Apalah kita saat ini, begitu sibuk menikmati arus besar
dalam perbincangan pepesan kosong, saling membicarakan, bergibah, hingga fitnah
dengan begitu brutal. Waktu produktif serta energi kita habiskan dengan status,
komentar dan share berita yang belum tentu kebenarannya. Saya pribadi kian hari
kian muak membuka media sosial, khususnya facebook, jika punya kuasa saya minta
Mark Zuckerberg untuk menutupnya hingga Pilkada DKI tuntas, karena menjadi salah
satu pemicu ketegangan di Indonesia.
Entahlah apa maunya kita, Apakah Ahok ditetapkan tersangka
menista agama?, Ahok diberhentikan dalam kontestasi Pilkada DKI?, Jokowi
lengser dari kursi kepresidenan? atau ada opsi lain?. Jika ada diantara pilihan
itu terkabul, lalu kita merasa puas?. Cukupkah ‘nafsu kita terlampiaskan’. Lalu
setelah itu persatuan bangsa ini runtuh
seruntuhnya, demi mengakomodir satu keinginan.
Apakah saya pro ahok?, tegas saya katakan tidak. Saya tidak
suka dengan sikap ahok yang jauh dari etika, tidak sensitif dan provokatif.
Sesungguhnya kalau kita sadar Ahok sukses memprovokasi kita, dan kita sedang
terbakar, lantas apakah kita harus tersulut dengan balik membakar lebih besar?.
Sungguh naïf jika lantas sikap itu kita lakukan, karena mau tidak mau suka dan
tidak suka, kita bukan hidup dalam hukum rimba raya melainkan Negara hukum yang
tatanannya diatur sedemikian rupa. Jika memang kita benci dengan tatanan hukum Negara
Indoensia? Lalu apa maunya kita, sesuka hati mendorong-dorong menetapkan
tersangka. Apa jadinya negara ini jika hukum ditegakkan atas dasar desakan
massa. Akan menjadi preseden buruk, ketika kasus apapun bisa ditekan-tekan
dengan demonstrasi massa. Bubar saja kepolisian, KPK, kejaksaaan dan semua aparat
hukum.
Persoalan ahok amatlah sederhana dan tidak perlu kita
habiskan energi sebegitu besarnya. Kalau dalam istilah sunda “Laukna Beunang, Caina Herang” (ikannya
dapat, airnnya tetap bening), apa yang terjadi sekarang ini, situasi sedang
begitu keruh, semua ingin manggung dan masing-masing bawa panggung kepentingan.
Persoalan Ahok sudah diranah hukum, tinggal kita tunggu hasil penyelidikan
kepolisian. Namanya hukum bisa dinyatakan bersalah juga bisa dinyatakan tidak.
Dan semua pihak harus siap dengan keputusan itu, tidak lantas mendesak-desak
agar kehendak kita yang terwujud.
Persoalan Pilkada DKI biarkanlah berlangsung, kalau memang
tidak suka Ahok, maka jangan dipilih biar Ahok tidak menang. Sesederhana itu
bukan. Bukan malah menolak Ahok berkampanye disana sini dengan mengenakan simbol
agama Islam.
Persoalannya sesungguhnya ada pada kita, di umat Islam itu
sendiri. Kita berjibaku, dalam perkara ahok dengan energi yang begitu besar,
dan kita terlupakan hal yang teramat substansi. Yakni kaderisasi pemimpin muslim. DKI menjadi
ironi, kalau gak mau Ahok ya munculkan satu penantang Ahok sebegai representasi
suara muslim, nyatanya tidak, Muslim Jakarta dibelah menjadi Anis dan Agus,
yang hingga kasus nista melanda, Ahok masih diatas Anis dan Agus. Bayangkan
jika yang maju Anis saja atau Agus saja, besar kemungkinan untuk menang.
Kalau kita benci Jokowi dan Ahok, teramat salah, seharusnya
kita benci diri kita sendiri sebagai Muslim yang tidak bersatu. Jokowi dan Ahok
hanyalah ekses dari gagalnya persatuan umat, dan hingga saat ini kita belum
bisa memunculkan kader pemimpin Muslim. Siapa yang sesungguhnya kader Muslim
yang sedang kita siapkan untuk bertanding melawan Jokowi pada Pemilu Presiden
Mendatang, juga pada Aneka Pilkada di Daerah untum mengalahkan orang yang
model-model Ahok. Disinilah energi yang harus kita habiskan, bukan malah
bertarung dalam opini hasil provokasi Ahok. Toh pada saat Pilkada atau Pilpres
kembali kita pecah, karena memang masing-masing Muslim punya kepentingan
Peragmatis, entah atas nama partai Islam, atas nama ormas islam dan aneka
gerakan Islam yang tidak beritikad untuk bersatu memunculkan dan mendukung
Kader muslim menjadi pemimpin bangsa.
Ayolah kawan kita tahan diri, jaga diri dan kendalikan nafsu
eksis di media sosial. Pikirkan secara jernih, jika kita buat status apakah
kesejukan yang kita harapkan atau menginginkan kisruh. Pentingkah kita
memberikan komentar? komentar itu terkadang diiringi hasrat, yang malah membuat
kerekatan kita sebagai muslim ternodai. Pentingkah kita menshare berita
darimanapun sumbernya? Apakah jika kita tidak men-share lalu kita rugi. Toh
antara kita menshare dan tidak menshare efeknya biasa saja, harapan dibenak
kita saja yang berlebihan.
Berhentilah, ada yang sedang bertepuk tangan diujung sana
melihat Muslim yang berhasil dibelah. Ada yang riang memantau media sosial kita
yang sebegitu panasnya. Mereka katakan “Kita berhasil membelah orang Islam, dan
Cukup satu Ahok saja”. Kalau melihat teori reaksi air, sesungguhnya mereka
sedang melakukan itu, dan dinyatakan berhasil menguji membelah Muslim.
Sayangnya kita terus larut bahkan tanpa sadar menikmati permainan mereka. Capek
Bro…***