“…Kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengembalikan
Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat dan teluk adalah masa
depan peradaban kita. Kita telah lama memunggungi laut, samudra dan teluk… Kini
saatnya Indonesia mengembalikan semuanya sehingga Jalesveva Jayamahe (di laut
kita jaya) semboyan nenek moyang agar kembali membahana”.
Kutipan pidato diatas sementara
menunjukkan konsistensi Jokowi mulai dari penyampaian visi dan misi saat
kampanye hingga pelantikannya selalu mengulang tujuan mewujudkan kedaulatan
maritim disamping juga mewujudkan kedaulatan pangan. Jika dibandingkan dengan
presiden pendahulunya, Jokowi tidak ikut mainstream
menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai visi utamanya, melainkan
menekankan pada kedaulatan pangan dan maritim. Visi Jokowi merujuk pada kajian
kemajuan suatu negara yang menyatakan bahwa kelak yang menjadi bangsa besar adalah
para penguasa teknologi dan pangan. Sesungguhnya Indonesia memenuhi syarat untuk
menjadi bangsa besar karena memiliki tradisi agraris dan maritim yang mendarah
daging. Luas daratan dan lautan begitu membanggakan, namun sejenak kita terlupa
mengejar nafsu menjadi negara industri padahal banyak negara yang mampu berubah
menjadi negara maju karena kemajuan sektor pertaniannya, sebut saja China,
Jerman, Australia dan New Zealand.
Mengapa menguasai pangan dan
maritim begitu penting? Karena pangan adalah sumber makanan penentu kelanjutan kehidupan.
Ketika ketersediaan pangan menjadi langka, maka rakyat bisa bertindak anarkis
dan menurunkan rezim pemerintahan yang berkuasa sebagaimana di Mesir dan
Aljazair. Tidak akan ada keberlanjutan kehidupan tanpa ada pangan, begitupun
hasil maritim menjadi salah satu sumber makanan dibalik sumber daya alam lain
yang melingkupinya. Namun yang menjadi permasalahan, dibalik luasnya daratan
Indonesia, justru semakin terhimpitnya lahan-lahan sumber pangan akibat
perubahan peruntukan menjadi kawasan industri, pemukiman, pertambangan, akibat
tidak adanya proteksi terhadap alih fungsi lahan sumber pangan.
Mengutip kajian Syahrir Ika yang
berjudul Kedaulatan Pangan dan Kecukupan Pangan, bahwa fakta yang ada saat ini
areal sawah di Indonesia tidak seluas dibandingkan dengan negara lain, yaitu
hanya 8 juta ha, kalah dengan Thailand yang memiliki areal sawah sekitar 9 juta
ha. Rata-rata petani di Indonesia hanya menguasai 0,3 ha sawah perkepala, kalah
dari Thailand yang menguasai sekitar 3 ha sawah perkepala. Bila dibandingkan dengan
jumlah penduduk, luas lahan sawah yang dimiliki Indonesia seluas yang dimiliki
Vietnam, padahal penduduk Vietnam hanya sebanyak 78 juta orang atau 32,5% dari
penduduk Indonesia. Begitu juga dengan Thailand yang memiliki lahan sawah
sekitar 9 juta ha, tetapi penduduknya hanya 80 juta orang atau 33% dari
penduduk Indonesia. Australia lebih fenomenal lagi karena memiliki lahan 50
juta ha, sedangkan jumlah penduduknya hanya 19 juta atau sekitar 8%.
Begituhalnya dengan maritim, ada
penambahan luas daratan untuk indsutri maupun pemukiman, penambangan pasir, mineral,
dan sumber daya alam lain maupun bencana abrasi, tentunya merubah ekologi, batas
maritim yang berdampak pada kian berkurangnya pendayagunakan sumber daya
kelautan dalam membangun perekonomian nasional. Disisi lain kelemahan
infrastruktur pengawas maritim, berdampak pada pemberdayaan sumberdaya maritim
oleh bangsa lain. Poros maritim Indonesia-pun belum dimanfaatkan secara optimal, karena pemerintah
lebih memprioritaskan mobilitas darat dan udara, padahal laut Indonesia menjadi
lintasan strategis dunia yang potensial menjadi sumber devisa dalam mendukung
pembangunan nasional.
Aspek vital lain adalah terkait
sumber daya manusia penentu keberhasilan daulat pangan dan maritim. Sudah kita
ketahui bersama jika petani dan nelayan adalah dua profesi identik dengan
kemiskinan. Dari zaman dulu petani dan nelayan tidak pernah naik derajat menjadi
kelas menengah atau kaya. Dampaknya banyak generasi muda yang atas dasar harapan
merubah nasib dan gengsi enggan menjadi petani dan nelayan. Apa yang akan terjadi jika generasi muda
enggan dan bahkan menanggalkan profesi petani dan nelayan? Sudah pasti impor
pangan Indonesia akan semakin besar, karena dua hal pokok yakni krisis lahan
dan krisis sumber daya pengelola belum teratasi.
Menyikapi permasalahan diatas,
pemerintah Jokowi wajib merubah mind set
anak muda, jika profesi petani dan nelayan merupakan pekerjaan yang menjanjikan
dimasa mendatang. Hal tersebut bisa diperkuat dengan penekanan pada penyelenggaraan
sekolah pertanian dan kelautan di wilayah-wilayah potensi pangan dan maritim,
memperkuat riset sehingga produk pangan dan laut bermutu dan bervariasi,
memproteksi pasar,memberikan subsidi, memberi rangsangaan dengan penghargaan
bagi inovator-inovator pangan dan maritim.
Sesungguhnya kedaulatan pangan
bisa dimulai dari pekarangan rumah dan bibir pantai. Kenapa tidak kita tanami
kembali pekarangan dengan aneka pangan, agar bisa menekan komsumtifitas, karena
tidak perlu semua dibeli jika sudah tersedia di pekarangan, dan tak perlu
hawatir terjadi kelangkaan pangan, karena setiap rumah memiliki cadangan.
Begitupun menjaga pesisir pantai dari kerusakan sebenarnya merupakan tahap awal
dari upaya menjaga ekologi pantai agar jumlah tangkapan ikan tetap terjaga
kualitas dan kuantitasnya, selain juga tidak berubahnya luas daratan Indonesia.
Mari kita kawal dan dukung
Program Presiden Jokowi dalam membangun agribisnis kerakyatan, mengurangi impor
pangan, reformasi agraria, penanggulangan kemiskinan petani, regenerasi petani
dan nelayan, serta mewujudkan koneksi antar pulau melalui tol laut, agar terjadinya
pemerataan pembangunan di Indonesia.
sehingga daulat pangan dan maritim bisa kita raih dalam 5 (lima) tahun
mendatang. ***