-->
Minggu sore jelang magrib saat
duduk membaca buku di depan rumah, ada seorang bapak mengenakan batik kumal
mengucapkan salam berulang kali. Saya kira pengemis atau orang yang menanyakan
alamat. Saat saya hampiri bapak tersebut tiba-tiba menyodorkan uang Rp. 12.000,
beliau bilang “Bapak mau beli daun cincau di belakang rumah”, saya tanya “Sudah
Bapak petik?” beliau jawab “Belum biar uangnya dulu, maaf mohon diterima gak
seberapa”. Lalu beliau menyodorkan uang sembari bersalaman dan melempar senyum.
Lalu saya bilang “Silahkan Pak dipetik secukupnya”.
Lalu saya masuk kedalam rumah
menyerahkan uang Rp. 12.000 tersebut kepada Ibu, lalu Ibu menanyakan uang apa? Saya
ceritakan jika ada yang memborong daun cincau. Kakak saya kebetulan nimbrung “Kenapa
diterima uangnya? Toh kita gak butuh daun cincau, itung-itung sedekah, kagum
kalau ada orang yang mau berusaha menyambung hidup, daripada kebanyakan orang
mengemis gak mau kerja keras”. Lama saya menjawab pertanyaan beliau, sambil
otak berputar, iya juga kenapa gak digratiskan aja, atau dikurangi, lamunan
diiringi penyesalan. Lalu tercipta jawaban “Bapak itu yang langsung menyodorkan
uang 12 ribu, saya gak minta dan gak matok harga. Lagian gak papa itung-itung
memberdayakan, kecuali kita matok harga”.
Menjelang malam saya tetap
melamunkan kejadian tadi sore, aneka hal terkait bapak pencari daun cincau.
Sebagai seorang pencari nafkah, saya juga membayangkan betapa luar biasanya bapak
tersebut berjalan kaki mencari dimana daun cincau berada, hingga menjelang
magrib dalam upaya menyambung urusan perut. Terbayang jika sampai magrib tak
bertemu daun cincau bagaimana dengan urusan dapur bapak dan keluarganya esok
dan lusa, bagaimana sedihnya seorang pencari nafkah ketika hal yang diharapkan
tak didapat. Hal besar yang saya kagumi adalah mengenai kejujuran, jikapun mau bapak
tersebut tinggal mengambil daun tanpa izin sebanyak mungkin, karena menjulur
diluar pagar rumah. Tapi beliau memilih akhlak mulia mendatangi, memohon izin
dan menunaikan kewajiban uang sebagai tanda sah jual beli.
Terkadang pikiran dan hati ini
mendramatisir situasi, yang berkecamuk adalah jika berganti posisi bapak itu
adalah saya, berburu daun cincau demi menghidupi keluarga dalam kondisi tak
pasti. Tak pasti karena mencari daun cincau bukan perkara mudah, karena saat
ini mulai jarang ditemukan di hutan maupun di kebun, jikapun ada belum tentu
diizinkan oleh si empunya pohon, jikapun djual bisa jadi ditawar dengan harga
yang tinggi. Karena sukar, tidak jarang mereka yang pragmatis menjual cincau sintesis.
Entahlah saya mencoba menghibur
diri mudah-mudahan apa yang saya lakukan walau hanya menerima uang dan
mengizinkan bapak tersebut memetik daun cincau sudah membantu. Sedikitnya
membuat tersenyum bapak tersebut karena harapannya terwujud mendapatkan daun
cincau menjelang magrib, mudah-mudahan bisa menyambung hidup keluarga saban
beberapa hari kedepan dari menjual cincau.
Interaksi saya dan Bapak tersebut
tak sampai 5 menit, namun ada pelajaran hidup yang saya dapat. Belajar bekerja
keras menjemput rizki, belajar kejujuran, serta belajar lapang dan tersenyum dalam
menghadapai hidup.***