Tiada hari tanpa berita Gojek,
mulai dari persaingan dan konflik dengan
ojek pangkalan (Opang), meningggalnya anggota gojek karena kecelakaan,
hingga ribuan antrian pendaftar baik mereka yang ingin hijrah dari pekerjaan
sebelumnya maupun yang masih menganggur.
Sejujurnya saya bosan dengan
berita gojek yang terus mewarnai pemberitaan televisi, cetak hingga media
online. Seberapa substansi dan apa
menariknya gojek terus diberitakan ditengah hiruk-pikuk aneka peroslan yang
kita hadapi, bukankah makin menambah semrawut input pikiran kita. Coba
bayangkan jika gojek menjadi berita nasional apa urusannya bagi kita didaerah
yang tidak terkait sedikitpun dengan gojek. Curiganya saya, mungkin pimpinan
gojek punya ilmu bisa mempengaruhi, sehingga setiap hari beritanya bisa mangkal
di aneka media.
Saya coba menulis ini sebagai
bentuk tanggungjawab sosial pribadi hehe. .. Jujur saya bersimpati dengan
Opang. Saya yakini jika Gojek, Grabbike dan sejenisnya hanya sekedar fenomena
kekinian saja, dan memang sudah dasar sifat manusia indonesia saja yang latah,
baik tukang ojeknya maupun masyarakat pemanfaatnya. Kenapa latah karena saat
ini zaman smartphone yang dijejali aplikasi, maka wajar jika da memanfaatkan
ceruk pasar dengan membuat aplikasi perojekan, disamping itu ada rasa bangga
jika kita memesan ojek dari smartphone kita, lantas banyak yang menyaksikan
kalau kita naik gojek kesannya modern, dan memang nilai plus saat ini bagi saya
mengenai gojek terkait tarif yang wajar.
Kenapa saya sebut tulisan ini
sebagai bentuk tanggungjawab sosial pribadi? Betapa sedihnya menyaksikan Opang sepuh
di pangkalan termangu menunggu penumpang, apakah memungkinkan Opang sepuh bisa
belajar aplikasi? Begitu pula Opang muda yang memang mungkin amat kesulitan
untuk bisa mempelajari smarthpone yang dijejali aplikasi, karena sudah pasti
ada yang begitu cepat, mudah dan mampu menggunakan aplikasi dan yang memang
terus mental gak bisa-bisa. Bagi saya biar saja Gojek dan Opang berkompetisi
dengan sehat, karena yakin bisnis dan nafkah keduanya akan berjalan beriringan.
Kenapa saya menulis Ojek
Simpatik? Karena hanya satu hal yang bisa menyaingi Gojek, yakni perilaku simpatik dari Opang.
Dalam ilmu bisnis, saat ini yang paling menentukan adalah pelayanan,
aplikasi-pun bagaimana orang yang menjalankannya. Sistem canggih, tapi perilaku
tidak empatik sama saja. Sistem biasa saja tapi perilaku simpatik, bisa membuat
bisnis tetap jalan walaupun kurang optimal. Sering kita mendengar keluhan
pengguna taksi bonafid yang semua operasionalnya sudah didukung aplikasi
canggih, tapi ketika di-stop ogah ngangkut dengan aneka alasan, atau membawa
armada ugal-ugalan, atau membwa penumpang polos pada rute jauh dengan harapan
argo banyak, dan sebagainya. Apakah ada jaminan jika Gojek tidak begitu
kedepannya, terlebih jika sudah massal.
Apa sesungguhnya tanggungjawab sosial
kita? Kita menjawabnya dengan pertanyaan
juga, bagaiman kesan kita dengan Opang?. Tentu jawaban yang kita dapatkan:
pangkalan yang acak-acakan, berebut penumpang, tampang yang kurang bersahabat,
bau rokok, urakan, dan yang paling menyebalkan adalah perilaku tidak jujur soal
tarif. Terlebih dengan adanya fenome gojek yang alur media massa juga sudah
terpola dua kutub, apapun Gojek kesannya positif dan apapun Opang kesannya
negatif.
Hal yang saya yakini, bahwa
segala sisi negatif yang dalam frame kita tentang Opang akan bisa dirubah
dengan mentransformasikan perilaku simpatik. Saya yakin lebih mudah mengajarkan
Opang terkait perilaku simpatik dibanding dengan belajar aplikasi perojekan.
Bagaimana jika sesekali kita nongkrong di pangkalan ojek dan transfer ilmu
simpatik kepada mereka, juga turut menyampaikan ruginya jika mereka tidak
berubah perilaku ditengah gempuran aplikasi gojek. Kenapa saya sebut sebagai
tanggungjawab sosial pribadi, tujuannya agar kita terketuk memperbaiki
lingkungan kita dan bagaimana menaikan derajat kehidupan Opang khususny yang
sudah renta agar dapurnya tetap ngebul, bukan malah menambah murung mereka dengan
cuek dan juga turut apriori dengan Opang.
Kita sampaikan secara
terbuka kepada mereka tentang penilaian masyarakat
umum mengenai Opang agar sadar kekurangannya. Bagaimana kita sampaikan jika
kejujuran itu yang akan mengikat hati antara ojek dengan penumpangnya, bagaimana
belajar menyapa dan tersenyum, bagaimana menjaga agar helm tetap wangi tidak
bau apek, bagaiman safety riding, bagaimana kesadaran berlalulintas, bagaimana etika
ketika akan menaikan dan menurunkan penumpang, bagaimana belajar sapaan-sapaan misalnya
mengucapkan salam sehingga membuat penumpang merasa nyaman, bagaimana agar
Opang difasilitasi buku bacaan, Al-Quran bahkan bisa nunggu penumpang sambil
pengajian, bagaimana kita memfasilitasi mengadakan pelatihan handy craft,
sehingga saat mereka nunggu penumpang bisa sambil nyulam ataupun membuat kerajinan,
agar penumpang dapat, sumber penghasilan lain juga ada. Bagaimana agar para
opang mencetak kartu nama yang cantik beserta tambahan informasi mengenai
jenis-jenis layanan yang bisa dilakukan misanya mengantar dokumen, ASI bayi,
memfotokopi , dan sebagainya disertai no hp yang nyala 24 jam. Dan tentunya
banyak hal lain yang bisa kita sumbangsihkan kepada para Opang, agar mereka
bisa berubah lebih baik.
Jujur, detik ini baru sebatas
menulis apa yang ada dalam benak. Insya Allah selepas menulis kita bergerak ke
pangkalan. Niatnya satu, yakni membantu sesama. Semoga Bapak Opang renta tetap
semangat menyambung rizkinya.***
Gambar: https://hube13.wordpress.com