Masih ingat definisi ghibah? Mari
kita pahami kembali apa itu Ghibah, dalam Al Adzkar (hal. 597), Imam Nawawi
rahimahullah menyebutkan, “Ghibah adalah sesuatu yang amat jelek, namun
tersebar dikhalayak ramai. Yang bisa selamat dari tergelincirnya lisan seperti
ini hanyalah sedikit. Ghibah memang membicarakan sesuatu yang ada pada orang
lain, namun yang diceritakan adalah sesuatu yang ia tidak suka untuk
diperdengarkan pada orang lain. Sesuatu yang diceritakan bisa jadi pada badan,
agama, dunia, diri, akhlak, bentuk fisik, harta, anak, orang tua, istri,
pembantu, budak, pakaian, cara jalan, gerak-gerik, wajah berseri, kebodohan,
wajah cemberutnya, kefasihan lidah, atau segala hal yang berkaitan dengannya.
Cara ghibah bisa jadi melakui lisan, tulisan, isyarat, atau bermain isyarat
dengan mata, tangan, kepala atau semisal itu.”
Lalu apakah kita sudah terlepas
dari perkara ghibah? Dalam riset sederhana yang saya lakukan rupanya perilaku ghibah
kian hari kian massif kita lakukan, terutama setelah adanya media sosial
(facebook, twitter,dll). Apakah kita menyadari hal tersebut? Memang dalam pola pikir yang terbentuk sekian
lama ghibah kita terjemahkan secara sederhana yakni membicarakan orang lain
(kebaikan ataupun keburukan), medianya adalah lisan/ucapan. Sedangkan aktifitas
utama kita di media sosial tidak kita rasakan sebagai ghibah karena tidak ada
media lisan/ ucapan melainkan media tulisan. Dalam benak kita karena lisan
pasif lalu yang aktif dalah jari yang mengetik baik itu menulis secara langsung
dalam media sosial, menshare berita atau pun me-like, lantas kita tidak
mengangggapnya sebagai ghibah. Justru sesungguhnya aktifitas jari yang kita
lakukan dalam media sosial merupakan bentuk ghibah canggih yang lebih massif
dibanding lisan kita. Yang menjadi perkara adalah karena lidah pasif
tergantikan oleh jari yang aktif tidak kita anggap sebagai ghibah yang
berimplikasi sebagai dosa besar.
Lalu kemudian pertanyaannya
menjadi berjenjang. Apakah kita mengetahui jenis-jenis berita online? Apakah
kita tahu kategori media online antara yang legal (berizin), memiliki etika
jurnalistik, memiliki struktur dan alamat redaksi?. Kantor berita online yang
legal-pun belum tentu benar dalam pemberitaan apalagi media online abal-abal.
Pertanyaan berikutnya apakah kita yakin jika apa yang tersaji dalam media
online itu benar? Sesuai fakta? Ada proses konfirmasi terhadap objek berita? Dan
objektif (tanpa kepentingan apapun?. Lalu kenapa kita begitu mudah bergibah
dengan me-like dan menshare pemberitaan yang belum jelas kebenarannya kedalam
halaman facebook atau twitter. Jika yang kita share isinya terkonfirmasi
keliru, lantas apa bentuk pertanggungjawaban kita? Apakah cukup dengan
menghapus postingan? Sedangkan berita salah sudah tersebar kemana-mana?.
Perkara berikutnya begitu senang kita berdebat saling beradu komentar terhadap satu
berita yang kita posting padahal kita-pun sesungguhnya masih meraba
kebenarannya (pepesan kosong), hingga silaturahmi yang kita jalin luluh lantah.
Coba kita pahami logika media
berita online. Berita online itu sifatnya instan hanya mengupdate satu
peristiwa tanpa sempat mengkonfirmasi, ada wajarnya tidak sempat mengkonfirmasi
karena sifatnya menjaga kehangatan momentum. Jika saya memebaca berita online
sekedar membaca untuk sekedar tahu lalu esoknya membaca korannya, sebagai
penguatan kebenaran berita tersebut, karena berita koran sudah terkonfiramasi
kebenarannya sebagai kaidah baku jurnalistik, sedangkan hal tersebut belum
tentu berlaku pada media online.
Akankah kita kian bangga terus
dibelah dan terus membelah persatuan umat, persatuan bangsa? Dengan
komentar-komentar kita yang merasa paling benar, lalu jumawa bangga karena
banyak yang me-like? Yang sesungguhnya berita yang kita posting sesungguhnya
fitnah.
Coba amati apa yang terjadi
dengan tragedi Tolikara, saya yakin satu kejadian sudah beribu tafsiran. Pejabat,
aparat, tokoh sampai rakyat terus berkicau berkomentar tanpa tahu pasti apa
yang sesungguhnya terjadi. Bagaimanapun diluar nalar baru terjadi insiden di
waktu shalat id, namun sudah ada kesimpulan kejadian yang disebar kemana-mana
dengan ragam versi, padahal dari analisa jarak dan waktu sangat tidak masuk
akal. Investigasi belum dilakukan namun kesimpulan sudah dirilis, ini disebut
ajaib karena simpulan mengalahkan kecepatan jarak dan waktu. Lalu apa kapasitas
kita bisa mengalahkan peran aparatur
yang memiliki tanggungjawab investigasi dan menegakkan hukum? Mau tidak mau
suka atau tidak suka kita harus percaya tugas mereka, jika tidak percaya
pemerintah lebih baik keluar sebagai warga negara.
Dalam memandang suatu peristiwa
kita harus sadar dan tahu diri siapa sesungguhnya kita. Sadar jika kita bukan
pakar, sadar jika kita bukan ahli, sadar diri jika kita bukan ustad, maka jika
kita tidak mengetahui persoalan dan keahlian lebih baik diam. Jika memang suatu
peristiwa adalah kapasitas dan kehalian kita maka silahkan bicara sesuai
kepakaran kita. Alangkah naif jika era tehnologi justru membuat kita jumawa dan
semakin sok tahu, seolah-olah pakar dalam segala urusan. Saya coba praktikan,
saya hanya bisa bicara dan berkomentar jika terkait tanggungjawab sosial
perusahaan (CSR) karena saya membidangi itu, sekolah dibidang itu, diluar itu
saya memilih diam karena sadar diri bukan kapasitas saya.
Apakah sesungguhnya kita bangga bergibah
dalam media sosial, apakah kita bahagia jika berhasil memprovokasi suatu
peristiwa, memanaskan situasi, jika sudah begitu kondisinya berarti kita
sesungguhnya sedang sakit.***