang
tua tanpa sadar mencontohkan perilaku buruk. Wajar jika lalu lintas kita
semrawut, banyak terjadi kecelakaan, karena sedari dini orang tua mengajarkan
membawa kendaraan dengan sembrono, emosional dan egois. Wajar jika kita melihat
berita TV terjadi kericuhan saat antrian pembagian zakat, BLSM, bantuan sosial,
promosi produk dan lainnya, karena orang tualah yang mengajari perilaku ingin
menang sendiri. Teramat wajar jika sampah berserakan dimana-mana, karena
anak-anak diajarkan bukan membuang tetapi memindahkan sampah. Hampir seluruh
tempat dihiasi sampah, jikapun bersih karena ada tenaga kebersihan yang
tentunya mengeluarkan biaya untuk menggajinya. Toh akhir-akhir ini banyak
kejadian akibat gunungan sampah telah memporak-porandakan suatu wilayah.
Bangsa ini telah kehilangan harta
yang teramat besar, yaitu sikap hidup. Amat benar jika ada yang bilang jika
letak perbedaan antara bangsa besar dan bangsa kecil adalah pada sikap
hidupnya. Bangsa kecil terlalu sibuk dengan membangun kepercayaan diri,
mengedepankan artificial/ simbolik, menonjolkan keunggulan pribadi, merendahkan
martabat orang lain, dan bergelut dalam hal kuantitatif. Sedangkan bangsa besar
mengedepankan kepentingan kolektif, kemajuan bersama, ketertiban umum, dan semangat
kebangsaan, bukan lagi pada menonjolkan level individu.
Asal muasal miskinnya etika di
negeri ini karena nilai awal yang ditanamkan pada anak-anak adalah hal-hal yang
bersifa kuantitatif, ilmu hitung, ilmu logika, dan wujud fisik. Bukan tentang
pembentukan sikap dan perangai, bagaimana belajar membuang sampah, belajar
mengantri, belajar membersihkan sarana umum, belajar kemandirian. Yang
sesungguhnya hal-hal kecil tersebut berpengaruh pada perangai ketika dewasa.
Mungkin dianggap hal sepele, namun belajar tentang sikap walaupun melalui
pendidikan pembiasaan mengantri mewujudkan memjadi pribadi yang tertib dan matang
emosi saat dewasa.
Mungkin kita telah lupa,
terlampau bernafsu mengejar hal besar secara fisik, dan meninggalkan hal kecil
yaitu sikap yang sesungguhnya berdampak besar. Bangsa besar terbentuk karena
karakter individu yang mengolektif menjadi sikap sebuah bangsa, yang kemudian
mewujud menjadi bangsa yang bermartabat. Semoga kita bisa menjadi suritauladan
dengan mencontohkan sikap yang elok.***