Siapa yang tidak kenal Andri
Sobari (AS) alias Emon?. Tingkah dan polahnya menghentak pemberitaan tak hanya
lokal Kota Sukabumi, nasional bahkan ‘memperkenalkan’ fenomena pedofil di Indonesia
ke mancanegara, hingga mencatatkan Indonesia pada peringkat pertama di Asia
terkait tingkat kekerasan seksual terhadap anak. Jika dirunut siapa sesungguhnya
sosok Emon, dia bukan pesohor, pejabat, politikus, apalagi artis. Hanya seorang
pemuda dari keluarga prihatin di kampung Liosanta yang dikenal pendiam, lugu,
suka membantu tetangga, rajin mengaji, dan disukai anak-anak karena sikap
mengemong. Siapa menyangka seorang Emon dengan segala catatan kebaikannya
melakukan tindakan asusila, merampas masa depan puluhan anak. Namun yang
menjadi pertanyaan, Jika yang dilakukan Emon adalah tindakan amoral,
bertentangan dengan nilai agama dan hukum, mengapa peristiwa menahun dan
mengakibatkan banyak korban, baru diketahui setelah korbannya menembus angka
puluhan. Bukankah dalam fenomena amoral entah itu pencabulan, perkosaan
dibagian wilayah manapun dan dibelahan dunia manapun pasti ada korban yang
melaporkan, mengadukan baik ke keluarga maupun pihak berwajib. Jikapun tidak
dilaporkan, minimal tindakan amoral menjadi buah bibir di lingkungan terdekat.
Apa yang sesungguhnya terjadi dengan Emon? Sehingga tak ada korban yang
melapor, tak ada anak yang mengadukan ke orang tuanya dan tak ada tetangga yang
mengetahui.
Sungguh hal yang paling menyesakkan
saat membaca hasil wawancara diagnostic
konseling psikoterapi para anak yang menjadi korban dalam buku Jaga Anak Anda
Dari Predator Sex karangan Asep Haerul Gani didapatkan beberapa temuan,
diantaranya: Pertama, anak yang menjadi korban, tidak tahu jika perilaku Emon
adalah salah. Anak tidak pernah diberitahu baik oleh orang tua, pengasuh atau
guru bahwa bertelanjang bersama, memainkan alat kelamin, diraba alat kelamin
oleh orang lain, diusap alat kelamin/ dubur oleh orang lain, memegang alat
kelamin oleh orang lain, adalah perilaku keliru. Karena itu saat Emon melakukan tindakan
pelecehan, anak-anak hanya merasa janggal, aneh dan bingung. Sering Emon
melakukan tindakan kepada anak, namun pada saat yang sama anak merasa bahwa
pengalaman itu biasa saja.
Kedua, meskipun Emon melakukan pelecehan, namun anak-anak merasakan
besarnya perhatian dan kepedulian Emon, yang melebihi kepedulian orang tuanya. Ada
pernyataan anak kepada psikolog yang menuturkan “Kang kenapa aa AS ditangkap,
padahal diamah baik, suka nemenin belajar, ngajarin matematika, beliin
mainan dibanding ayah yang suka ngegaplok
dan marah-marah”. Ada juga anak yang bilang “Heran kok aa AS ditangkap, padahal ia baik. Saya pengen layangan, minta uang ke abah
malah dimarahi, ama aa AS malah diberi dan dipeluk juga diusap”.
Ketiga, Emon memiliki aneka cara dalam membangun keakraban dengan
anak-anak dan sukses masuk kedalam dunia anak. Cara yang dilakukan Emon
diantaranya: menemani anak-anak bermain dirumahnya (main monopoli, Play Station), menemani anak belajar
hingga paham dan membantu mengerjakan PR, membantu anak membuat mainan, tak
sungkan bermain layaknya anak (kelereng, petak umpet, berenang), menjanjikan
makanan dan barang-barang, hingga menyuruh anak lain yang sudah akrab dengannya
untuk berkenalan dengan anak lainnya dengan aneka iming-iming. Saat anak-anak
sudah akrab dengannya, maka perilaku ‘seksual’ diperkenalkan dengan perlahan.
Keempat, Emon mampu membangkitkan ketakutan anak-anak, sehingga
tidak ada anak yang melawan. Emon kerap mendongengi anak, bahwa ia memiliki
ragam kesaktian, melakukan ancaman fisik seperti menelikung, meremas, meninju,
mencekik, menubrukkan kepala ke benda/ dinding. Melakukan ancaman verbal
seperti “Jika kamu lapor ke Ibumu, teluh kematian mematikan ibumu”.
Kelima, secara perlahan Emon berhasil membangun perilaku seksual
sebagai perilaku wajar. Emon melakukan ‘shaping
behavoiur’ seperti merangkul pundak, mengelus kepala, mengelus punggung,
menggendong sambil pakai baju, menggendong dalam kolam, menggosoki tubuh anak
untuk menghilangkan daki, menggosok tubuh dengan usapan yang merangsang,
merangsang kelamin anak, dan aneka tindakan fisik lainnya yang seakan-akan
bentuk perhatian.
Dimana Keluarga
Sesungguhnya perilaku amoral,
dalam hal ini pedofilia yang cenderung kian mewabah terjadi pada level ‘elit’
maupun ‘alit’. Apa yang terjadi di Jakarta International
School (JIS) mewakili masyarakat berada, dan apa yang dilakukan Emon di
kampong Liosanta mewakili masyarakat miskin. Namun dari kedua kasus tersebut, yang
kemudian menjadi pertanyaan besar adalah dimana keluarga? Dimana orangtua?.
Emon dengan sikap mengemong, mampu mentransformasikan dirnya berperan
andragogik, menyelam kedalam dunia anak, memahami kebutuhan anak, piawai berbagi
kasih sayang, menjadi guru yang lembut dan mampu membuat anak-anak paham pelajaran
sekolah. Tanpa paksaan Emon telah mendapatkan mandat dari puluhan anak yang
‘kehilangan orang tuanya’.
Andi Sobari akan tetap menjadi
Andi Sobari dan tidak akan menjadi Emon jika pranata keluarga berjalan dengan
baik, jika setiap keluarga memiliki kualitas dan kuantitas waktu dengan anak. Jika ayah hadir dan menjadi suritauladan,
jika ibu menjadi tempat teduh dan menebar kasih sayang, jika kakak menjadi pengayom
buat adiknya, jika tetangga juga turut menegakkan norma dan aturan. Dalam
fenomena masyarakat ‘elit’, kesibukkan kedua orangtua menjadi musuh terbesar
anak, sehingga anak berada dalam pelukan pengasuh dan dititipkan di sekolah.
Dalam fenomena ‘alit’, kemiskinan adalah musuh terbesar anak, karena selain
menjadikan kedua orang tua sibuk banting tulang mencari nafkah juga penanaman
nilai dan norma tidak menjadi prioritas.
Belajar Dari Jepang
Dalam buku Orang dan Bambu Jepang
karangan Ajip Rosidi, diceritakan bahwa menikah selain sakral juga, menjadi penanda
seorang perempuan Jepang berhenti bekerja, dan totalistas waktunya untuk anak
dan keluarga. Perhatian terhadap anak adalah segalanya, sehingga seorang Ibu
selalu hadir kapanpun saat anak membutuhkan, mereka mendampingi anaknya
disekolah, mengetahui dan mencarikan solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan
anaknya disekolah. Disisi lain sesempurna mungkin menjadi istri bagi suaminya,
sehingga terpenuhi kebutuhan fisik maupun psikis. Dalam aspek lain, pemerintah
Jepang menggaransi jika penghasilan seorang kepala keluarga mencukupi kebutuhan
seluruh aspek dalam keluarga, sehingga tidak perlu laigi seorang istri bekerja.
Inilah sesungguhnya jawaban mengapa Jepang menjadi negara maju, menjadi negara
yang berperadaban tinggi, karena sesungguhnya ada sosok istri dibalik suami
sukses dan ada sosok ibu dibalik anak-anak cerdas yang kelak memimpin dan
memajukan Jepang. Sebaliknya di Indonesia, perempuan atau para istri begitu
sibuk mengejar karir dan meninggalkan anak serta suaminya, lalu menganggap
perempuan bekerja memiliki status sosial yang tinggi. Sesungguhnya sedang terjadi kemunduran
peradaban di negeri ini dan kelak segala tindakan amoral kian menggejala karena
orang tua tidak hadir bagi anak-anaknya.
Emon akan tetap menjadi Emon,
bahkan kian menggejala. Secara fisik emon sudah ditangkap, dan sedang diadili
dalam ranah hukum. Namun sikap dan perilaku Emon dalam bentuk dan wujud lain kian
menjadi dalam dimensi ‘elit’ maupun ‘alit’ , jika tidak ada perbaikan dalam
pranata keluarga dan pranata sosial.***