Tulisan ini adalah cerita saya
sebagai seorang Ayah (sebutan Aiman sih
Abi Abah atau abah Abi J).
Kenapa ditulis, biar menjadi catatan tumbuh dan berkembangnya anak kami. Aiman kini
menginjak usia 3 Tahun 2 bulan. Saat ini Aiman sedang saya ajak berpartisipasi,
melalui aktivitas yang senantiasa melibatkannya, tentunya hal yang saya anggap
ia akan mampu melakukannya, tujuannya melatih kepekaannya agar jika sudah
terlatih akan terbawa hingga dewasa.
Bagi saya belajar partisipasi
adalah sebuah prinsip agar kelak ia memiliki kepekaan sosial, tidak abai atau
cuek terhadap apa yang terjadi pada lingkungan, melainkan turut rasa membenahi
hal yang menurut nilai universal tidak pas. Kenapa prinsip, justru permasalahan
pada zaman kini adalah sikap pribadi yang a sosial, tidak peka, cuek terhadap
lingkungan. Dalam ruang yang sederhana mau rumah berantakan ia tidak peduli,
mau sampah berserakan di halaman rumah dibiarkan, mau selokan mampat juga cuek,
dsb.
Melibatkan merupakan perbuatan
yang didasarkan suritauladan, saya tidak akan menyuruh Aiman jika saya tidak
mengawali melakukan. Karena bagaimanapun sikap anak adalah copy paste
lingkunganya dari apa yang dia lihat, dengar dan rasakan. Hal sederhana adalah
saat Aiman turut membereskan mainan sebelum tidur, saat dilibatkan membuang
sampah susu kotak dan tisu, saat mematikan lampu yang terjangkau tangannya, dan
hal sederhana lainnya. Kemudian meningkat pada aktivitas yang agak berat,
dimana aktivitas tersebut berdampak pada
orang atau mahluk hidup lain. Setiap selesai shalat subuh saya ajak bersama
Aiman membuka pintu pagar dan garasi, diajak membuang dan membakar sampah,
memberi makan ayam , ikan dan kucing, serta menyiram tanaman.
Apa yang terjadi setelah aneka
pembiasaan tersebut dilakukan? Memang
pada akhirnya kebiasaan pelibatan sudah menjadi ‘nilai’ bagi Aiman. Hal yang
menarik adalah sikap protesnya saat saya, Istri, nenek dan keluarga yang lain
jika ada aktivitas yang tidak melibatkannya. Bahkan aktivitas tersebut harus
diulangi, jika tidak dituruti, Aiman akan marah, terus merajuk dan menundukkan
wajah. Biasanya ia protes “Aiman juga mau buka pager”, “Kenapa bukan Aiman yang
matiin lampu kamar mandi, tangan aiman kan nyampe”, “Ulangi ngasih makan
meongnya, Aiman juga mau”, dan aneka protes lainnya. Tentunya mau tidak mau
saya dan semuanya harus mengulangi aktivitas yang ia ingin terlibat didalamnya.
Terkadang memang kami lupa mengajak Aiman, kadang juga karena terburu-buru.
Tentunya memang protes terkadang
membuat “kesabaran terkuras”, apalagi saat kondisi letih dan terburu-buru,
tidak jarang jika sedang ‘lupa’ kami
juga marah. Namun saat Aiman tertidur saya dan istri mengevaluasi agar
sama-sama tidak terpancing amarah jika Aiman meminta mengulang aktivitas yang
tidak mengikutkannya, karena orang bilang fasenya “Golden Age” dan saya yakin
fase mengulang ini adalah tahapan terpenting dari belajar partsipasi. Jika saya
dan istri marah, maka hanya akan melukai hatinya dan enggan terlibat dalam
melakukan aneka aktivitas dimasa mendatang. Jadi seletih apapun jika kami lupa
dan Aiman minta mengulang maka kami akan mengulangi sambil memintanya agar
tidak semua aktivitas yang telah dilakukan perlu diulangi.
Apa hasilnya kini? Ahamdulillah
kepekaannya sudah mulai tumbuh, hal sederhana misalnya saat ia bangun dan
terihat bantal berserakan di bawah kasur, tanpa diminta ia akan mengangkatnya
dan menyimpan ke kasur, selepas minum susu kotak ia akan langsung membuangnya
ke tempat sampah, saat melihat pagar terbuka ia yang menutupnya, saat lampu
kamar mandi ada yang lupa memadamkan, ia bisa diminta tolong untuk
memadamkannya. Bahkan kini protesnya sudah terarah “Abi ini siapa yang lupa
nutup pager, lupa matiin lampu, lupa buang sampah, dsb” dan segala pertanyaan
maupun pernyataan yang ia anggap tidak sesuai dengan nilai yang ia anut.
Walaupun memang kebiasaan
mengulang masih ia lakukan sebagaimana saban subuh ia minta minta mengulang
pergi ke mushola dan mengulang shalat karena sandal yang ia kenakan sebelah
besar sebelah kecil, Meminta Ibunya mengulang mematikan air matang karena hanya
abinya yang harus mematikan air yang matang setelah dimasak, dan aneka hal
lainnya. Namun saya yakin fase ini akan ia lewati dengan baik, dan yakin Aiman
akan lulus melewate tahapan ini. InsyaAllah Aiman akan menjadi pribadi peka,
dan peduli dengan sekitarnya, tanpa harus mengulang dan mengulangJ.****