Jika kita lihat, apa yang
sesungguhnya tidak dibangun oleh negara dan berapa biaya yang dikeluarkan
setiap tahunnya. Tentunya ratusan hingga ribuan triliun yang dikeluarkan untuk
anggaran infrastruktur dan setiap tahun digenjot dan ditingkatkan segala percepatan
pembangunan Infrastruktur.
Lantas apa yang kemudian terjadi,
apakah pembangunan berdampak signifikan terhadap kemajuan bangsa, tentu ada
dampaknya, tentu ada perubahan, namun signifikansi rasanya tidak terlalu, yang
ada adalah pembangunan dan pemerliharaan infrastruktur menjadi proyek abadi.
Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur apa yang lantas tidak menjadi proyek
abadi, lantas Menjadi ladang-ladang korupsi. Hal ini terjadi karena orientasi
perencana dan pengeksekusi program adalah agar anggaran terus mengalir, pekerjaan
yang itu-itu saja tetap berjalan, sehingga triliunan rupiah setiap tahun habis jika
tidak untuk membangun, maka merenovasi, bukan orientasinya menjaga atau merawat
apa yang sudah dimiliki.
Salah satu kesalahan fatal dalam
mendefinisikan pembangunan yakni memandang bahwa pembangunan adalah
infrastruktur yang identik dengan jalan, jembatan, gedung, dan segala jenis ‘bangunan’
lainnya. Padahal menurut Prof. Tandzilu Ndraha pembangunan meliputi anatomik
(bentuk/ infrastruktur), fisiologik (fase/tahapan), dan behavioral (perilaku). Namun
yang justru diabaikan adalah pembangunan behavior atau perilaku masyarakatnya.
Wajar jika pemerintah menggelontorkan dana ratusan hingga ribuan triliun setiap
tahunnya untuk pembangunan infrastruktur, lalu kembali menjadi siklus tahunan
yang hampir minim dampak karena tidak turut dibangun perilaku masyarakatnya.
Maka tidak heran jika setiap tahun dibangun sekolah dan setiap tahun juga roboh,
setiap tahun jalan diperbaiki namun setiap tahun juga rusak, karena orientasinya
adalah proyek abadi, proyek abal-abal tanpa merubah perilaku aparat dan masyarakatnya.
Sesungguhnya jika kita ingin
beranjak menjadi negara maju, adalah dengan melihat negara yang berperadaban
lebih baik, bukan melihat infrastrukturnya tapi melihat bagaimana perilaku
warga negaranya. Jika kita mempelajari transformasi singapura, jepang,
malaysia, dan Korea Selatan yang titik nol kemerdekaan dan hantaman krisisnya
berbarengan dengan Indonesia namun kemajuannya kini berbeda karena perbedaan
pendekatan pembangunannya. Jika pendekatan awal Indonesia berorientasi
infrastruktur, sedangkan pendekatan negara berperadaban maju ditekankan pada
perubahan mentalitas, sikap, semangat berprestasi, dan rela berkorban. Bukankah
Pendiri Singapura Lee Kuan Yew merombak singapura dengan tangan besi, dengan
merubah mental warga dan aparat yang pada mulanya bobrok, malas, menjadi bangsa
yang paling maju di Asia padahal minus sumber daya alam. Sesungguhnya
pembangunan infrastruktur itu akan mengikuti jika perubahan perilakunya sudah
berhasil. Karena bedanya negara maju dan berkembang adalah jika negara
berkembang semangatnya membangun, sedangkan negara maju semangatnya merawat apa
yang sudah dimiliki.
Maka jangan heran jika di negara
kita, seberapa banyak-pun tong sampah dibangun dipinggir jalan maka tidak akan
menjamin sampah akan berkurang atau tertata dalam tong. Yang ada dalam satu
pekan tong sampah hilang dan sampah tetap berserakan, begitupula jangan harap
pemerintah membangun drainase atau selokan akan melancarkan aliran air, malah
justru akan dipenuhi sampah dan eceng gondok. Jika kita lihat berita berapakali
pengelola jembatan suramadu mengganti baut, sling dan kelengkapan lain yang
dicuri warga, berapa banyak baterai BTS yang hilang, seberapa banyak kendaraan
operasional kantor pemerintah mangkrak, karena jawabannya satu bangsa ini tidak
pernah serius merubah perilaku warga negaranya, semangatnya bukan merawat, tapi
meruwat.***