Diberdayakan oleh Blogger.

Semua Mengintimidasi Anak


posted by rahmatullah on ,

No comments

-->

Kebetulan beberapa pekan lalu menguping chatting kakak dengan keponakan yang sedang berada di jepang, kakak menanyakan gimana sekolah di jepang? Ayu menjawab “Sekolah disini enak wa, banyak bermain, diajarin antri, diajarin buang sampah, diajarin nyajikan makanan di kelas, gak banyak ngitung-ngitung. Kalo aku sekolah di Indonesia kayaknya gak akan naik kelas”.
Ayu kebetulan ikut bapak dan ibunya ke jepang dalam rangka studi doktoral, sekolahnya ikut pindah dan mengulang kelas  SD di jepang. Ketika SD di Indonesia, memang Ayu agak malas untuk berangkat sekolah dikeranakan sudah terbayang harus belajar menghitung, menghafal, dan lainnya. Berbeda saat ia bersekolah di jepang menghadapi esok hari adalah hal yang menyenangkan walaupun ada kendala bahasa, namun aktivitas sekolah yang penuh gerak badan, belajar kesenian, dan sikap membuatnya tak mengurangi semangatnya.
Lain halnya keponakan lain yang mengalami shock ketika mengawali Sekolah di SD IT. Shock karena Pekerjaan Rumah (PR) harian yang menumpuk, yang saking sulitnya soal bukan anak tapi terpaksa orang tua yang mengerjakan PR tersebut. Beberapa minggu awal sudah harus menyambung surat al-fatihah, harus sudah mengitung, anak kelas 1 SD dianggap mahir membaca dan berhitung. Satu minggu mogok sekolah, karena merasakan sekolah adalah beban, terbayang teror-teror tugas dan PR yang belum saatnya ia fahami. Hal yang disukai dan dinantinya hanyalah ekskul olah raga khususnya karate. Hingga pada akhirnya orang tua menghadirkan guru privat, agar bisa mengejar ketertinggalan sekolah.
Pagi ini kaget juga membaca status teman, saat tetangganya yang masih SD membawa LKS dan bertanya apa kitab suci Agama Konghucu, teman saya hanya terbengong-bengong ditanya hal tersebut, dan kaget saat membaca pertanyaan tersebut dalam LKS anak SD kelas 1. Sudah bentuk pertanyaannya ngaco, dan apakah anak kelas 1 sudah sampai sejauh itu pengetahuannya.
Lain halnya cerita rekan kantor jika aktivitas belajar anaknya yang MTS begitu padat, pulang sekolah jam 14, istrahat sejenak, kemudian jam 13 disambung belajar di bimbelan hingga jam 20 malam, alasannya supaya bisa mengejar mata pelajaran di sekolah. Entahlah apa sesungguhnya yang diajarkan disekolah, jika pada akhirnya anak harus menyambung belajar di privat dan bimbelan.
Tentunya pembaca memiliki cerita-cerita lain mengenai beratnya beban anak-anak sekarang bersekolah. Terkadang kasihan melihat wajah sayu memulai hari karena membayangkan kelelahan dan beban pikiran menjalani hari-hari sekolah. Terlebih mereka yang di Jakarta dihadapkan pada polusi dan kemacetan.
Masa bermain sudah direnggut sedemikian rupa oleh sekolah, hal yang menyenangkan bagi mereka hanyalah berolah raga dan berkesenian. Sisanya dihadapkan pada kerutan-kerutan di kening. Di negara maju masa awal sekolah kelas 1 hingga kelas 3 adalah pembelajaran sikap, etika dan gerak tubuh. Diajarkan pembiasaan-pembiasan seperti mengantri, membuang sampah, membersihkan WC, menyajikan makanan untuk rekannya, dan aneka sikap lain yang menununjang kematangan emosi saat mereka dewasa. Mengapa sejak awal tidak diajarkan menghitung, membaca dan menghafal, mereka beralasan hal tersebut bisa dikuasai dalam waktu singkat, dan tidak menjamin kedewasaan mereka di kemudian hari. Sedangkan sikap dan etika harus diajarakan sedari dini, diulang dan diterapkan sehingga menjadi kepribadian yang matang di kemudian hari. Untuk apa mereka menguasai ilmu pengetahuan jika tidak disertai kematangan emosi dan sikap, karena yang ada hanya akan mencelakakan orang lain.
Berbeda dengan anak-anak di Indonesia, kelas 1 SD dianggap sudah bisa membaca, digenjot untuk bisa menghitung, diberikan PR menyambung ayat atau menjawab soal, pedahal membaca perintah soalpun belum tentu bisa. Belajar sikap dan etika dikebelakangkan, ukuran berprestasi saat bisa ngitung, bisa membaca, bisa menghapal, lalu diganjar ranking 1 tanpa mempertimbangkan kematangan emosi. Pulang sekolah dihadapkan pada PR yang menggunung yang tentunya keceriaan mereka habis direnggut.
Ada ahli kepibadian yang mengungkapkan jika seseorang yang kehilangan masa kanak-kanak, maka saat ia dewasa akan muncul sikap ke kanak-kanakannya namun dalam bentuk negatif. Ia mengilustrasikan jika banyak anak muda yang korupsi, ada anak yang hedonis dan komusmtif, ada orang yang suka memamerkan barang atau hal baru, ada orang yang menyukai barang milik orang lain. Tidak lain jika sikap tersebut merupakan karakter anak-anak yang terwujud dalam bentuk penyimpangan saat ia dewasa. Bukankah korupsi adalah sikap anak yang menyukai barang atau hal milik orang lain, bukankah memerkan barang mewah seperti mobil baru, pakaian baru adalah sifat anak-anak, dan aneka bentuk lainnya.
Kondisi ini diperparah sejak pemerintah merubah hari dan waktu kerja. Pada mulanya pegawai bekerja hari senin sampai sabtu jam 07.00-14.00 dan sejak zaman Gus Dur berubah menjadi hari senin-jumat dari jam 08.00-16.00. Pergeseran waktu memang hanya 2 jam, namun dampaknya begitu hebat. Jika dulu sepulang kerja orang tua sempat membantu anak mengerjakan PR, mengajarkan membaca Al-Quran, dan kebersamaan lain seperti makan bersama, ngobrol bersama yang tentu menghangatkan kondisi rumah tangga.
Apa yang terjadi saat ini, peran orang tua mengerjakan PR,mengajari membaca Al-Quran, sudah tergantikan orang lain atau lembaga bimbel. Saat anak ingin curhat atau ngobrol orang tua sudah terlampau letih. Pada akhirnya orang tua mengalihkan kasih sayangnya dalam bentuk materi, dan aneka fasilitas lain. Sudah berkurang ruang kehangatan antara anak dan orang tua. Anak-anak selalu menjadi kambing hitam kelalaian orang tua, sehingga orang tua menilai jika anak-anak zaman sekarang susah diatur, tidak nurut, manja, membangkang, dan romantisme mengatakan jika anak-anak dulu itu penurut, mandiri, tidak manja. Padahal sikap anak adalah perwujudan dari keringnya sikap orang tua yang hanya mampu memenuhi materi anak, bukan kasih sayang secara utuh dan penuh.
Jika kita kaji lebih dalam, rupanya kepribadian anak yang mewujud dalam sikap mental sedang dihantam secara sistemik, negara merampas dengan waktu kerja yang tidak pro anak, sekolah yang terlalu menggunakan indikator kuantitatif dan orang tua yang kehilangan waktu untuk anak. Wajar jika kedepan akan tumbuh anak-anak yang kering hatinya, tak sesuai kata dan lakunya. Semoga semua segera peka akan kekhawatiran anak zaman ini, dan segera melakukan perubahan.***
 Sumber foto: http://islampos.com/anak-sakit-jiwa-karena-beban-pelajaran-16561/

Leave a Reply

Sketsa