Terdapat 3 (Tiga) Indikator yang menunjukkan serius tidaknya
perusahaan dalam menjalankan tanggungjawab sosialnya.
Pertama, perusahaan yang menjalankan CSR
secara reaktif, tanpa perencanaan, tanpa landasan kebijakan dan tanpa penganggaran.
Melainkan menjalankan CSR sebagai bentuk respon terhadap suatu keadaan. Pada
tipe perushahaan ini CSR hanyalah pemanis atau tempelan istilah pada saat ulang
tahun perusahaan, sumbangan bencana, penghijauan atau program sosial yang
sifatnya amal. Dana yang digunakan merupakan dana ad hock, tidak khusus dianggarkan khusus untuk CSR atau dana yang
biasanya diambil dari divisi lain, seperti HR atau Humas.
Kedua, perusahaan yang menjalankan program
CSR berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam Visi dan Misi perusahaan, mem-breakdown-nya kedalam kebijakan, merancang
roadmap, membuat program/kegiatan
CSR, baik untuk kebutuhan jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.
Program dibuat dan dilaksanakan bukan atas dasar reaktif, insidental, melainkan
berdasarkan perencanaan dan pengukuran kebutuhan stakeholder. Program dan Kegiatan
CSR Sudah dirancang mulai dari tahap analisa kebutuhan, implementasi,
monitoring, dan terminasi. Sehingga program CSR yang dijalankan bisa dijadikan
salah satu indikator berhasil tidaknya perusahaan.
Ketiga, dilihat dari
struktur organisasinya. Dalam perusahaan, terdapat dua kategori penempatan CSR
pada struktur perusahaan, yaitu:
a.
CSR merupakan
bagan dari Departemen Hubungan Masyarakat (Humas) atau departeman lain.
Dalam model
ini, CSR bukan merupakan sebuah departemen atau bidang yang sifatnya
independen. Melainkan menjadi bagian departemen atau divisi dari departemen
lain, yang pertanggungjawaban beserta teknis perencanaan dan pelaksanaan
programnya kepada manager depertemen. Ada juga program CSR yang sifatnya ad hock, dimana secara struktural tidak
berada dimana-mana, namun pada saat dibutuhkan bisa tiba-tiba muncul menjadi
bagian program sosial perusahaan, seperti pada pringatan ulang tahun perusahaan
atau pada peringatan hari agama.
Pola struktur
seperti ini masih menunjukan lemahnya komitmen perusahaan terhadap program CSR,
karena secara struktur keorganisasian tidak berdiri sendiri atau setara dengan
departemen lain. Secara kebijakan, program CSR akan menjadi lemah, karena tidak
ada kedudukan yang kuat dalam struktur. Terlebih jika bersifat ad hock, dimana
biasanya tidak ada staff yang menanganai program secara khusus melainkan
insidental, dengan anggaran yang terkategorikan pos darurat. Pengelola program
CSR biasanya pada level staff, bukan pada level manager, karena manager berada
pada struktur departemen yang melingkupinya. Pada program CSR yang sifatnya ad
hock, tidak ada staff CSR melainkan menjadi tanggungjawab Departemen Humas atau
eksternal departemen.
b.
CSR Sebagai
Deparetemen atau bidang mandiri
Dalam model
ini, CSR sudah merupakan departemen atau bidang yang sifatnya independen, bukan
bagian dari departemen lain. Sehingga mulai dari perencanaan anggaran,
perencanaan program, implementasi, hingga evaluasi dilakukan secara mandiri,
tidak bergantung pada departemen lain. Secara struktur, posisi Departemen CSR dengan
departemen lain sebagai mitra sejajar, dan pertanggungjawaban program sifatnya
langsung kepada Direktur/ pimpinan perusahaan.
Pola struktur
ini menunjukkan komitmen perusahaan terhadap CSR, dikarenakan CSR memiliki
otoritas anggaran sendiri, menentukan program jangka pendek, menengah, hingga
jangka panjang, selain itu secara personalia, memiliki teamwork atau manajemen tersindiri dipimpin oleh seorang manager.
Dengan demikian dalam CSR sendiri terdapat diferensiasi tugas yang jelas.
Bahkan bagi
perusahaan yang sudah komitmen terhadap ISO 26000 atau sertifikasi lain terkait
pembangunan berkelanjutan, perusahaan menempatkan pihak/ person yang
bertanggungjawab terhadap aktivitas CSR pada level direktur, dimana posisi
General Manager sejajar dengan Head of CSR.