Diberdayakan oleh Blogger.

Archive for 01/03/15 - 01/04/15

Pembangunan Minus Perubahan Perilaku


posted by rahmatullah on

No comments



Jika kita lihat, apa yang sesungguhnya tidak dibangun oleh negara dan berapa biaya yang dikeluarkan setiap tahunnya. Tentunya ratusan hingga ribuan triliun yang dikeluarkan untuk anggaran infrastruktur dan setiap tahun digenjot dan ditingkatkan segala percepatan pembangunan Infrastruktur.

Lantas apa yang kemudian terjadi, apakah pembangunan berdampak signifikan terhadap kemajuan bangsa, tentu ada dampaknya, tentu ada perubahan, namun signifikansi rasanya tidak terlalu, yang ada adalah pembangunan dan pemerliharaan infrastruktur menjadi proyek abadi. Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur apa yang lantas tidak menjadi proyek abadi, lantas Menjadi ladang-ladang korupsi. Hal ini terjadi karena orientasi perencana dan pengeksekusi program adalah agar anggaran terus mengalir, pekerjaan yang itu-itu saja tetap berjalan, sehingga triliunan rupiah setiap tahun habis jika tidak untuk membangun, maka merenovasi, bukan orientasinya menjaga atau merawat apa yang sudah dimiliki.

Salah satu kesalahan fatal dalam mendefinisikan pembangunan yakni memandang bahwa pembangunan adalah infrastruktur yang identik dengan jalan, jembatan, gedung, dan segala jenis ‘bangunan’ lainnya. Padahal menurut Prof. Tandzilu Ndraha pembangunan meliputi anatomik (bentuk/ infrastruktur), fisiologik (fase/tahapan), dan behavioral (perilaku). Namun yang justru diabaikan adalah pembangunan behavior atau perilaku masyarakatnya. Wajar jika pemerintah menggelontorkan dana ratusan hingga ribuan triliun setiap tahunnya untuk pembangunan infrastruktur, lalu kembali menjadi siklus tahunan yang hampir minim dampak karena tidak turut dibangun perilaku masyarakatnya. Maka tidak heran jika setiap tahun dibangun sekolah dan setiap tahun juga roboh, setiap tahun jalan diperbaiki namun setiap tahun juga rusak, karena orientasinya adalah proyek abadi, proyek abal-abal tanpa merubah perilaku aparat dan masyarakatnya.

Sesungguhnya jika kita ingin beranjak menjadi negara maju, adalah dengan melihat negara yang berperadaban lebih baik, bukan melihat infrastrukturnya tapi melihat bagaimana perilaku warga negaranya. Jika kita mempelajari transformasi singapura, jepang, malaysia, dan Korea Selatan yang titik nol kemerdekaan dan hantaman krisisnya berbarengan dengan Indonesia namun kemajuannya kini berbeda karena perbedaan pendekatan pembangunannya. Jika pendekatan awal Indonesia berorientasi infrastruktur, sedangkan pendekatan negara berperadaban maju ditekankan pada perubahan mentalitas, sikap, semangat berprestasi, dan rela berkorban. Bukankah Pendiri Singapura Lee Kuan Yew merombak singapura dengan tangan besi, dengan merubah mental warga dan aparat yang pada mulanya bobrok, malas, menjadi bangsa yang paling maju di Asia padahal minus sumber daya alam. Sesungguhnya pembangunan infrastruktur itu akan mengikuti jika perubahan perilakunya sudah berhasil. Karena bedanya negara maju dan berkembang adalah jika negara berkembang semangatnya membangun, sedangkan negara maju semangatnya merawat apa yang sudah dimiliki.

Maka jangan heran jika di negara kita, seberapa banyak-pun tong sampah dibangun dipinggir jalan maka tidak akan menjamin sampah akan berkurang atau tertata dalam tong. Yang ada dalam satu pekan tong sampah hilang dan sampah tetap berserakan, begitupula jangan harap pemerintah membangun drainase atau selokan akan melancarkan aliran air, malah justru akan dipenuhi sampah dan eceng gondok. Jika kita lihat berita berapakali pengelola jembatan suramadu mengganti baut, sling dan kelengkapan lain yang dicuri warga, berapa banyak baterai BTS yang hilang, seberapa banyak kendaraan operasional kantor pemerintah mangkrak, karena jawabannya satu bangsa ini tidak pernah serius merubah perilaku warga negaranya, semangatnya bukan merawat, tapi meruwat.***

CSR Itu Aksi Bukan Teori


posted by rahmatullah

No comments



Bedanya pengamat dan praktisi adalah persoalan rasa. Jika pengamat cenderung bicara berdasarkan isi buku dan teori minus pengalaman, sehingga terkadang solusi atas persoalan yang dikonsultasikan tidak implementatif. Beda halnya dengan praktisi, apa yang diungkapkan adalah apa yang dirasa, minim teori namun pada umumnya tepat guna. 

Saya mengalami dua fase tersebut saat menekuni dunia CSR, yakni saat menjadi pengamat dan saat menjadi praktisi. Saat menjadi pengamat hanya merujuk ilmu di perkuliahan ditambah referensi buku, saya mengalami masa bicara berbuih mengutarakan aneka konsep dan teori CSR yang rupanya hal tersebut tidak meyakinkan pihak lain karena berbicara minus pengalaman. Menyadari kondisi tersebut, rupanya pengalaman berperan penting ketika saya bekerja sebagai CSR asisstant pada perusahaan multinasional Palm Oil di Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan. Mengelola CSR dari titik nol yakni kondisi pembukaan lahan (land development). Para pekerja CSR menyepakati bahwa pekerjaan terberat mengelola CSR dalam perusahaan apapun adalah fase land development, karena pada fase itulah perusahaan membuka lahan, belum ada kantor, belum ada tempat tinggal, persentuhan awal dengan masyarakat sekitar, pemetaan awal kewilayahan, pemetaan potensi maupun masalah beserta konflik. Tantangan lainnya adalah minimnya dana, karena perusahaan menyadari bahwa fase land development adalah fase menanam (investasi) dan belum menuai keuntungan, sehingga anggaran CSR sangat minim, kondisi tersebut menantang saya untuk bekerja kreatif dan inovatif membuat program minim anggaran.

Saya bersyukur mengalami fase ‘cadas’ tersebut, karena persoalan yang menumpuk justru menguji ketahanan dan kemampuan kita. Aneka pengalaman saya rasakan mulai ancaman akan di bunuh preman kampung, saat harus menyelesaikan masalah karayawan kumpul kebo, saat kendaraan operasional kantor dan kontraktor disandra, saat jalan di blokir, saat menghadapi demo warga dan aneka persoalan lain yang harus diurai satu persatu. Disisi lain persoalan batin mendera, ketika berada jauh dari keluarga.

Hal yang menarik adalah rupanya tidak semua teori yang kita pelajari di bangku kuliah dan buku bisa diimplementasikan di lapangan, hal yang menentukan adalah improvisasi kita saat melihat mana yang cocok dan mana yang perlu disesuaikan. Pengalaman lapangan itulah justru yang memperkaya rasa dalam melihat suaru persoalan, sehingga saat ada yang membutuhkan solusi, pengalaman yang kita alami dan konsep yang kita ketahuilah yang menuntun kita menemukan jawaban.

Kolaborasi pengamat dan praktisi sengaja saya tuangkan dalam buku “Panduan Praktis Pengelolaan CSR”,  di buku itulah saya padukan antara konsep dan praktik lapangan, bagaimana melakukan tahapan pemberdayaan, bagaimana membuat code of conduct, bagaimana melaksanakan CSR internal dan eksternal, bagaimana membangun basis data dan sebagainya.

Berikutnya setelah pensiun di lapangan mengelola CSR, rasa haus akan pengetahuan saya perdalam kembali di bangku kuliah, sengaja linearitas akademik keilmuan CSR saya perdalam untuk memahami CSR secara makro, saya kaji tentang relasi pengelolaan CSR antara pemerintah daerah, perusahaan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) saya petakan masing-masing peran pemangku kepentingan, mana yang pragmatis, mana yang sungguh-sungguh mana yang memberikan dampak dan mana yang tidak. Pengalaman tersebut saya tuliskan kembali dalam buku “Best Praktis Kemitraan CSR Antara Pemerintah, Perusahaan dan LSM”.

Mengapa saya tuliskan dalam buku, karena pengalaman harus dicatat dan dijadikan sebagai rujukan. Satu  hal yang menyemangati saya untuk menulis buku maupun dalam website karena kewajiban manusia adalah untuk berbagi ilmu yang diamanahkan, untuk apa titipan Illahi kita simpan rapat karena ilmu yang dibagikan tidak akan habis, dan ilmu tidak melulu ditakar dengan materi.***
 Potret Kemiskinan Warga Setempat, Foto yang saya unduh ini rupanya banyak dijadikan rujukan tentang potret kemiskinan (namun mengunduh tanpa menyertakan rujukan)
Salah satu rumah guru yang perlu mendapatkan sentuhan dan perhatian
 
Pengajar di SD ini hanyalah lulusan paket C, kerelaan mereka mengajar menggugah saya untuk turut mengajar di Hari Sabtu, minimal membuat anak-anak memiliki semangat untuk melanjutkan sekolah.

 Proses evakuasi karyawan dan warga yang terkena banjir
 Proese pengenalan budaya dan kerajinan, pengolahan kayu ulin menjadi sirap (genting), kayu ulin bisa berumur puluhan tahun, semakin terkena air semakin kuat. Kayu ulin kian langka karena baru bisa ditebang jika sudah berumur pulihan tahun. Disisi lain miskin pembudidayaan,
 Menghadiri pernikahwan warga, menggunakan adat banjar
 Salah satu tantangan menyelesaikan blokade jalan oleh warga, perlu pendekatan halus dalam mengatasi persoalan ini karena perusahaan harus mengakhui berkontribusi pada kerusakan jalan
 Upaca Usir Hantu, adat ini dilaksanakan warga saat akan mengisi rumah, hal ini dilakukan saat akan peresmian long house (tempat tinggal karyawan)
 Dimanapun bisa menyelasaikan persoalan, termasuk di jalan, tanpa kertas tanahpun jadi
 Salahaa satu kebahagiaan saya saat mengelola CSR adalah melaksanakan CSR internal dengan mendirikan Tempat Penitipan Anak (TPA) khusus bagi karyawan
 Anak-anak saat bermain di TPA dengan fasilitas yang masih alakadarnya
 Pembangunan jembatan dengan konstruksi Kayu Ulin
 Familiarisasi dilakukan dengan mengadakan lomba catur antara karyawan ekspatriat dengan warga dan karyawan
 Berpose bersama Paman Adung, pembekal (Kepala Desa) setempat
 Salah satu yang menarik walaupun di pedalaman kalimantan, tapi baju pernikahan ala barat
 Membangun Sinergi Bersama Camat
 Membangun Sinergi Bersama Muspika
Mengajar Sesi Inspirasi

Berbagi Ilmu CSR


posted by rahmatullah on

No comments



Saya menyengajakan diri  kurang lebih 8 (delapan) tahun fokus dan memperdalam mengenai keilmuan CSR, dan Alhamdulillah ilmu yang diamanahkan bisa membantu berbagai pihak dalam memperkaya pemikiran, memberikan gagasan dan menyelesaikan persoalan terkait CSR.

Pengenalan saya ke dunia CSR, tidak serta merta melainkan pentahapan pembelajaran panjang, mulai dari penelitian skripsi saat kuliah di Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Unpad mengenai pengelolaan Communitiy Development (CD) di PT. Indonesia Power UBP Saguling, bekerja sebagai CSR Assistant pada perusahaan multinasional di Kalimantan Selatan, hingga mendapatkan beasiswa S2 dari Building Profesional Sosial Worker (BPSW) pada Pascasarjana Ilmu Kesejehteraan Sosial UI, kembali fokus penelitian mengenai Pola Kemitraan CSR antara Pemerintah Daerah dengan Perusahaan. 

Fokus adalah kunci dan dalam disiplin CSR saya tidak menguasai secara general, melainkan memperdalam pada aspek: regulasi CSR, kemitraan CSR, praktik CSR, tata kelola CSR, hingga. Kesemua aspek tersebut saya rangkum dalam dua buah buku yakni “Panduan Praktis Pengelolaan CSR, dan Best Practice Kemitraan CSR Antara Pemerintah, Perusahaan dan LSM” Kedua buku tersebut diterbitkan oleh CV. Samudera Biru.

 Semoga terus bisa berbagi…***







Sketsa