Sengaja dalam tulisan kali ini
saya kisahkan tentang 3 (tiga) ujian kehidupan yang sedang dihadapi orang
terdekat, minimal dari tulisan ini tertutur rasa syukur atas nikmat yang Allah
anugerahkan, baik nikmat kesehatan, pekerjaan dan terbentang luasnya pintu
untuk terus berbuat baik.
Dua hari lalu datang seorang ibu
ke ruangan kerja kami, beliau menemui atasan saya untuk mengisahkan masalah
yang dihadapi. Ibu tersebut bercerita jika ia sedang membutuhkan biaya Rp.800
ribu untuk menyelesaikan administrasi ‘tunggakan’ sekolah anaknya yang duduk di
kelas 3 SD sederajat pada sebuah pesantren. Jika urusan administrasi tersebut
tidak diselesaikan, maka anaknya tidak bisa pulang saat liburan. Ibu tersebut
berjanji jika dipinjami akan mencicil pembayaran uang yang Rp.800 ribu tersebut
kepada kami.
Pada mulanya saya dan pimpinan
agak bingung menanggapi cerita sang Ibu, karena mimik yang anggun, tata bahasa
dan gesture menunjukkan orang
terdidik, memang Ibu tersebut mengenakan pakaian sederhana walau tidak tampak
aura ‘orang susah’. Sepertinya beliau menangkap wajah bingung kami kemudian
bersambung cerita, jika ia sudah bercerai dengan suaminya karena faktor
keyakinan, Ibu tersebut mengaku menikah dengan ‘orang seberang’ dimana pada
saat menikah dengan tata cara Islam, namun dalam perjalannya sang suami pindah
kembali ke Agama semula, dan si Ibu teguh berkeyakinan lebih baik bercerai jika
mengikuti keyakinan suaminya. Hingga saat ini memiliki anak 3 orang anak, yang
tertua ikut si Ibu namun belum mandiri, anak kedua Ikut suami dan telah di
baptis, dan anak ketiga yang diceritakan diatas “diselamatkan” si Ibu sehingga dari
dini dimasukan kedalam pesantren. Kekhawatiran sang Ibu, jika urusan
administrasi sekolah tidak bisa ia selesaikan, hawatir dijadikan alibi mantan
suami untuk mengambil hak asuh anak ke-3, sebagaimana yang terjadi pada anak
ke-2.
Namun demikian masalah yang
dihadapi Sang Ibu kian kompleks, ketika kondisi ekonomi limbung karena memang
sedari awal beliau berstatus Ibu Rumah Tangga (IRT) yang kesemuanya dinafkahi
suami, sejak bercerai beliau menanggung semua beban ekonomi keluarga,
dihadapkan pada biaya sehari-hari yang tak menentu, biaya sekolah anak, dan
juga sewa tempat tinggal.
Sebelum ke kantor kami, beliau
juga bercerita begitu sulitnya mendapatkan surat keterangan miskin dari RT/RW
dan kelurahan walaupun pada akhirnya bisa beliau dapatkan, entah mungkin karena
faktor tidak percaya jika Ibu tersebut sedang jatuh miskin. Pada akhirnya
tempat kerja kami berupaya membantu dengan membukakan akses agar mendapatkan
biaya mengatasi urusan administrasi sekolah anaknya, membukakan akses pelatihan
wirausaha Ibu tersebut dan akses lanjutan pendidikan jika pada akhirnya anaknya
putus sekolah.
Lain kisah, dua pekan lalu,
tetangga menelepon menanyakan apakah rumah kami dikontrakan atau tidak? Sudah berjalan
tiga tahun rumah yang kami tinggali di kontrakan dan memang saat tetangga
tersebut menelpon dalam kondisi kosong. Saya sampaikan dikontrakan dan tetangga
tersebut bilang siang ini mau mengisi kontrakan namun baru bisa membayar di
akhir bulan. Lalu saya bertanya memang rumah yang ia tempati kenapa sehingga
mau mengontrak di tempat saya? Singkat cerita tetangga tersebut bilang bahwa
rumah yang ia tempati akan dijual kakaknya karena urusan piutang, sehingga ia
harus segera keluar dari rumah tersebut.
Saat istirahat kantor saya pulang
dan berniat memberikan kunci, secara kebetulan tetangga yang ingin mengontrak
rumah sedang beradu mulut dengan kakaknya dan di rumah yangia tempati telah
tertulis dengan pilox“ Rumah ini Dijual cepat Hubungi nomor…” Tak lama
berselang TV yang ada di rumah tetangga diambil kakaknya, sampai terdengar
suara istrinya menangis meraung-raung hingga terdengar warga sekitar.
Setelah kakaknya pulang, tak lama
tetangga tersebut menghampiri rumah kami dan menanyakan kembali apakah bisa
mengambi kunci kontrakan untuk segera ia
isi, sambil bercerita jika saat ini sedang berada dalam titik nadir hidup,
terlibat piutang secara tidak langsung dengan kakaknya dimana ia menjadi
perantara seseorang untuk berbisnis dengan modal dari kakaknya namun dalam
perjalanan waktu, keseluruh modal dibawa kabur seseorang yang hingga kini tidak
diketahui keberadaannya, yang pada akhirnya untuk jaminan, kakaknya menyita
dengan menjual rumah dan barang berharga yang ia miliki. Saya menjawab mohon
waktu untuk membicarakan dengan istri terlebih dahulu.
Disatu sisi saya sedang
membutuhkan biaya untuk pembayaran SPP kuliah istri yang jumlahnya tidak
sedikit, dilain pihak saya agak hawatir dengan prospek tetangga yang akan
mengontrak rumah karena dalam kondisi terlilit hutang. Secara kebetulan diwaktu
yang bersamaan sudah ada pihak lain yang siap mengontrak rumah untuk kurun
waktu satu tahun langsung dibayar kontan, jika dinominalkan sangat membantu
menambah biaya SPP kuliah istri. Namun hati kecil saya tetap bicara lantang
jika saya harus membantu mereka yang sedang jatuh, untuk tidak komersil, untuk
menguatkan mereka yang sedang tidak berdaya. Ditambah keyakinan istri jika kita
menolong orang yang butuh, Allah akan menolong kita dari jalan yang tidak terduga.
Batin sayapun teriak bagaimana jika posisi dibalik saya yang membutuhkan
kontrakan dan tidak ada yang membantu. Pada akhirnya saya putuskan Bismilllah lalu
menyerahkan kunci rumah ke tetangga, silahkan dissi, dirawat dan dijaga
sebagaimana rumah sendiri, urusan bayar kontrakan telat-pun tak masalah, yang
penting ada bahasa.
Cerita terakhir tentang ujian
kehidupan rekan kantor yang sedang menghadapi kondisi kesehatan istrinya. Enam
bulan lalu, Sang Istri terkena stroke
dan sebelah badan tidak bisa digerakan, singkat cerita dalam kondisi yang lemah
hasil general check up menunjukkan
disamping stroke ada dua penyakit
gawat lain yang sudah akut, diantaranya kanker pada rahim yang sudah stadium
akhir dan juga pencernaan yang tidak sempurna. Usia sang Istri 50 tahun,
mungkin bisa disebut masa emas ketika giat mengabdikan diri sebagai guru.
Lirih rekan kantor menceritakan bahwa babak
hidupnya sudah habis harapan, sudah tidak ada mimpi, yang ada hanya menjalani
proses. Beliau bertutur jika harta hasil jerih payah berupa tanah dan rumah
sudah dijual untuk pengobatan istri yang tergolek lemah untuk proses operasi
dan kemotrapi. Dilain pihak secara jujur beliau bercerita jika pengobatan yang dijalani
pada dasarnya bukan untuk kesembuhan, hanya menjaga harapan hidup, beda hal
jika pengobatan untuk kesembuhan, karena beliau sadar hanya mujizat yang Maha Kuasalah yang bisa menyembuhkan. Dilain
pihak tuntutan pekerjaan harus tetap terlaksana, menguliahkan kedua anak juga
tetap harus berjalan. Harapan beliau adalah agar ia tetap sehat tetap bisa
merawat dan menjaga istri, walaupun irama idealnya rumah tangga sudah buyar,
tidak ada minum dan makan yang terhidang, tidak ada yang mencucikan dan
menyetrikakan baju dan segala hal ihwal rumah tangga lainnya. Diakhir kisah
saya hanya bisa mendoakan agar beliau tegar dan senantiasa dianugerahkan
kesehatan.
Inilah hidup, kita tidak pernah
tahu kapan diatas dan kapan dibawah. Dalam benak saya semua akan dipergilirkan
dan akan diuji, mungkin saat ini Sang Ibu, tetangga dan rekan kantor yang
sedang dalam titik nadir, mulai dari ujian menjaga keyakinan, kehormatan,
piutang hingga kesehatan. Mungkin esok lusa kita yang akan diuji dengan topik
berbeda.
Namun pertanyaannya lantas siapa
yang akan menolong kita, jika saat ini kita diberikan peluang dan kesempatan
menolong lantas acuh, abai, komersial dan kehilangan rasa empati. Betapa pedih
jika objeknya adalah kita, lantas betapa perihnya jika tidak ada seorangpun yang
membantu. Prinsip saya saat ini adalah berupaya membantu dengan apa yang kita
mampu, jika yang kita punya adalah akses, maka bukakanlah akses, jika dana dan
kita mampu maka berikan, jika fasilitas, maka gunakan, namun dalam konteks
memberdayakan. Hal yang jangan sampai terjadi adalah sebagaimana bahasa
Al-Quran kita melihat, mendengar namun mata hati kita sudah tertutup, sehingga
penderitaan orang lain kita abaikan.
Saya senantiasa ingat prinsip
kenabian, dimana Rasulullah meneladani umatnya dengan “Menjadi pemimpin utama,
juga anggota utama”, hal ini sudah saya ulas dalam tautan ini: http://www.rahmatullah.net/2011/11/pemimpin-utama-juga-anggota-utama.html. Konsep
nabi adalah suritauladan, Beliau katakan apa yang beliau lakukan. Hal yang
selalu beliau ajarkan adalah tentang prinsip hidup empati, beliau selalu
mengajarkan kesederhanaan, kesahajaan, menyesuaikan dengan kondisi kaumnya. Rasulullah
kaya, teramat mampu secara ekonomi namun dalam sejarah hidupnya tidak pernah
sekalipun menonjoklkan bahkan memerkan harta yang iamiliki,
karena risalah dan pesan beliau hingga meninggalnya adalah tentang kesederhanaan
dan empati. Semoga kita tetap bisa menjadi penjaga amanah beliau yang
senantiasa ringan membantu mereka yang lemah dan sedang ditimpa musibah.***