Jika tidak ada aral, pada tangggal
20 Oktober 2014, kita akan memiliki presiden baru, presiden pilihan rakyat
Indonesia. Proses panjang pemilihan
presiden langsung yang diikuti pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko
Widodo-Yusuf Kalla, merupakan puncak pesta demokrasi Indonesia yang telah
terlalui dengan aman, damai dan terkendali. Dinamika pastilah ada karena itulah
bunga-bunga demokrasi, mulai dari adanya dua versi quick count yang memenangkan masing-masing Pasangan Calon (Paslon),
klaim kemenangan diantara kedua belah pihak, pengunduran diri Paslon
Prabowo-Hatta pada proses akhir penghitungan suara, hingga ketidakpuasan akan
hasil real count yang dikeluarkan KPU
sebagai lembaga penyelenggara Pemilu, berujung gugatan melalui jalur
konstitusional.
Dua jalur gugatan Paslon
Prabowo-Hatta yang dilayangkan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
terkait etika para pengelenggara Pemilu dan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait proses,
pelanggaran, hingga selisih perhitungan telah berbuah putusan. DKPP dalam amar
putusannya menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran berat yang dilakukan oleh KPU
Pusat sebagai penyelenggara Pilpres. Sedangkan MK memutuskan menolak gugatan,
karena tidak ditemukan bentuk pelanggaran bersifat Terstruktur, Sistematis dan
Masif (TSM) yang dilakukan Paslon tergugat Jokowi-JK, sehingga tidak ada dalil untuk
melakukan Pemilu ulang atau menggugurkan Paslon Jokowi-JK.
Bagaimanapun jalur konstitusional
sudah ditempuh Paslon Prabowo-Hatta, yang hasil putusannya justru menguatkan kemenangan
Paslon Jokowi-JK. Namun demikian hasil konstitusional tetap tidak memuaskan
Paslon penggugat, yang pada akhirnya melahirkan ketidakpercayaan kepada para
penjaga konstitusi. Padahal bagaimanapun keputusan MK merupakan keputusan
tertinggi dan sifatnya sakral, yang apapun hasilnya harus dihormati dan
dijunjung tinggi. Karena mau tidak mau, suka tidak suka, MK merupakan produk
demokrasi berupa lembaga yang harus kita jaga kehormatannya.
Proses suksesi kepemimpinan dimanapun
dan dalam level apapun tentunya melahirkan tiga jenis respon, yaitu: suka,
tidak suka dan suka-suka. Begitu juga dalam proses Pilpres yang memenangkan
Paslon Jokowi-JK. Mereka yang suka adalah para pendukung, pemilih dan pengharap
sosok jokowi dengan segala atribusinya menjadi pemimpin Indonesia. Mereka yang
tidak suka adalah pemilih Pason lain, atau memiliki pandangan berbeda terhadap figur
Jokowi. Sedangkan mereka yang suka-suka adalah pihak-pihak yang tidak
terpengaruh, penggembira, layaknya disebut sebagai mereka yang apatis karena
menilai ada atau tidak ada presiden tidak membawa pengaruh. Mereka yang
suka-suka adalah mereka yang paling banyak di Indonesia, sebagai dampak dari ‘ketidakhadiran’
pemerintah selama ini dalam aspek keadilan pembangunan.
Jokowi-JK secara sah dan
konstitusional terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, tentunya
menjadi pemimpin atas mereka yang suka, tidak suka dan suka-suka. Menjadi
Presiden Indonesia tentunya menjadi pemimpin atas semua golongan, dan semua
kalangan, serta wajib menghapus dikotomi yang selama ini berlangsung yakni memilih
mendahulukan kesejahteraan pendukung dan mengabaikan lawan.
Tugas Jokowi-JK selepas dilantik
adalah menjadi pelayan, berkhidmat dan mewakafkan hidupnya untuk masyarakat
Indonesia. Bagi mereka yang berharap, tugas Jokowi adalah mewujudukan agar segala
harapan masyarakat terwujud. Bagi mereka yang tidak suka, tugas Jokowi adalah merangkul,
menjawab keraguan dengan kerja keras dan membalikan keadaan agar tumbuh kepercayaan,
jika ia memang mampu memikul amanah rakyat. Bagi yang suka-suka, tugas Jokowi adalah
mensejahterakan mereka dengan segala program pemerintah yang menyentuh sendi
kehidupan mereka, sehingga menjadikan mereka berbalik keadaan untuk turut berpartisipasi
dalam pembangunan.
Tugas masyarakat adalah menjaga
marwah negara dengan menjaga wibawa Jokowi sebagai Presiden Indonesia dihadapan
bangsa lain. Bagimanapun mau tidak mau, suka atau tidak suka Jokowi adalah
presiden kita. Kita wajib bangga, wajib mendukung dan berpartisipasi dalam
pembangunan. Tidak elok jika kita berbicara kedaulatan negara, dilain pihak ada
anak bangsa yang begitu gandrung menjelekkan
pemimpinnya dengan menyerang dan membunuh karakter dalam aneka media sosial
yang bisa dikases publik lokal bahkan global,yang tidak ada kaitannya dengan kinerja.
Melainkan berdasarkan praduga, sangkaan dan kebencian akibat kekalahan
kontestasi Pilpres. Sudah selayaknya kita tutup buku lama, kemudian buka
lembaran baru, bahu membahu dan turut serta membangun bangsa. Jika Orang
Inggris memiliki motto “Right or wrong England
is my country”, sebagai wujud bangga, cinta dan sayang akan negaranya,
kenapa kita tidak. Kenapa kita sebagai warga negara lebih senang menelanjangi pemimpin
bangsa hanya karena alasasan tidak suka, walaupun kontestasi kepemimpinan sudah
melewati proses yang konstitusional.
Sebagai warga negara yang beradab,
kita wajib menghormati proses dan hasil demokrasi konstitusional dengan segala
produknya. Siapapun kita wajib mendukung Jokowi tanpa syarat. Kritik
kinerjanya, namun tetap berusaha keras menjaga marwahnya yang tentunya marwah
bangsa.***