Tiga hari dalam satu pekan
tepatnya Kamis, Jumat dan Sabtu, istri melakukan perjalanan panglaju dari
Kabupaten Pandeglang menuju Kota Depok, semuanya ditempuh dengan kendaraan
umum. Ceritanya menjadi berbeda sejak kenaikan BBM. Setidaknya 4 (empat) jenis
kendaraan harus disertai mulai dari bus AKAP dari Pandeglang menuju Serang (Bis
Asli/ Murni), lanjut Elf Samudera Perkasa (SP) dari Serang menuju Mal Taman
Anggrek, Lanjut Bus way menuju Stasiun Cawang, dan terakhir Commuter Line menuju
stasiun UI/ Pondok Cina.
Istri bilang rata-rata kenaikan
ongkos masih wajar rata-rata Rp.2000, hanya bis AKAP Pandeglang-Jakarta (lewat
Serang) yang memang tidak punya standar harga, ditarif tiap penumpang sekenanya
dan semaunya, kalau ada penumpang yang keliatan polos bisa ditembak ongkos Rp.
50.000, semua dalihnya kenaikan BBM. Sedangkan dua moda kendaraan umum yang
tarifnya tidak naik yaitu busway dan Commuter line.
Lain cerita ketika Commuter Line
(KRL) yang ditumpangi istri mogok dan tidak bisa berlanjut ke arah Stasiun Kota,
karena ada kereta yang anjlok. Semua penumpang panik dan harus mencari
alternatif menuju tujuan masing-masing. Tiba-tiba istri menjumpai seorang ibu
tua yang nyaris pingsan, selain karena keletihan juga shock setelah ditawari tukang
ojeg ongkos lanjut ke daerah stasiun Kota Rp 70.000, sama sekali tidak bisa
ditawar. Ibu tersebut lirih bercerita “Dek, uang darimana 70 ribu, kok tega
banget nentuin ongkos, kita naik kereta juga bukan karena kaya. Alesan tukang
ojeg kerana kenaikan BBM”. Lalu istri menginformasikan alternatif untuk naik busway
menuju daerah kota kepada Ibu tersebut.
Memang berat efek domino kenaikan
BBM, naiknya memang Rp.2000, tapi efeknya jika dilihat dari seluruh komoditas
yang dibutuhkan oleh satu rumah tangga bisa lebih dari 200 %.
Per-1 Januari 2015 pemerintah
memberikan hadiah tahun baru berupa ‘penurunan’ harga BBM dalam hal ini premium
dari Rp. 8.500, menjadi Rp.7.600, yang kemudian harganya ditetapkan fluktuatif
sesuai dengan harga minyak dunia. Namun demikian dampak penurunan tidak seheboh
pada saat ada kenaikan, nyaris tidak ada efek domino dari semua sektor publik.
Karena kami adalah masyarakat
pada umumnya yang merasakan dampak kenaikan dan tidak ada dampak penurunan harga
BBM. Hal yang beberapa hari menjadi obrolan saya dan istri adalah terkait
ongkos kendaraan umum yang tidak pernah turun. Berapa beratnya beban pengguna
kendaraan umum pada tahun 2014 lalu, diawali kenaikan tuslah pada saat lebaran
(tidak ada kejadian setelah lebaran ongkos turun sebagaimana semula), diakhir
tahun ongkos dinaikan sesuai dengan harga BBM. Dan kini ketika BBM turun Rp.
900 rupiah, tidak ada satupun moda angkutan umum yang menurunkan tarif.
Satu hal yang saya soroti adalah
terkait moralitas. Moralitas adalah akhlak, baik buruk, budi pekerti, kepatutan
dan kepantasan atau nilai batas sebagai penjaga. Pemerintah dengan segala kuasa
yang diemban, tentunya memiliki hak menaikan harga BBM dengan segala
pertimbangan, namun apakah pemerintah begitu paham efek domino dari sebuah
kenaikan harga BBM, ditengah ketidak beradayaan mereka dalam mengontrol pasar?.
Apalagi kemudian atas kesadaran
pemerintah yang lambat harga BBM kembali ‘diturunkan’.
Padahal apa yang terjadi pada
lapisan masyarakat terbawah, adalah bentuk penganiayaan karena digempur aneka
kenaikan harga kebutuhan pokok akibat tidak ada kontrol atas pasar yang hanya bisa
disikapi dengan kata pasrah. Dilain pihak pemerintah dengan jumawa mengatakan
bahwa sudah diantisipasi dengan aneka kartu BLSM yang dirubah nomenklaturnya
menjadi kartu KPS tanpa merubah substansi perubahan penerima yang tepat
sasaran. Justru perlindungan sosial yang tidak tepat sasaran menyebabkan makin
runcingnya konflik antar masyarakat akibat kecemburuan sosial antar warga.
Apa yang terjadi setelah penurunan
harga premium Rp.900 rupiah, bisa kita rasakan tidak ada dampak berarti, tidak
ada komoditas yang harganya turun, mana kuasa pemerintah atas pasar, atas
transportasi umum, tidak ada penurunan seramai kenaikan, semuanya nyaris tak
terdengar.
Moralitas berikutnya adalah miskinnya
rasa empati antar sesama. Kini antar masyarakat ‘saling memakan’ yang terlemah
menjadi bulan-bulanan. Sebagaimana cerita awal diatas ketika tukang ojeg
menembak penumpang dengan harga semaunya, keduanya orang kecil namun yang
membutuhkan yang menjadi ‘santapan’. Sebetulnya jika moralitas diatas segalanya
saya yakin ongkos kendaraan umum dan bahan kebutuhan pokok akan turun
sewajarnya. Kadang yang menjadi alasan adalah belum adanya keputusan lembaga
regulasi, begitu pahit ketika Organda mengatakan tarif kendaraan umum tidak
turun, asosiasi-asosiai pedagang juga tidak mengimbau atau menurunkan harga.
Jika memang lembaga atau organisasi tidak memiliki morlitas, maka
pribadi-pribadilah yang selayaknya menjadi penjaga moralitas.
Memang sulit jika kehendak dalam
hati adalah menghimpun keuntungan sebesar-besarnya, mau usaha kecil maupun besar ingin meraup
untung, maka tertutuplah kesempatan untuk membantu mereka yang lebih lemah.
Besar harapan jika moralitas menjadi penjaga, cari untung dengan wajar,
menaikan dan menurunkan harga dengan etis. Bagaimanapun bedanya kita dan setan
adalah hal yang ‘berlebihan’. Karena kita dianugerahkan batas mana yang wajar
dan kurang ajar. Semoga ditengah hiruk-pikuk dunia, tetap ada moral-moral
penjaga.***