-->
Miris saat mendengar berita jika
dalam satu pekan ini, jumlah inden mobil murah sudah mencapai 300 unit. Tak
terbayang berapa inden jam berikutnya, pekan berikutnya, bulan berikutnya dan
tahun berikutnya. Sudah dipastikan ribuan bahkan jutaan mobil murah akan
mendarat di jalan-jalan kita, tentunya mengakibatkan chaos jalanan, khusunya di Ibukota. Sangat wajar jika Gubernur DKI
Jokowi marah besar mengetahui pemerintah mengizinkan beredarnya mobil murah,
hingga menyurati nota protes kepada Wakil Presiden Budiono.
Hanya di Indonesia mungkin ada
kebijakan yang tidak seiring sejalan. Ketidaksinergian jutru terjadi di
pemerintah pusat, otonomi daerah menambah keparahan ketidaksinkronan itu.
Pemerintah pusat yang selalu mengeluhkan terbatasnya anggaran untuk pembangunan
infrastruktur jalan dan fasilitas pendukung lainnya, mengungkapkan
ketidakmampuan membangun jalan di wilayah perbatasan, di wilayah Indonesia bagian
timur. Selain itu, banyak kajian yang
menyimpulkan jika sudah tidak proporsi antara jumlah dan panjang jalan yang
dibangun dengan penambahan kendaraan tiap tahunnya.
Sadar akan hal itu pemerintah justru mengizinkan
beredarnya mobil murah dengan alasan ramah lingkungan, yang sesungguhnya jangka panjang
mengakibatkan parallelized di jalan
raya, kendaraan tidak akan mampu beranjak sedikitpun di jalanan. Entahlah logika
apa yang dibangun pemerintah, disaat negara lain begitu ketat, tegas, bahkan
keras membuat dan mengimplementasikan regulasi pembatasan kendaraan pribadi,
memaksimumkan pelayanan transportasi umum dan berupaya mengalihkan kelas atas
dan menengah dari mengenakan kendaraan pribadi beralih mengenakan kendaraan
umum, penerapan pajak progresif, pengetatan mengeluarkan izin mengemudi,
mengintervensi industri otomotif dengan standar bangsa masing-masing, dan
sebagainya.
Yang ada di negeri kita hanyalah
omong kosong, apa yang mesti diteladani dari pemimpin ketika tak sepadan antara
laku dan kata. Hari ini mengeluhkan apa, besok lusa menerapkan kebijakan apa. Sekuat apapun pemprov DKI membangun
transportasi massal, membuat MRT, memaksimumkan jumlah busway, meremajakan
metromini, jika pemerintah pusat malah meloloskan regulasi mobil murah.
Kesimpulannya hanya satu,
pemerintahlah sesungguhnya dalang yang mengakibatkan masyarakat konsumtif akut.
Bukan mencegah, membatasi perilaku konsumtif, malah membuka keran
seluas-luasnya dan membiarkan pondasi karakter bangsa berdikari hancur. Andai
Bung Karno masih ada, akan marah hebat, saat semangat kemandirian, berdikari, kerja
keras, mewujudkan menjadi bangsa unggul dikhianati oleh pemimpin masa kini.
Yang mengatur negara ini bukan
pemerintah melainkan pengusaha. Entahlah, ada mungkin insentif yang didapatkan
pemerintah atas kebinyakan nyeleneh yang mengakibatkan berkuasanya pengusaha.
Jika punya teman atau pernah mengunjungi jepang, bisa dilihat di negara asal industri
otomotif, begitu dibatasi populasinya sehingga tidak mengakibatkan kemacetan, pembuatan
SIM begitu sulit demi keselamatan pengguna jalan, harga SIM hampir separuh harga
kendaraan, sedangkan di negeri ini melihat potensi jumlah penduduk yang banyak
justru menjadi tempat berpesta pora industri otomotif jepang.
Fenomena inden mobil murah adalah
salah satu contoh dari bentuk perilaku akut konsumtif masyarakat. Kita sudah
terpuruk dengan perilaku masyarakat yang hobi mengkredit motor, mengkredit panic,
mengkredit gadget, barang kebutuhan sehari-hari, sehingga kredit kini sudah
menjadi pandangan hidup masyarakat indonesia.
Sudahlah, memang bangsa ini
sedang luruh-luruhnya, tidak ada yang tidak impor mulai dari pemenuhan
kebutuhan dasar (kedelai, beras, tepung, kacangan), peralatan teknologi ringan
maupun berat, fashion, otomotf bahkan gaya hidup, bahkan jarum pentul sekalipun.
Mungkin terlampau fatalis jika saya mengatakan luruh, karena memang bangsa ini
sudah menjema kehilangan kepribadian, karakter dan segala keunggulan.
Solusi-solusi yang ditawarkan pemerintah hanyalah solusi sesaat bahkan
sesat.***
sumber foto:http://sosbud.kompasiana.com/2013/05/07/macet-jadilah-seorang-pengamat--558085.html