Mungkin judul diatas patut
disangkakan pada situasi negara saat ini. Ibarat melihat oase dipadang pasir
kerongkongan kerontang yang diharapkan segera tertetesi air, hanya menemukan
lautan sahara yang semakin mencekik tenggorokan dan memupuskan harapan. Jokowi
pada mulanya adalah oase, puncak mimpi masyarakat dalam menemukan harap
pemimpin pembawa perubahan, yang tanpa batas dengan rakyat, mendengarkan dan
merasakan suasana hati rakyat, serta mampu menarik rakyat terbaik menjadi
pemimpin. Namun kini dalam masa kepemimpinan yang baru seumur jagung, sudah memupus
harapan para pemilihnya akibat dari segala kegaduhan yang dibuat, kegaduhan
yang tak perlu, melainkan sengaja diciptakan.
Setidaknya saat ini rakyat
diberikan beban untuk turut memikirkan 3 (tiga) kegaduhan yang diciptakan
Presiden Jokowi; Pertama, gaduh
akibat naik turun harga Bahan Bakar Minyak (BBM), Kedua, gaduh akibat pengajuan Kapolri, dan Ketiga, gaduh akibat pelantikan Dewan Pertimbangan Presiden
(Wantimpres). Gaduh yang muncul bukan karena tekanan oposisi, intervensi negara
lain atau pihak luar luar istana, melainkan gaduh yang diciptakan oleh
Presiden, para pembantu dan lingkarannya.
Naik Turun Harga BBM
18 November 2014 menjadi awal
kegaduhan Presiden Jokowi menaikan harga BBM dalam hal ini jenis Premium dari
Rp. 6.500 menjadi Rp.8.500, disaat negara lain justru menurunkan BBM sebagai
dampak penurunan harga secara global.
Tentunya kenaikan ini atas hasil kajian para menteri dan tim ekonomi Presiden,
atas dasar ketergesaan dan tanpa menghitung secara tepat dampak massif yang
ditimbulkannya. Objek penderitanya
adalah rakyat, secara matematis memang kenaikan hanya Rp.2000 rupiah, namun
jika dihitung dari kenaikan harga seluruh komoditas kebutuhan rumah tangga bisa
lebih dari 200%.
Betul jika pemerintah sudah
mengantisipasi dengan melakukan proteksi atau perlindungan bagi Rumah Tangga
Sangat Miskin (RTSM) dengan menerbitkan Kartu Perlindungan Sosial (KPS) sekedar
perubahan nama dari kartu BLSM, yang justru dengan adanya proteksi ini
menimbulkan kesibukan tak perlu di seluruh kantor Pos, seluruh kantor Dinas
Sosial se-Indonesia. Hal yang tidak diambil pelajaran dari pemerintahan
sebelumnya, selain Pilkada dan Pilpres, BLSM (saat ini KPS), ketiga hal itulah
penyebab utama konflik antar warga. Bahkan dalam pertemuan nasional kepala
Dinas Seluruh Indonesia dengan Menteri Sosial, diinstruksikan untuk melakukan
pendataan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) khusunya yang belum mendapatkan KPS, padahal lembaga
yang punya kewenangan dan kompetensi melakukan pendataan adalah Badan Pusat
Statistik (BPS) yang sudah memiliki agenda melakukan survey Basis Data
Terpadu Untuk Program Perlindungan Sosial (PPLS) di Tahun 2015. Terbayang
kisruh yang bisa terjadi jika terdapat multi data.
Lalu Per 1 Januari 2015 pemerintah
menurunkan harga BBM dalam hal ini Premium Rp.900 dari Rp. 8.500 menjadi Rp.
7.600 yang kemudian menetapkan harga fluktuatif sesuai dengan harga minyak
dunia dengan mengoreksi harga akhir setiap bulan. Lalu apakah jika BBM turun apakah harga
komoditas pokok megikuti? Rupanya pemerintah tidak punya kuasa ditengah
ketidakberdayaan mengontrol pasar yang kian liberal. Situasi kian sulit
ditengah kondisi masyarakat yang juga materialis sehingga makin luntur empati
dalam masyarakat.
Calon
Tunggal Kapolri
Entahlah apa latar yang menjadikan
Presiden mengajukan Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapori ditengah
banyaknya putra terbaik di Korps kepolisian. Terlebih sebelum turunnya
persetujuan DPR, KPK menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka, bukankah
hal ini kegaduhan yang dibuat-buat?. Andai saja Presiden Jokowi mau bersabar mengganti
Jendral Sutarman menjelang pensiun pasti ceritanya akan berbeda. Betapa
negarawannya Jendral Sutarman diberhentikan dari Jabatan yang masih bersisa 8
bulan, dimana calon penggantinya ditetapkan sebagai tersangka dan beliau tidak bersikap
reaktif.
Tidakkah Presiden Jokowi berkaca dari
kejadian sebelumnya jika tindakan keliru bisa memicu ketegangan antar lembaga
negara. Dan kini ketegangan antara KPK,dan Kepolisian ditambah DPR kian
memanas, sebagai dampak dari sikap Presiden. Berkaca dari kejadian Cicak dan
Buaya, yang menguras energi seluruh pihak dan sangat sulit menyelesaikan
sengkarutnya, dan kini api yang sudah padam kembali dinyalakan oleh Presiden,
bukan oleh pihak luar istana. Kembali pada pertanyaan semula, apakah Pak
Presiden tidak membaca situasi sebelum mengambil keputusan, dan apa kerja para
ahli yang ada di belakang beliau.
Penetapan
Wantimpres
Kegaduhan terakhir adalah terkait
penetapan Wantimpres, terjadi kemunduran kualitas tokoh dibanding Wantimpres
era presiden SBY. Entah kompetensi apa
yang Presiden lihat, jika bukan akomodasi terhadap partai politik pengusung, hal
apakah yang menutup mata Presiden Jokowi sehingga tak mampu melihat putra-putri
terbaik bangsa yang lebih tepat menjadi Wantimpres. Bersyukur ketika mendengar Buya
Syafii Maarif menolak menjadi Wantimpres, terbayang beban beliau jika berada
dalam lingkaran tersebut. Jika berkaca pada kompetensi, saya hanya melihat 3
tokoh yang potensial memberikan pertimbangan yang baik bagi Presiden yaitu
Prof. Abdul Malik Fajar, KH. Hasyim Muzadi dan Sri Adiningsing. Bukankah sebuah
kegaduhan, ketika salah seorang Wantimpres terindikasi pernah menjadi bos judi,
kegaduhan yang sengaja diciptakan Presiden Jokowi.