Dalam titik nol, batin dan
pikiran kita akan tersadar bahwa apa yang melekat dalam diri kita adalah ‘titipan’.
Ya tidak kurang dan tidak lebih sekedar titipan. Namanya titipan, ada kalanya
diambil dan tentunya kita yang dititipkan harus menjaga dan merawat dengan baik,
sesuai dengan harapan penitip, agar penitip merasa senang dan menilai kita
dapat dipercaya (amanah).
Apa yang sesungguhnya saat ini melekat
pada diri kita? Wajah dan fisik yang rupawan, suara yang indah, harta yang berlimpah,
kendaraan mewah, kepandaian, dan segala hal lain yang terkadang dengannya membuat
kita menjadi pongah, menjadi serasa selangkah melebihi manusia (tuhan kecil) ,
merasa paling dan penting, terlupa jikalau apa yang melekat sebatas ‘titipan’.
Dalam dunia yang telanjang sering
kita mendapatkan tontonan para aktor tampan dan aktris rupawan yang memperlihatkan
gaya hidup mewahnya, musisi yang dengan busung dada menunjukkan kerajaan bisnis
musiknya, pejabat yang arogan merasa paling benar dengan segala kebijakannya,
olahragawan yang kerap menunjukkan kekayaannya, ilmuan yang menarif tinggi
kepakarannya, pengacara yang hanya bekerja keras jika kliennya orang kaya, dan
segala pertunjukkan lainnya jika kita sedang lupa bahwa semua yang melekat
adalah titipan. Terkadang ada ego yang kuat, jika pencapaian kita saat ini
adalah hasil segala upaya dan kerja keras. Namun tetap kesuksesan yang telah ‘tersuratkan’
adalah titipan.
Dalam banyak kesempatan lain kita
juga kerap melihat ada artis yang menafkahi secara rutin anak yatim, ada
pengusaha yang membangun ratusan rumah tidak layak huni, ilmuan yang saban
waktu mengajar di kolong jembatan, Olahragawan yang menyumbangkan sebagian
kekayaannya untuk yayasan amal, eksekutif muda yang iuran membangun jembatan putus
dipelosok, dan aneka kedermawanan lain sebagai wujud syukur atas ‘titipan’ yang
Tuhan anugerahkan.
Butuh proses bagi kita dalam
menyadari sebuah ‘titipan’. Dalam beberapa kesempatan saya merasa, hanya saya
yang menguasai bidang keilmuan tertentu, dan sempat menerapkan tarif untuk
sebuah jasa konsultasi. Namun ketika titik nol hadir, sepenuhnya sadar bahwa
ilmu adalah titipan yang kapanpun bisa diambil Pemiliknya, lebih cepat
diambilnya jika saya sombong mengenakannya. Saya tersadar jika kondisi saya
kini adalah akibat bantuan, pertolongan dan uluran tangan berbagai pihak yang
tak bisa disebutkan saking banyaknya, dan tidak mungkin bisa berdiri diatas
kaki sendiri. Lalu apakah pantas jika lantas menarifkan diri atas sebuah ‘titipan’
Tuhan?. Toh bagaimanapun ketulusan kita menolong siapapun akan terbalas tunai
dari Tuhan dan manusia diminta atau tidak.
Mengapa hari ini kita masih sombong atas sebuah titipan?
Sumber gambar: http://michelleamandamp.tumblr.com/post/116535791112/copas-dari-grup-sebelah-semoga-bermanfaat