-->
Ada tiga latar, seseorang atau
lembaga mau memperbaiki diri. Pertama, memperbaiki karena kesadaran sepenuhnya
tanpa ada faktor penyebab apapun. Kedua, memperbaiki karena ada suatu peristiwa
baik kecil maupun besar sebagai faktor pemicu. Ketiga, memang tidak memiliki
kesadaran sedikitpun untuk memperbaiki, walaupun banyak faktor pencetus kecil
maupun besar.
Jika kita cermati dua kejadian besar
di negeri ini terkait urusan lalu lintas. Pertama, korupsi di Korlantas Polri
dengan penetapan tersangka mantan Kakorlantas Irjen Joko. Kedua, kecelakaan
yang menimpa Abdul Qadir Jailani (Dul) anak artis Ahmad Dani yang menyebabkan
hilangnya 6 nyawa. Dua peristiwa yang menyita perhatian public tersebut, bisa menjadi
peluang sempurna dalam mereformasi per-lalu lintasan di Indonesia.
Kejadian pertama menggambarkan
birokrasi dan sistem korup yang berada di Korlantas Polri. Hal ini
menggambarkan elit/ pimpinan yang memiliki jabatan untuk memperkaya diri,
sehingga dimungkinkan rendahnya kualitas produk lalu lintas di Indonesia baik
jasa maupun barang. Terkait sistem, hal tersebut menggamarkan bahwa perilaku
korup bersifat sistemik, menyangkut pihak-pihak dalam hal ini aparat lalu
lintas seluruh Indonesia baik dari sisi administratif maupun pengelolaan lalu
lintas. Dari sistem yang buruk melahirkan kebijakan yang buruk, salah satu diantaranya
adalah regulasi terkait plat nomor eksklusif. Jika kita pernah berurusan terkait
lalu lintas, baik administratif (pembuatan SIM, mutasi,dll) atau terkait jalan
raya (razia, rambu, dsb) kesan yang didapatkan sebagian besar menyatakan kurang
baik, seperti berbelit-belit, dan rawan seseorang melakukan mekanisme suap.
Kejadian kedua, menggambarkan kondisi
masyarakat pengguna lalu lintas, namun Dul mewakili kaum elit. Kaum elit
digambarkan sebagai masyarakat atas yang erat keterkaitannya dengan jabatan
atau popularitas, dengan jabatan atau popularitasnya tersebut seringkali menggampangkan
urusan kedisiplinan berlalu lintas karena memiliki akses. Selain itu memanfaatkan
layanan khusus, seperti memiliki plat tertentu. Kaum elit ini jikapun melakukan
pelanggaran akan jauh lebih galak daripada korbannya (koboy jalanan)
Selain kejadian diatas, juga
terdapat beberapa fenomena. Pertama buruknya pengguna lalu lintas di Indonesia.
Tidak perlu diuraikan betapa ugal-ugalan pengguna lalu lintas di Indonesia.
Supir Kendaraan umum yang ugal-ugalan dan mengindahkan aturan demi setoran,
pengguna kendaraan pribadi yang SIM-nya hasil nembak, sehingga tidak paham
aturan lalu lintas, bebasnya memodifikasi kendaraan pribadi, sehingga tidak
memiliki standar layak berkendara yang pada akhirnya memacu terjadinya kecelakaan,
serta pengguna kendaraan umum yang semaunya naik dan turun.
Fenomena kedua, tidak adanya kendali
pemerintah terhadap pertumbuhan produksi industry otomotof, selain mental
pegendara yang kacau, juga tidak adanya kebijakan pemerintah dalam membatasi
jumlah kendaraan, sehingga kondisi massifnya kendaraan pribadi baik roda dua
maupun roda empat membuat chaos lalu lintas.
Semua yang dideskripsikan diatas merupakan
kondisi yang sifatnya sistemik, terstruktur dan massif. Masing-masing pihak
memiliki andil atau kontribusi kacaunya lalu lintas di Indonesia. Mulai dari
aparatnya, sistemnya, elit yang seharusnya menjadi suritauladan, pengguna
kendaraan umum, pengguna kendaraan pribadi, pemanfaat layanan umum, juga industry
otomotif yang memanfaatkan konsumersime masyarakat Indonesia, dengan menggenjot
penjualan kendaraan.
Kembali ke pernyataan pada paragraf
awal. Kondisi perlalulintasan di Indonesia masuk dalam kategori kedua, karena
memang tidak ada kesadaran untuk berubah, maka harus ada kejadian sebagai
faktor pencetus untuk berubah. Sudah seharusnya
reformasi per-lalulintas-an dilakukan secepatnya. Birokrat dan sistemnya diganti,
SIM pengendaranya dievaluasi kembali yang tidak sesuai dicabut, operator dan
penyedia layanan umum ditata kembali, kendaraan tidak layak dicabut izinnya,
pengendara pemula dan pengguna layanan diberikan sosialisasi mengenai kesadaran
dan etika berlalu lintas.
Kekacauan yang sifatnya massif,
terstruktur dan sistemik, harus ditangani dengan hak yang serupa. Dari hulunya
(birokrat dan sistem) dan hilirnya (pemanfaat dan pengguna) diperbaiki,
sehingga permasalahan lalu lintas di indonesia bisa tertangani dengan komperhensif.
Semoga kejadian besar tidak berlalu begitu saja, melainkan melahirkan perubahan
menuju kebaikan.***
sumber gambar: http://iwanbanaran.com/2011/02/24/siapakah-raja-jalanan-jakarta-sesungguhnya/