Aktivitas CSR bukan sekedar
membangun dan memelihara jaringan semata,
melainkan
harus mampu melakukan pentahapan mulai dari analisis kebutuhan (need assessment),
memetakan stakeholders, memetakan dan
menganalisis kebutuhan dan keinginan stakeholder,
melaksanakan CSR internal, eksternal, dan aktivitas lainnya.
Oleh
karena itu ketika perusahaan melakukan penerimaan staf CSR, harus sesuai dengan
kebutuhan departemen CSR itu sendiri. Terkadang aktivitas CSR tidak berjalan
optimal dikarenakan pola rekrutmen yang tidak didasarkan pada kapasitas,
pengalaman dan latar belakang pendidikan.
Secara
umum keilmuan yang relevan bagi pengelola CSR adalah mereka yang berlatar belakang ilmu sosial, baik
sosiologi, antropologi maupun ilmu kesejahteraan sosial. Hal ini penting
dikarenakan mereka yang memiliki latar belakang tersebut, ketika bekerja akan
menggunakan pendekatan humanistik dan sudah terbiasa dalam menjalin relasi, baik dengan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat dan pemangku
kepentingan lainnya. Akan berbeda dampaknya jika perusahaan menempatkan mereka
yang berlatarbelakang ilmu pasti sebagai pengelola CSR, karena pendekatannya
akan didasarkan logika, kaku dalam menerapkan SOP, sehingga tidak ada
fleksibilitas terhadap kasus maupun saat
berhubungan
dengan stakeholders.
Sebetulnya
pada beberapa perguruan tinggi, terdapat jurusan yang khusus membentuk dan
menciptakan orang-orang yang memiliki kapasitas dalam mengelola CSR, mulai dari
melakukan need assessment, melakukan
manajemen konflik, pembuatan baseline
data, hingga terminasi program, yaitu mereka yang berasal dari jurusan Ilmu
kesejahteraan sosial. Karena dalam proses perkuliahan tidak hanya diberikan
teori melainkan juga praktik, mulai dari mikro (penanganan masalah individu),
juga makro (penanganan masalah organisasi dan masyarakat). Di Indonesia, baru beberapa perguruan tinggi yang membuka jurusan Ilmu
Kesejahteraan Sosial, diantaranya Universitas Indonesia,
Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada (Sosiatri), Sekolah Tinggi
Kesejahteraan Sosial (STKS), Univeristas Jember, Universitas Bengkulu, Universitas Sumatra Utara, Universitas Cendrawasih, dll.
assalamualaikum kang...
terkait SDM CSR yang "sebaiknya" berlatarbelakang ilmu sosial, sedikit banyak saya bisa menerima argumentasinya..
tapi di kondisi nyata, terkadang muncul apa yang mungkin bisa disebut sebagai "positive deviance", dimana orang yang secara latar belakang tidak mengenyam ilmu sosial tapi memiliki kemampuan "humanistik" yang mumpuni...
hal seperti ini yang mungkin pihak HR bisa lebih jeli dan tidak menjadikan "latar belakang pendidikan" sebagai satu2nya parameter tunggal...
Alaikumsalam
Sepakat dengan Mas Ratodi, tidak sedikit mereka yang bukan latar belakang keilmuan sosial bisa berhasil dilapangan membangun relasi sosial, memberdayakan masyarakat, dsb. Diantara mereka berhasil bekerja keras mempelajari urusan hubungan manusia secara praktis malah melebihi yang belajar sosial,
Dalam konteks ini saya hanya ingin mendudukan dan menunjukkan bahwa ada disiplin ilmu yang khusus mempelajari CSR/ CD yang secara konsep tual sudah mereka kuasai dan akan lebih mudah jika mereka juga menjadi tenaga CSR.