Bedanya pengamat dan praktisi
adalah persoalan rasa. Jika pengamat cenderung bicara berdasarkan isi buku dan
teori minus pengalaman, sehingga terkadang solusi atas persoalan yang
dikonsultasikan tidak implementatif. Beda halnya dengan praktisi, apa yang
diungkapkan adalah apa yang dirasa, minim teori namun pada umumnya tepat guna.
Saya mengalami dua fase tersebut
saat menekuni dunia CSR, yakni saat menjadi pengamat dan saat menjadi praktisi.
Saat menjadi pengamat hanya merujuk ilmu di perkuliahan ditambah referensi buku,
saya mengalami masa bicara berbuih mengutarakan aneka konsep dan teori CSR yang
rupanya hal tersebut tidak meyakinkan pihak lain karena berbicara minus
pengalaman. Menyadari kondisi tersebut, rupanya pengalaman berperan penting ketika
saya bekerja sebagai CSR asisstant pada perusahaan multinasional Palm Oil di
Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan. Mengelola CSR dari titik
nol yakni kondisi pembukaan lahan (land
development). Para pekerja CSR menyepakati bahwa pekerjaan terberat
mengelola CSR dalam perusahaan apapun adalah fase land development, karena pada fase itulah perusahaan membuka lahan,
belum ada kantor, belum ada tempat tinggal, persentuhan awal dengan masyarakat
sekitar, pemetaan awal kewilayahan, pemetaan potensi maupun masalah beserta
konflik. Tantangan lainnya adalah minimnya dana, karena perusahaan menyadari
bahwa fase land development adalah
fase menanam (investasi) dan belum menuai keuntungan, sehingga anggaran CSR
sangat minim, kondisi tersebut menantang saya untuk bekerja kreatif dan
inovatif membuat program minim anggaran.
Saya bersyukur mengalami fase ‘cadas’
tersebut, karena persoalan yang menumpuk justru menguji ketahanan dan kemampuan
kita. Aneka pengalaman saya rasakan mulai ancaman akan di bunuh preman kampung,
saat harus menyelesaikan masalah karayawan kumpul kebo, saat kendaraan
operasional kantor dan kontraktor disandra, saat jalan di blokir, saat
menghadapi demo warga dan aneka persoalan lain yang harus diurai satu persatu. Disisi
lain persoalan batin mendera, ketika berada jauh dari keluarga.
Hal yang menarik adalah rupanya
tidak semua teori yang kita pelajari di bangku kuliah dan buku bisa
diimplementasikan di lapangan, hal yang menentukan adalah improvisasi kita saat
melihat mana yang cocok dan mana yang perlu disesuaikan. Pengalaman lapangan
itulah justru yang memperkaya rasa dalam melihat suaru persoalan, sehingga saat
ada yang membutuhkan solusi, pengalaman yang kita alami dan konsep yang kita
ketahuilah yang menuntun kita menemukan jawaban.
Kolaborasi pengamat dan praktisi
sengaja saya tuangkan dalam buku “Panduan Praktis Pengelolaan CSR”, di buku itulah saya padukan antara konsep dan
praktik lapangan, bagaimana melakukan tahapan pemberdayaan, bagaimana membuat code of conduct, bagaimana melaksanakan
CSR internal dan eksternal, bagaimana membangun basis data dan sebagainya.
Berikutnya setelah pensiun di
lapangan mengelola CSR, rasa haus akan pengetahuan saya perdalam kembali di
bangku kuliah, sengaja linearitas akademik keilmuan CSR saya perdalam untuk
memahami CSR secara makro, saya kaji tentang relasi pengelolaan CSR antara
pemerintah daerah, perusahaan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) saya petakan
masing-masing peran pemangku kepentingan, mana yang pragmatis, mana yang
sungguh-sungguh mana yang memberikan dampak dan mana yang tidak. Pengalaman
tersebut saya tuliskan kembali dalam buku “Best Praktis Kemitraan CSR Antara
Pemerintah, Perusahaan dan LSM”.
Mengapa saya tuliskan dalam buku,
karena pengalaman harus dicatat dan dijadikan sebagai rujukan. Satu hal yang menyemangati saya untuk menulis buku
maupun dalam website karena kewajiban manusia adalah untuk berbagi ilmu yang diamanahkan,
untuk apa titipan Illahi kita simpan rapat karena ilmu yang dibagikan tidak
akan habis, dan ilmu tidak melulu ditakar dengan materi.***
Potret Kemiskinan Warga Setempat, Foto yang saya unduh ini rupanya banyak dijadikan rujukan tentang potret kemiskinan (namun mengunduh tanpa menyertakan rujukan)
Salah satu rumah guru yang perlu mendapatkan sentuhan dan perhatian
Proses evakuasi karyawan dan warga yang terkena banjir
Proese pengenalan budaya dan kerajinan, pengolahan kayu ulin menjadi sirap (genting), kayu ulin bisa berumur puluhan tahun, semakin terkena air semakin kuat. Kayu ulin kian langka karena baru bisa ditebang jika sudah berumur pulihan tahun. Disisi lain miskin pembudidayaan,
Menghadiri pernikahwan warga, menggunakan adat banjar
Salah satu tantangan menyelesaikan blokade jalan oleh warga, perlu pendekatan halus dalam mengatasi persoalan ini karena perusahaan harus mengakhui berkontribusi pada kerusakan jalan
Upaca Usir Hantu, adat ini dilaksanakan warga saat akan mengisi rumah, hal ini dilakukan saat akan peresmian long house (tempat tinggal karyawan)
Dimanapun bisa menyelasaikan persoalan, termasuk di jalan, tanpa kertas tanahpun jadi
Salahaa satu kebahagiaan saya saat mengelola CSR adalah melaksanakan CSR internal dengan mendirikan Tempat Penitipan Anak (TPA) khusus bagi karyawan
Anak-anak saat bermain di TPA dengan fasilitas yang masih alakadarnya
Pembangunan jembatan dengan konstruksi Kayu Ulin
Familiarisasi dilakukan dengan mengadakan lomba catur antara karyawan ekspatriat dengan warga dan karyawan
Berpose bersama Paman Adung, pembekal (Kepala Desa) setempat
Salah satu yang menarik walaupun di pedalaman kalimantan, tapi baju pernikahan ala barat
Membangun Sinergi Bersama Camat
Membangun Sinergi Bersama Muspika
Mengajar Sesi Inspirasi